- Hilangnya kecemburuan pria
Berkaitan dengan masalah seksual, kecemburuan laki-laki berperan sebagai penjaga yang diciptakan untuk menjaga silsilah generasi dari kekacauan. Kecemburuan yang diberikan pada laki-laki membawa misi dari Sang Khalik untuk mencegah kerusakan manusia yang disebabkan penyimpangan seksual. Jika laki-laki tidak memiliki kecemburuan dalam menjaga ranah persemaian benih manusia, hilanglah hubungan kekerabatan dan genogram. Seorang anak tidak mengetahui siapa ayahnya, dan seorang ayahpun tidak lagi mengenali siapa anaknya. Musnahnya hubungan kekerabatan tidak lain akan membawa pada keguncangan lembaga keluarga dan kehancuran sistem sosial (Syarif, 1385).
Imam Shadiq as memperkenalkan ghairah (غیره) sebagai salah satu sifat Allah Swt:
ان الله تبارک و تعالی غیور یحب کل غیور و غیرت حرم الفواحش ظاهرها وباطنها[1]
Sesungguhnya Allah Tabarak wa Ta’ala pencemburu, dan Dia mencintai semua pencemburu. Dengan kecemburuan itu pula menjauhkannya dari keburukan yang terlihat jelas dan yang tersembunyi.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as bersabada:
“مَا زَنَى غَيُورٌ قَطُّ[2]”
Seorang pencemburu tidak akan pernah berzina
Seorang pencemburu akan menghargai kehormatan orang lain seperti kehormatan dirinya dan memiliki sensitifitas tentang hal tersebut. Sedangkan orang yang tidak memiliki rasa cemburu orang yang menapakkan kakinya pada jalan kesesatan. Ia tidak merasa keberatan dengan kenistaan diri dan keluarganya. Pemuda muslim hendaknya memiliki kecemburuan terhadap keluarganya sendiri dan tidak mengkhianati kehormatan keluarga lain. Mereka menjadi penjaga kehormatan keluarganya dan tidak menempatkan dirinya pada wilayah yang dapat dijangkau oleh semua orang. Selain itu, mereka juga mampu mencegah setiap orang memandang dirinya yang berkeinginan mengambil kelezatan. Rasulullah sallahu alaihi wa alihi bersabda:
الغيرة من الايمان والبذاء من النفاق[3]
Kecemburuan merupakan bagian dari iman. Seseorang yang tidak memiliki kecemburuan serta kepedulian atas keluarga dan kehormatannya menunjukkan dirinya tidak beriman dan pengkhianat.
Mengutip pernyataan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dalam Nahj al-Balaghah hikmah 48: “وَعِفَّتُهُ عَلَى قَدْرِ غَيْرَتِهِ …”
Kesucian seorang laiki-laki sebanding dengan ghairah/kecemburuannya
Berdasarkan referensi teks di atas, tidak selayaknya seorang laki-laki muslim tidak peduli dengan aktivitas pasangannya di luar rumah. Apalagi jika sampai tidak ambil pusing dengan istrinya yang tidak mengenakan hijab sebagaimana yang diatur syariat. Dalam tinjauan psikologi seksual, laki-laki merupakan penjaga pasangannya dan sensitif terhadap tindakan pasangannya. Khususnya ketika ada kemungkinan terjadinya hubungan yang tidak biasa dengan orang asing. Kadang seseorang tidak memiliki sensitivitas seperti ini padahal ia mengetahui keburukan yang dilakukan pasangannya.Kondisi ini menujukkan ia tidak memiliki kecemburuan terhadap istrinya (Kajbaf 1378 HS). Berikut ini riwayat yang menyalahkan laki-laki seperti ini dinukil dari Imam Baqir as:
“[4]ثلاثة لا يقبل الله منهم صلاة : منهم الديوث الذي يفجر بامرأته”
Terdapat tiga golongan yang tidak diterima shalatnya oleh Allah Swt. Salah satunya laki-laki yang tidak memiliki kecemburuan terhadap istrinya. Mereka telah melakukan kejahatan terhadap istrinya.
- Minuman keras (khamar) dan perjudian
Minuman keras termasuk hal yang diwajibkan untuk meninggalkannya dan pelanggaran terhadap larangan ini akan mendapat azab Ilahi. Syaitan memanfaatkan jalan tersebut untuk menimbulkan permusuhan antara sesama anggota masyarakat. Allah Swt berfirman dalam al-Quran surah al-Maidah ayat 90:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Penyebaran minuman keras pada masyarakat Islam merupakan pintu bagi masuknya dan diterimanya budaya asing. Ketika akal menjadi lemah dan kalah, seseorang akan melakukan segala perbuatan buruk dan maksiat. Imam Baqir as mencela peminum khamar dan mengisyaratkan pengaruh buruknya terhadap masyarakat:
مدمن الخمر كعابد وثن، تورثه الارتعاش، وتذهب بنوره، وتهدم مروءته وتحمله على أن يجسر على المحارم من سفك الدماء وركوب الزنا فلا يؤمن إذا سكر أن يثب على حرمه وهو لا يعقل ذلك، والخمر لا يزداد شاربها إلا كل سوء[5]
Peminum khamar bagaikan pemyembah berhala. Khamar mengguncang tubuh, menjauhkan cahaya-Nya, menghilangkan kewibawaan. Saat meminum khamar orang akan untuk melakukan incest, menumpahkan darah dan berzina. Dalam keadaan mabuk,ia tidak akan terjaga dari perbuatan incest. Setelah sadar, ia bahkan tidak peduli akan perbuatannya. Khamar tidak menggiring pecandunya selain dari pada melakukan segala keburukan.
Rasulullah salallahu alaihi wa alih bersabda:
“إياكم والخمر ، فإنها مفتاح كل شر[6
(Jauhilah khamar, karena ia sumber segala keburukan)
Kesimpulan
Penyimpangan seksual bertentangan dengan fitrah bawaan dan berpengaruh buruk baik terhadap fisik maupun ruh manusia. Penyimpangan seksual pada akhirnya akan membawa pada keterasingan anak manusia terhadap garis keturunan dan masyarakatnya. Pengaruh buruk ini akan terus berbekas dan tidak akan dapat terhapus. Islam sebagai agama fitrah menentang segala bentuk penyimpangan seksual. Pengikut ajaran ini disadarkan pada hal-hal yang dapat menjadi penyebab munculnya penyimpangan seksual.
Menjadi catatan penting bahwa sumber terjadinya penyimpangan ini, kembali pada lingkungan keluarga yang tidak layak. Karena itu diperlukan manajemen rumah tangga yang baik sehingga mampu melaksanakan peran maksimal sebagai orang tua, suami dan istri. Selanjutnya pendidikan yang layak terhadap anak di lingkungan keluarga tak kalah pentingnya dalam upaya pencegahan terjadinya penyimpangan seksual.
Catatan Kaki:
[1] Syaikh Kulaini, Al-Furu’ mi al-Kafi, jil. 5, hal. 535
[2] Muhammad Dasyti, Nahj al-Balaghah, Hikmah 305
[3] Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, jil. 71, hal.342
[4] Syaik Hurr Amili, Wasail as-Syiah, jil. 20, hal. 238
[5] Syaikh Kulaini, Al- Kafi, jil. 6, hal. 242
[6] Muhaddis Nuri, Mustadrak Wasail, jil. 17, hal. 45