Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Upaya Islam Menangkal Hoax

Hai orang-orang yang (sungguh-sungguh) beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita (menyangkut orang lain), maka periksalah dengan teliti (sebelum engkau menyebarkannya) agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya (karena menerima dan mengikuti laporan palsu) yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. al-Hujurat: 6)

Membuat rumor dan berbohong tentang orang lain merupakan salah satu dosa terbesar dalam masyarakat, bahkan kadang-kadang dapat membahayakan kehidupan seseorang. Perilaku ini juga mencoreng kehormatan dan martabat seseorang, bahkan dapat menghancurkan kehidupan seseorang dalam masyarakat. Sudah berapa banyak informasi yang dibangun tanpa dasar yang kemudian memercikkan amarah di antara dua orang berbeda, lalu berakhir pada kerugian fatal dan menyebabkan kedua belah pihak terzalimi?

Untuk mencegah ketidakadilan itu terjadi, Islam telah memerintahkan umat muslim untuk tidak mengindahkan segala bentuk berita dan informasi yang simpang-siur dan tidak menghiraukan kata-kata orang yang sampai kepada mereka. Terlebih lagi umat Islam seharusnya menerima kabar dari orang yang memiliki perasaan mendalam dan ketakwaan tinggi kepada Allah Swt. Yaitu kabar yang datang dari orang-orang yang memiliki karakter etika; adil, yakin dengan ucapannya, dan kata-katanya dapat dipercaya. Orang seperti itu dapat menjauhkan seseorang dari pembuatan laporan yang salah, palsu, serta hubungan antara berita dan informasi yang tidak berdasar dan dibuat-buat.

Baca: Pesan Imam Ali Khamenei tentang Pengaruh Media Informasi

Dalam beberapa isu penting yang berhubungan dengan agama dan masyarakat, yang di dalamnya harkat  dan martabat satu atau sekelompok orang dipertaruhkan, kita diperintahkan untuk tidak menerima perkataan satu orang yang adil dan orang yang jujur saja, tetapi adil dan memiliki ketakwaan kepada Allah Swt yang mendukung pernyataan dari penutur pertama, dan kita hanya dapat menerima kabar yang disampaikan oleh mereka.

Kita harus yakin pernyataan mereka sangat cocok satu sama lain dilihat dari sudut mana pun. Dalam beberapa hal ini mungkin tidak terlalu penting seperti yang telah disebut di atas. Namun kita telah diperintahkan untuk yakin dengan berita yang dibawa setidaknya oleh dua orang yang adil (menurut definisi Islam) yang menyediakan informasi untuk kita.

Untuk membuktikan benar tidaknya perkataan seseorang terkait isu tertentu (guna melindungi dan menjaga kehormatan seseorang atau sekelompok individu serta mencegah terjadinya berbagai kejadian negatif), sebagai tambahan pada dua persyaratan di atas (kebenaran seseorang dalam memberikan pengakuan dan jumlah saksi yang harus hadir ketika memberikan kesaksian atas isu sosial yang sensitif seperti perzinahan dan pencurian), Islam juga menetapkan persyaratan bagi seseorang yang berlaku sebagai saksi. Jika persyaratan ini tidak terpenuhi, pengakuan seseorang tidak memiliki nilai sedikit pun.

Beberapa persyaratan tambahan itu meliputi:

  1. Saksi harus memiliki penglihatan yang bagus dan siap bersaksi dengan penglihatan yang baik dan ingatan yang kuat. Dia tidak akan menambahkan atau mengurangi pengakuan yang disampaikannya.
  2. Hal tersebut dapat dilihat dengan indra yang dihasilkan saksi melalui salah satu panca indra alaminya. Dilarang mendasarkan pernyataannya pada sebuah estimasi, tafsir, asumsi. Beginilah pandangan Imam a.s. : “Perkara-perkara di mana engkau menjadi saksi, seharusnya— sebagaimana halnya matahari— terang dan gamblang. Selain perkara tersebut, engkau tidak berhak untuk menyebarkan laporan apa pun.”
  3. Seseorang yang tidak memiliki dasar maupun fondasi dalam memberikan testimoni terhadap isu yang beredar dengan tanpa menunda atau menunggu (tanpa mengonfirmasi berita terlebih dahulu) dikategorikan sebagai orang yang memberikan kesaksian palsu. Sehingga lain kali orang tidak akan menerima berita yang dia sampaikan.

Baca: Infografis: Perang Lunak #1

Syarat-syarat ini merupakan bukti bahwa agama Islam—dengan memperinci beberapa kewajiban dalam menerima berbagai bentuk informasi, berusaha melindungi masyarakat Islam dari bahaya yang berakar pada pembuatan rumor juga dari setan yang memaksa menciptakan kebohongan. Secara empatik, agama memerintahkan pengikutnya yang sungguh-sungguh beriman agar berhati-hati dalam mengkaji ulang dan mempelajari berita yang muncul dari orang-orang yang berdosa atau dari orang yang memiliki kemungkinan menciptakan kebohongan tentang suatu isu. Ini penting dilakukan agar orang-orang mukmin tidak mengikuti laporan atau berita bohong sehingga menyebabkan bahaya dan kehancuran diri orang lain.

*Disarikan dari buku Etika Qurani dalam Surat al-Hujurat – Ayatullah Ja’far Subhani

No comments

LEAVE A COMMENT