Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Wasiat Sayidah Fathimah untuk Imam Ali

Imam Ali bin Abi Thalib a.s. terkejut menemukan istrinya terkasih telah meninggalkan ranjangnya dan mulai mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Imam bertanya kepadanya dan ia menjawab: “Inilah hari terakhir hidupku. Aku ingin mencuci rambut dan pakaian anak-anakku; karena mereka akan segera menjadi piatu, tanpa seorang ibu.”

Imam Ali lalu menanyakan sumber kabar (hari kepergiannya) ini. Fathimah a.s. mengatakan bahwa ia telah melihat Rasulullah di dalam mimpinya dan beliau mengatakan kepadanya bahwa ia akan bergabung dengan beliau malam nanti. Fathimah a.s. lalu meminta Imam Ali a.s. melaksanakan wasiatnya.

Imam berkata: “Perintahkan aku mengerjakan apa pun yang engkau inginkan, wahai putri Rasulullah.”

Sayidah Fathimah memulai: “Sepupuku, engkau tahu bukan, bahwa aku bukanlah seorang pendusta, pengkhianat, tidak pula aku membangkang terhadapmu sejak menjadi pasanganmu?”

Baca: Belajar Mencintai Alquran dari Sayyidah Fatimah Az-Zahra’ a.s.

Imam berkata: “Naudzubillah! Engkau sungguh mengenal Allah, setia, salehah, dan terhormat serta takut kepada Allah sehingga (tak memberiku alasan) untuk mencelamu karena membangkang kepadaku. Sungguh, sangat pedih bagiku dipisahkan darimu dan kehilanganmu, tetapi ini takdir yang tak terbendung. Demi Allah, engkau telah membangkitkan kembali duka yang baru saja kuhadapi dengan wafatnya Rasulullah. Sungguh, ajal dan kepergianmu akan menjadi petaka besar, tetapi kita milik Allah, dan kepada-Nya kita akan kembali. Betapa petaka yang pedih, getir, dan nelangsa. Sungguh, ini adalah petaka yang tiada pelipurnya, dan bencana yang tiada penukarnya.”

Mereka berdua lalu menangis dan Imam Ali mendekap kepala Sayidah Fathimah dan berkata: “Perintahkan aku melakukan apa pun yang engkau inginkan, engkau niscaya menemukan diriku setia dan akan kulaksanakan semua yang engkau pinta. Aku juga akan mendahulukan urusanmu daripada urusanku.”

Fathimah a.s. berkata: “Semoga Allah membalasmu dengan yang terbaik dari kebaikan. Sepupuku, pertama kuminta engkau menikahi sepupuku Umamah sepeninggalku; niscaya ia akan berlaku seperti aku kepada anak-anak. Di samping itu, laki-laki tak dapat berbuat tanpa istri.”

Beliau a.s. lalu menambahkan: “Kuminta engkau tak membiarkan seorang pun yang berlaku tidak adil kepadaku menyaksikan pemakamanku, sebab sungguh mereka musuh-musuhku dan musuh Rasulullah. Dan jangan beri mereka kesempatan menyalatkanku, tidak juga pengikut mereka. Kuburkan aku di malam hari ketika mata-mata beristirahat dan pandangan terbenam lelap.”

Mengulas pidato Imam Ali bin Abi Thalib setelah pemakaman Sayidah Fathimah, pensyarah Nahjul Balaghah menulis: “Perlakuan yang ditimpakan atas putri Nabi sepeninggal beliau, sangatlah pedih dan menyedihkan. Walaupun Sayidah Fathimah tak hidup di dunia lebih dari beberapa bulan setelah wafatnya Nabi saw, bahkan masa sesingkat itu memiliki cerita panjang tentang duka dan ratapannya. Dalam kaitan ini, pemandangan pertama yang mencolok mata adalah, sementara prosesi pemakaman Nabi belum dilaksanakan, perebutan kekuasaan telah dimulai di Saqifah (balai pertemuan) Bani Sa’idah. Wajarlah, ketidakpedulian mereka pada jasad Nabi telah mencederai hati Sayidah Fathimah yang terpukul duka; melihat bahwa mereka yang mengaku cinta dan setia (kepada Nabi) selama hidup beliau, menjadi begitu asyik dalam persekongkolan demi kekuasaan, jangankan menghibur putri beliau satu-satunya, mereka bahkan tak mengetahui kapan jasad Nabi saw dimandikan dan kapan dikebumikan.”

Baca: Sayidah Fatimah Harus Diagungkan dan Diteladani

Fathimah binti Muhammad siap menemui Tuhannya. Ia mandi, lalu berbaring dengan jubahnya. Ia lalu meminta Asma’ binti Umais menunggu sejenak lalu memanggil namanya, jika tiada sahutan berarti ia telah berangkat menuju Tuhannya. Asma’ menunggu sejenak, lalu memanggil nama Fathimah a.s., namun, tiada sahutan, Asma’ mengulangi panggilannya: “Wahai putri Muhammad yang terpilih, wahai putri orang yang paling terhormat dari mereka yang dikandung kaum perempuan. Wahai putri orang terbaik dari mereka yang melangkah di atas kerikil. Wahai putri ia yang sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat.”

Sunyi tiada jawaban, keheningan menyelimuti rumah. Asma’ lalu melangkah ke arah Fathimah dan menemukannya telah tiada. Saat itulah, Imam Hasan dan Husain a.s. masuk dan bertanya: “Manakah bunda kami?”

Tetapi Asma’ tidak menggumamkan sepatah kata pun. Mereka melangkah ke arah ibu mereka dan menemukannya telah tiada. Ketika itulah, Imam Husain berpaling ke arah Imam Hasan dan berkata: “Semoga Allah menghiburmu atas (berpulngnya) ibunda.”

Imam Ali bin Abi Thalib sedang berada di masjid. Imam Hasan dan Husain a.s. pergi ke masjid dan menyampaikan kabar itu kepada ayah mereka. Seketika mendengar kata-kata mereka, Imam Ali jatuh pingsan. Ketika siuman, Imam berkata: “Siapakah yang akan menghiburku kini, wahai putri Muhammad? Engkau biasa menghiburku, maka, siapakah yang akan menggantikanmu kini?”

Baca: Kezuhudan Sayidah Fathimah a.s.

Kaum perempuan Bani Hasyim dikumpulkan untuk menerima berita petaka besar itu. Ya, petaka menimpa mereka sekali lagi, sementara darah masih mengalir dari luka kehilangan Nabi. Madinah guncang, Setiap orang datang menghibur Imam Ali dan anak-anaknya.

Allah bersama kalian, wahai anak-anak Zahra. Baru kemarin kalian didera oleh kematian ayah kalian yang agung Nabi Allah dan petaka baru kalian tak kalah dari yang lama. Namun bersabarlah, sebab inilah kehendak Allah Yang Mahaagung.

*Dikutip dari buku karya Abu Muhammad Ordoni – Fathimah Buah Cinta Rasulullah Sosok Sempurna Wanita Surga


No comments

LEAVE A COMMENT