Dalam bahasa Arab, mengenal diri disebut sebagai ma’rifatun-nafs atau pengetahuan tentang diri kita. Ma’rifatun-nafs bukanlah pengetahuan yang berhubungan dengan nama diri, nama ayah, atau tempat dan tanggal kelahiran. Pengenalan diri berurusan dengan suatu aspek lain dari wujud kita. Ia tidak berhubungan dengan pengertian fisik, melainkan berurusan dengan dimensi rohani dari kehidupan kita.
Bila kita bicara tentang berbagai dimensi rohani dan tentang wujud kita, kita tak boleh lupa bahwa manusia berbeda secara mendasar dengan makhluk lain. Walaupun kita tergolong dalam dunia hewan dalam banyak hal, di sini kita hendak memfokuskan apa yang memisahkan kita dari hewan, dan yang tidak terdapat pada mereka.
Ada banyak ayat Alquran yang merinci pentingnya ma’rifatun-nafs. Salah satu dari ayat-ayat itu terdapat dalam surat al-Hasyr ayat 19 di mana Allah berfirman: “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Baca: Berkeluarga, Sarana Mendidik Diri dan Orang Lain
Di sini Tuhan mengatakan bahwa melupakan-Nya menyebabkan kita melupakan diri kita sendiri, dan pada akhirnya membawa kita kepada pelanggaran.
Ada suatu hadis yang memiliki prinsip sama dengan ayat di atas, tetapi melihat hal itu dari sudut lain. Hadis itu sangat terkenal, dan sulit menemukan buku akhlak yang tidak mengutipnya, “Barang siapa dengan bersungguh-sungguh mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.” (Mizan al-Hikmah, 6/142)
Hadis ini menyiratkan bahwa pengenalan diri meliputi pengetahuan tentang Tuhan pula. Dan seperti itu pula, orang yang melupakan Tuhannya, akan melupakan dirinya pula. Apabila seseorang bertekad untuk mempelajari Tuhannya, maka jalan terbaik untuk melaksanakan tugas itu adalah mempelajari dirinya.
Ayat lain yang berhubungan dengan topik ini terdapat dalam surat al-Ma’idah ayat 105 Allah Swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tidaklah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk ….”
Pada ayat ini Allah mengatakan kepada kita untuk berhati-hati terhadap diri kita sendiri dan memperhatikan diri kita. Jadi, kita harus berhati-hati tentang kebaikan roh kita, bahwa kita harus sadar penyakit-penyakit jiwa kita, dan bagaimana menyembuhkannya. Dari sini kita pahami bahwa kewajiban kita yang pertama adalah menjaga rohani kita.
Kadang-kadang mungkin timbul suatu pertanyaan tentang hubungan antara kaum mukmin dan masyarakat. Apakah ayat di atas berarti kita harus memfokuskan perhatian pada diri kita dan tidak memperhatikan masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita lihat apa kata Allamah Thabathaba’i tentang topik ini dalam karya agungnya, al-Mizan.
Mufasir dan ulama besar ini menerangkan bahwa yang dimaksud di sini ialah bahwa kita harus berhati-hati tentang diri kita, dan mengenal kewajiban sosial dan pribadi kita, sehingga kita pun dapat bertanggung jawab secara sosial. Misalnya, dalam Islam kita diperintahkan menasihati orang untuk berbuat baik dan melarang mereka berbuat kemungkaran. Orang yang tidak melaksanakan kewajiban ini tidaklah dipandang sebagai seorang Muslim yang taat. Alasannya, dia tidak menolong masyarakat untuk memperbaiki diri.
Jadi, dalam Islam menjaga diri secara rohani berhubungan erat dengan menaruh keprihatinan terhadap kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, penting untuk diingat bahwa masyarakat sangat dapat mempengaruhi seseorang, sangat mungkin melemahkan atau memperkuat keimanannya.
Ayat selanjutnya tentang pentingnya pengenalan diri: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alquran itu adalah benar.” (QS. Fushshilat:35)
Allah berkata bahwa Ia segera akan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda-Nya, tetapi di manakah tanda-tanda itu dan di manakah terdapatnya? Allah mengatakan bahwa tanda-tanda itu terdapat di dua tempat: fil afaq wa fi anfusihim yang berarti di dunia eksternal dan dalam jiwa mereka sendiri. Ayat ini mengatakan kepada kita bahwa dengan memandang tanda-tanda yang terdapat di dalam jiwa kita, dan yang ada di alam semesta, akan menjadi sempurna dan jelas bahwa Allah sesungguhnya ada.
Menurut sebagian tafsir, kenyataan ini bukan saja benar, tetapi merupakan kebenaran itu sendiri. Penting untuk memahami perbedaan antara kedua ungkapan ini; sama bila kita mengatakan bahwa Imam Ali a.s. bukan saja adil melainkan ia sendiri merupakan keadilan yang berarti bahwa keadilan adalah pengejawantahan Imam Ali.
Sekali lagi kita akan mengandalkan Alquran untuk bimbingan. Dalam kehidupan sehari-hari bila kita membeli suatu alat atau mesin, kita segera membuka buku pegangan untuk petunjuk bagaimana mengoperasikannya dengan benar, dengan mempercayai bahwa pembuatnya adalah sumber petunjuk yang terbaik. Maka tampak sangat logis bagi seorang Muslim untuk membuka AlQur’an agar mendapatkan instruksi tentang perilaku yang benar dalam kehidupan, dengan meyakini bahwa Pembuat dan Pencipta manusia adalah juga sumber bimbingan dalam pelajaran tentang watak umat manusia yang sangat kompleks.
Ayat lain yang berkaitan dengan topik kita terdapat dalam surah adz-Dzariyat ayat 20-21: “Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang yakin, dan [juga] pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”
Kita pelajari bahwa Allah mempunyai dua jenis tanda, yang lahiriah di dunia fisik, dan yang di dalam diri kita. Ayat 20 berbicara tentang tanda-tanda yang berhubungan dengan wilayah fisik. Di dalamnya Allah Yang Mahakuasa mengatakan kepada kita bahwa ada tanda-tanda di bumi ini bagi orang yang beriman.
Segera timbul suatu pertanyaan: mengapa orang yang sudah beriman memerlukan penegasan kembali tentang tanda-tanda itu, dan mengapa orang-orang yang tidak beriman kepada Allah tetap lalai atasnya, padahal lebih memerlukannya?
Baca: Membiasakan Diri untuk Berpikir dan Bertafakur
Jawaban yang diberikan oleh para ulama besar Islam ialah bahwa orang-orang yang tidak beriman kepada Pencipta sebagai Tuhan dan Penguasa alam semesta, juga tidak cenderung untuk melihat atau memperhatikan apa yang ada di depan mereka. Sebagian besarnya lalai akan tanda-tanda yang siap dikenali oleh orang mukmin.
Di ayat berikut, ayat 21 surah adz-Dzariyat, Tuhan berkata: “Dan dalam jiwa kamu sendiri [pula]; tidak maukah kamu melihat?”
Ayat ini meminta perhatian kita tentang perlunya melihat tanda-tanda itu dalam diri kita sendiri. Kepada kita dikatakan dengan jelas dan tegas bahwa ada tanda-tanda di dunia luar pula, dan itu merupakan sumber-sumber petunjuk bagi kita.
Dari semua ini, jelaslah bagi kita bahwa kaum Muslim didesak untuk tidak memfokuskan pada jiwa mereka saja dengan mengesampingkan dunia fisik yang material; dan sebaliknya, tidak berpikir bahwa hanya dunia material saja yang penting.
*Disarikan dari buku Mengenal Diri – Ali Shomali