Notice: Undefined index: file in /var/www/html/saf/safinah/wp-includes/media.php on line 1712
Salah satu manfaat praktis dari mengenal diri adalah memungkinkan seseorang berkenalan akrab dengan kemampuan-kemampuan dan bakat-bakat pribadinya. Ini amat membantu bagi seseorang dalam kehidupannya dan dapat mencegahnya, misalnya, dari memilih bidang studi atau pekerjaan yang secara inheren tidak sesuai dengan kemampuan-kemampuan yang Tuhan anugerahkan kepadanya.
Tetapi, yang lebih penting adalah nilai rohani dari pengenalan diri, di mana orang yang mengenal diri sangat kecil kemungkinannya untuk berkubang dalam kesombongan, kebanggaan yang tak sepatutnya, dan perangai-perangai yang merusak semacam itu. Orang yang berhubungan erat dengan dirinya sendiri dan Tuhannya, jauh lebih baik dalam memperbaiki aspek-aspek dirinya yang dapat diperbaiki, dan yang memang memerlukan perbaikan. Ia akan lebih dapat menilai kelemahan dan kekuatannya, dan bersyukur atas nikmatnya.
Pengenalan diri adalah suatu sistem yang sangat efektif bagi perbaikan diri. Dapat dikatakan bahwa ma’rifatun nafs dalam beberapa hal serupa dengan terapi-terapi bio-feedback yang dianjurkan oleh banyak dokter di sebagian negeri Barat kepada pasien yang partisipasi aktifnya dalam proses penyembuhan yang diperlukan, atau untuk pasien-pasien yang bagi mereka obat-obatan modern tidak menyembuhkan.
Manfaat sangat penting lainnya dari ma’rifatun nafs adalah seorang mukmin mengetahui bahwa ia ciptaan Allah yang amat berharga, dan tidak melihat dirinya semata-mata sekadar seperti hewan lain yang memiliki beberapa kebutuhan dasar untuk dipuaskan dan diperjuangkan.
Baca: Pentingnya Mengenal Diri
Kebanyakan manusia secara naluri tampak menyadari bahwa setiap wujud mempunyai tingkat kesempurnaan yang berbeda, yang erat kaitannya dengan karakteristik dan tujuan inheren wujud itu dalam skema hal-hal di alam semesta. Misalnya, suatu pohon rindang biasa yang tidak berbuah dipandang memiliki status kesempurnaan lebih rendah dalam skema hal-hal itu dibandingkan dengan pohon apel yang dapat bermanfaat sebagai naungan maupun buahnya. Karena itu, pohon apel di suatu kebun buah yang berdaun cukup rimbun untuk memberi naungan tetapi karena suatu alasan tidak berbuah, sangat mungkin untuk ditebang dan diganti dengan yang berbuah. Ia tidak hidup memenuhi potensinya dan tingkat kesempurnaannya. Dengan kata lain, walaupun pohon itu tetap berguna dalam banyak seginya, ia gagal dalam aspek yang membedakan dia dari pohon-pohon yang lebih kurang sempurna yang tidak berbuah.
Analogi yang sama berlaku bilamana kita membandingkan manusia dan binatang. Apabila seorang manusia tidak menunjukkan karakteristik yang lebih tinggi daripada ciri-cirinya yang juga dimiliki hewan, yakni makan, minum, berlindung, dan gairah untuk berkembang biak, maka orang itu belum mencapai potensi atau kesempurnaan penuhnya.
Untuk menyingkat pokok ini, orang dapat mengklaim secara logis bahwa manfaat kedua yang terpenting dari ma’rifatun nafs adalah mengenal karakteristik fitriah yang eksklusif, yang memungkinkan orang melihat dengan jelas siapa mereka. Manusia semacam itu tidak akan mengizinkan dirinya dirusak dan direndahkan ke tingkat hewan, setelah memahami kedudukannya dalam skema hal-hal itu, dan di mata Tuhannya. Orang yang mengetahui nilainya yang sesungguhnya, tidak akan berbuat dosa. Apabila kita benar-benar memahami betapa berharganya kita, betapa tingginya potensi kita yang tak tergambarkan, dan betapa tingginya ke mana kita dapat membumbung, maka kita tidak akan membiarkan diri kita dibelenggu dan direndahkan oleh dosa.
Imam Ali a.s. dalam Nahjul Balaghah berkata: “Barang siapa memandang dirinya dengan hormat, maka ia memandang hawa nafsunya dengan hina.”
Dengan kata lain, Imam mengatakan bahwa begitu seseorang menyadari dirinya sendiri, memahami betapa berharga ia, dan tujuan-tujuan bernilai yang dapat dicapainya, hawa nafsunya sendiri tampak enteng, tak berarti, dan tak pantas baginya. Jadi, memerangi hawa nafsu menjadi lebih mudah, dan inilah salah satu manfaat pengenalan diri.
