Kilau kubah keemasan nan megah itu menarik perhatian setiap orang yang memandangnya. Siapapun yang melihatnya akan terpesona dan terpana. Berada didekatnya memberikan kenyamanan dan ketenangan. Semua itu tidak hanya disebabkan oleh kemegahan bangunannya, tetapi karena terdapat manusia suci dan agung yang dimakamkan di bawahnya. Imam Ridha a.s., begitulah kami memanggilnya.
Kakak teringat pertanyaan seorang anak lelaki kepada ibunya, “ Ibu, bukankah ibu sering mengatakan bahwa berziarah ke makam imam membuat hati tenang dan tenteram, tapi kenapa setiap kali berziarah ibu pasti menangis?”
Sang ibu menjawab, “Anakku sayang, ibu menangis kali ini karena hari ini tanggal 29 Shafar, hari syahadah Imam Ridha a.s. Tangisan ibu setiap kali berziarah adalah karena rasa bahagia. Kita telah diberi anugerah dan nikmat terbesar, yaitu wilayah kepada keluarga Nabi Muhammad SWT. Berada di dekat Imam Ridha a.s. berarti berada di dekat Rasulullah SAW, sang pemberi syafaat.”
Yuk kita simak 4 kisah menarik di bawah ini, supaya kita lebih mengenal dan mencintai Imam Ridha a.s.:
Imam Ridha, Anda adalah Imamku
Salah seorang sahabat bernama Ibnu Abi Katsir menuturkan kisah ini demikian:
Setelah Imam Musa a.s. menjemput syahadah, semua orang mengalami keraguan tentang penerus beliau a.s. Pada tahun itu, aku pergi ke Makkah untuk berziarah ke Baitullah dan sekaligus menemui sanak famili.
Suatu hari aku melihat Ali bin Musa Ar-Ridha a.s. berada di samping Ka’bah. Dalam hati aku berkata, “Apakah ada orang yang wajib ditaati?”
Belum selesai aku berkata dalam diri, tiba-tiba Imam Ridha a.s. memberikan isyarah dan berkata, “Demi Allah! Akulah orang yang wajib ditaati.”
Aku terdiam. Semula aku mengira mungkin tanpa sadar aku mengucapkannya dengan suara keras. Namun aku berfikir kembali dan teringat bahwa mulutku pun tidak bergerak. Aku memandang Imam Ridha a.s. dengan rasa malu dan berkata, “Tuan!… Aku bersalah… maafkan aku!… kini aku mengenal Anda. Anda adalah imamku (yang wajib ditaati).”
Engkau Masih Mengingat Kami?
Abdullah bin Ibrahim Ghifari meriwayatkan kisah ini demikian:
Aku tidak punya apa-apa. Aku jalani hidup dengan susah. Salah seorang yang aku pinjami uang menekanku supaya aku bayar. Aku pergi kepada Imam Ridha a.s. Aku berharap Imam Ridha a.s. bersedia menyampaikan kepadanya agar ia bersabar atau memberikan tenggang waktu.
Imam Ridha a.s. sedang bersantap makan saat aku datang. Lalu beliau mengajakku untuk bersantap bersama. Setelah itu, terjadi pembicaraan dengan berbagai topik hingga aku melupakan tujuan utamaku.
Setelah berlalu beberapa saat, Imam Ridha a.s. memberikan isyarat supaya aku menyingkap ujung sajadah yang berada tepat disampingku. Di bawah sajadah terdapat 340 dinar. Di sisi uang tampak sebuah tulisan “Laa Ilaha Illallah, Muhammad Rasulullah, Ali Waliyullah.” Di sisi lainnya ada tulisan “Kami tidak melalaikanmu. Bayarlah hutangmu dengan uang ini! Sisanya untuk memenuhi keperluan hidup keluargamu”.
Imam Yang Gharib (Diasingkan)
Sajistani meriwayatkan kisah ini sebagai berikut:
Hari itu sungguh mengherankan. Utusan Makmun, Khalifah Bani Abbas datang untuk menjemput dan membawa Imam dari Madinah menuju Khurasan. Wajah, gerakan dan semua tindak tanduk Imam a.s. menandakan perpisahan. Saat beliau ingin berpisah dengan tanah suci pusara Nabi SAW, berkali-kali beliau pergi ke makam sang datuk SAW. Perilaku ini menandakan bahwa sangat berat bagi beliau untuk berpisah.
Aku tidak tahan menyaksikannya. Aku maju dan memberikan salam. Aku ucapkan selamat kepada beliau a.s. karena perjalanan ini akan membawa beliau menjadi putera mahkota Makmun. Namun hatiku tetap bersedih saat melihat air mata Imam a.s. Aku terdiam.
Imam Ridha a.s. berkata, “Lihatlah aku baik-baik! Perjalananku ini akan menuju tempat yang asing dan kematianku ditetapkan di sana… Wahai Sajistani! Jasadku akan dimakamkan di samping kubur Harun, ayah Makmun.
Tawaf Terakhir
Kisah ini diriwayatkan oleh salah seorang pelayan Imam Ridha a.s. bernama Muwaffaq. Isinya sebagai berikut:
Imam Jawad a.s. saat itu masih berusia 5 tahun. Perjalanan itu merupakan perjalanan terakhir yang kami tempuh bersama Imam Ridha a.s. untuk berziarah ke Baitullah. Aku masih mengingatnya dengan baik…
Aku meletakkan Imam Jawad a.s. di atas bahuku dan bertawaf mengelilingi Ka’bah. Pada salah satu putaran tawaf, Imam Jawad a.s. ingin supaya kami berhenti di samping Hajar Aswad. Pada mulanya aku tidak berkata apa-apa, namun setelah itu bagaimanapun aku berusaha, beliau tetap tidak berdiri dari tempatnya. Kesedihan tampak dari wajah mungil beliau yang indah.
Dengan susah payah aku menemukan Imam Ridha a.s. Aku ceritakan hal yang terjadi. Imam Ridha a.s. lalu menuju Hajar Aswad. Aku pun masih mengingat dengan baik percakapan anak dan ayah sebagai berikut:
– Puteraku! Kenapa engkau tidak mengikuti kami?
* Tidak ayah! Izinkanlah aku terlebih dahulu bertanya beberapa pertanyaan, setelah itu aku akan mengikutimu.
– Katakanlah wahai puteraku!
* Ayah! Apakah engkau mencintaiku?
– Tentu saja puteraku!
* Bila aku bertanya lagi, apakah engkau akan menjawabnya?
– Pasti puteraku.
* Ayah! Kenapa tawaf ayah hari ini berbeda dengan sebelum-sebelumnya? Apakah ini ziarah terakhir ayah ke Baitullah?
Imam Ridha as terdiam. Aku teringat perjalanan Imam Ridha a.s. ke Khurasan. Aku menatap wajah Imam Ridha a.s. Air mata berkumpul di kelopak mata beliau. Imam Ridha a.s. lalu memeluk puteranya. Aku tidak dapat menahan diri lagi…
Bagaimana kisah-kisah di atas, menarikkan? Semoga kisah-kisah ini dapat menambah kecintaan kita kepada beliau dan Ahlul Bait a.s.
Apakah adik-adik ingin berziarah ke makam beliau a.s. di kota Masyhad, Iran? Yuk kita nabung supaya bisa berziarah langsung ke pusara Imam Ali Ridha a.s.
Sampai jumpa di Kids Corner berikutnya!