Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Tingkatan-tingkatan Ibadah Seorang Hamba

Salah satu ajaran penting dari Tuhan dalam mengutus para rasul-Nya adalah masalah ibadah. Ibadah atau penghambaan kepada Tuhan Yang Esa dan penolakan terhadap segala sesuatu yang lain sebagai objek sesembahan dan pemujaan merupakan ciri yang tak pernah absen dari ajaran-ajaran nabi manapun.

Seperti kita tahu, dalam agama Islam yang suci, ibadah menempati kedudukan yang amat luhur, tidak dianggap sebagai serangkaian ritual semata yang terpisah dari kehidupan sehari-hari, dan hanya terkait dengan dunia lain. Ibadah dalam Islam ditempatkan dalam konteks kehidupan dan merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan dari filsafat kehidupan Islam.

Merupakan sebuah kenyataan bahwa sebagian laku ibadah dalam Islam dilakukan secara kolektif. Islam pun telah menata laku ibadahnya dalam pola yang secara otomatis memelihara terjaganya tugas kehidupan lainnya. Misalnya, salat merupakan ekspresi total dari ketundukan dan penyerahan diri kepada Allah.

Baca: Pengaruh Keyakinan yang Bersumber dari Ibadah

Ibadah ini telah diatur sedemikian, sehingga seorang manusia yang hendak salat sendirian, ia diharuskan untuk menjalankan tindakan tertentu yang relevan secara sosial dan moral. Seperti menjaga kesucian, menghargai hak-hak sesama, menjaga keteraturan, memiliki kepedulian akan waktu, mengendalikan emosi diri, serta menyatakan kehendak-baik dan kasih sayang kepada hamba-hamba Allah yang saleh.

Menurut Islam, setiap amal baik dan bermanfaat jika ditunaikan dengan niat tulus mencari ridha Allah, dipandang sebagai ibadah. Oleh karenanya, belajar, menuntut ilmu, serta mencari nafkah dan pelayanan sosial, jika dilakukan karena Allah, merupakan laku-laku ibadah. Di sisi lain, Islam menetapkan aturan-aturan ritual dan tindakan-tindakan formal ibadah seperti salat, puasa, dan lain-lain, yang memiliki filsafat tertentu bagi yang menjalankannya.

Manusia memiliki sikap yang berbeda-beda terhadap ibadah. Tidak semua manusia memandang ibadah dengan cahaya yang sama. Bagi sebagian orang, ibadah merupakan sejenis transaksi, barter dan pertukaran, ini seperti seorang yang bekerja demi mendapatkan upah. Seorang pekerja yang telah menghabiskan waktunya dan bekerja demi keuntungan sang majikan, maka ia mengharapkan upah sebagai balasannya, demikian pula seorang hamba yang beribadah demi mendapatkan pahala Tuhannya, maka ia mengharapkan dirinya akan diterima di akhirat. Menurut perspektif kelompok ini, jika seorang hamba beribadah demi pahala dalam bentuk kedamaian dan kesejahteraan -yang kelak diterimanya di akhirat- ia tak ubahnya seperti seorang buruh yang hanya bekerja demi rnendapatkan upah.

Memang, setiap majikan membayar upah sebagai balasan terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh para pekerjanya. Namun, keuntungan apa yang bisa Tuhan Semesta Alam dapat dari pekerjaan seorang hamba yang lemah dan rendah? Malahan, jika kita menganggap bahwa Majikan Besar (Tuhan) membayar hamba-hamba-Nya dalam bentuk rahmat dan ganjaran di akhirat, lantas mengapa Dia tidak rnemberikan balasan kepada mereka yang tidak berusaha dan menggunakan tenaganya? Inilah persoalan-persoalan yang tak pernah muncul pada kelompok saleh ini. Dari sudut pandang mereka, inti ibadah terletak pada gerakan-gerakan tubuh tertentu yang teramati dan komat-kamitnya lidah. Inilah satu sikap dan pandangan terhadap ibadah. Dalam kata-kata lbnu Sina, sikap seperti itu merupakan sikap orang tak tercerahkan dan jahil akan Tuhan (God-ignorant), yang hanya dapat diterima oleh para pekerja.

Baca: Bertawasul kepada Para Kekasih Allah

Pendekatan lain terhadap ibadah adalah pendekatan terbuka. Di sini persoalan-persoalan yang disebutkan sebelumnya seperti pekerja dan majikan serta pekerjaan dan upah, tidak punya relevansi. Dalam pendekatan ini ibadah dipandang sebagai langkah-langkah untuk mencapai kedekatan kepada Allah untuk sarana keunggulan manusia, pendidikan, pengangkatan jiwa, dan perjuangannya menuju cakrawala keagungan ruhani yang tak terlihat, sebagai suatu latihan penguatan daya spiritualnya, serta sebagai suatu kemenangan jiwa di atas alam duniawi. Ibadah merupakan ekspresi tertinggi dari rasa syukur dan cinta manusia kepada Pencipta-Nya dan deklarasi cintanya kepada Yang Mahasempurna, dan tujuan akhir perjalanannya adalah menuju Allah.

Menurut pendekatan ini, ibadah memiliki suatu bentuk dan jiwa, penampakan dan makna batin. Apa yang diperagakan oleh lidah dan gerakan anggota-anggota tubuh lainnya, adalah bentuk, lapisan luar, dan penampakan lahiriah ibadah. Adapun jiwa dan maknanya, adalah sesuatu yang lain. Jiwa ibadah terkait dengan arti penting yang melekat pada ibadah yang dilakukan oleh si hamba, sikapnya terhadap ibadah itu sendiri, motif terdalamnya yang menggerakkannya kepada ibadah, kepuasan akhir dan manfaat yang ia ambil darinya, serta sampai ke tingkat di mana ia melintasi Jalan-Nya dalam suluknya menuju Tuhan.

Hal tersebut sudah dinyatakan oleh Imam Ali a.s. dalam Nahjul Balaghah yang menyebutkan tentang tingkatan-tingkatan ibadah seorang hamba.

“Sekelompok orang menyembah Allah karena menginginkan ganjaran. Inilah ibadah pedagang. Yang lain menyembah Allah karena takut. Inilah ibadah seorang budak. Kelompok lain menyembah Allah karena rasa syukur. Inilah ibadah orang merdeka.” (Nahjul Balaghah, hikmah no. 237, hal. 510)

Baca: Tolok Ukur Keimanan dan Keikhlasan

“Meskipun Allah tidak memperingatkan orang­orang yang tidak taat kepada-Nya dengan hukuman, kewajiban untuk mensyukuri nikmat-Nya mengharuskan Dia tak boleh didurhakai.” (Nahjul Balaghah, hikmah no. 290, hal. 52)

*Dikutip dari buku Tema-tema Pokok Nahjul Balaghah – Syahid Murtadha Muthahhari

No comments

LEAVE A COMMENT