Masih dari Nahjul Balaghah, Imam Ali a.s. berkata kepada putranya, Imam Hasan: “Jauhkanlah dirimu dari setiap hal yang rendah, sekalipun itu mungkin membawamu kepada tujuan yang engkau hasratkan, karena engkau tidak akan menerima suatu kembalian atas kehormatan engkau sendiri yang engkau belanjakan. Janganlah menjadi budak orang lain karena Allah telah membuatmu merdeka.”
Dalam hadis yang kedua, kita dapati kata daniyyat yang berarti perbuatan yang secara inheren jelek dan hina. Imam memperingatkan kita tentang bahaya serius perbuatan seperti itu terhadap jiwa kita, karena memperbudak roh dan merusak jiwa. Beliau memperingatkan kita untuk selalu waspada terhadap perbuatan yang walaupun menyenangkan, menghibur, dan enak, adalah demikian menghinakan sehingga, secara rohani, orang kehilangan jauh lebih banyak ketimbang kesenangan sesaat yang diperolehnya.
Pada kalimat terakhir hadis yang kedua, Imam Ali mengatakan kepada putranya bahwa kebebasan manusia demikian berharganya dan merupakan karunia berharga dari Tuhan Yang Mahakuasa. Sehingga, perbuatan apa saja, betapa pun menyenangkan atau menghibur, yang menjurus kepada perbudakan adalah perdagangan yang teramat buruk. Kesenangan sesaat akan berlalu dan kehancuran menyedihkan akan terus berlanjut.
Sekarang marilah kita teruskan ke suatu manfaat besar lain dari pengenalan diri. Kebanyakan manusia menyadari secara naluri bahwa ada dua sisi yang berbeda dari wujud mereka: aspek material (duniawi) dan aspek spiritual. Namun, kebanyakan mereka tidak memahami atau mempercayai bahwa yang spiritual amat jauh lebih penting dibanding dengan yang material.
Tetapi, dalam Islam, urusan rohani yang unggul. Seseorang mungkin merupakan anggota masyarakat yang sangat produktif dalam capaian material, namun ia merasa tidak pantas disebut seorang muslim apabila ia korup. Ada kesalahpahaman yang mencolok bahwa beberapa perbuatan tidak berpengaruh pada jiwa seseorang karena tampak tak penting. Tetapi kita diajari dalam Islam bahwa setiap patah kata yang kita ucapkan, mempunyai efek pada jiwa dan roh kita, memperkuat keimanan dan menyucikan rohani, atau menjungkirkan keimanan dan merugikan jiwa kita. Kata-kata yang diucapkan untuk membimbing suatu jiwa yang tersesat adalah berharga bagi si pembicara maupun orang yang tersesat itu. Mereka masing-masing beroleh manfaat secara berbeda-beda. Jadi, tak boleh ada keraguan di kalangan muslim bahwa dalam Islam kita diajari bahwa setiap perbuatan, setiap patah kata, mempunyai akibat bagi kesejahteraan rohani kita, dan tak boleh dibiarkan sebagai sesuatu yang tak berarti atau sepele.
Ketika Nabi Muhammad Saw mengutus Imam Ali ke Yaman, beliau berkata: “Hai, ‘Ali! Jangan bertempur dengan siapa pun sebelum kamu mengajak mereka kepada Islam, dan saya bersumpah demi Dia bahwa apabila Allah membimbing satu orang melalui engkau, itu lebih berharga daripada semua yang di bawah matahari terbit dan tenggelam.” (Mizan al-Hikmah, 10/325)
Jadi, dapat dikatakan dengan jelas kepada kita bahwa dimensi yang penting dari wujud kita adalah jiwa, dan amal perbuatan serta pikiran kita langsung mempengaruhi ganjaran berharga dari Tuhan.
Baca: Membiasakan Diri untuk Berpikir dan Bertafakur
Manfaat besar ketiga dari pengenalan-diri yang diajarkan Islam adalah mengetahui bahwa aspek kerohanian dari wujud kita merupakan sesuatu yang terpenting, dan roh kita dipengaruhi bukan saja oleh amal perbuatan kita, tetapi juga oleh gagasan-gagasan kita. Maka kita harus waspada berkaitan dengan pikiran kita, dan menggunakan pengetahuan kita untuk mengelakkan banyak jebakan jiwa.
Manfaat keempat dari pengenalan-diri adalah memahami bahwa kita tidak diciptakan secara kebetulan. Apabila kita merenung secara mendalam tentang diri kita sendiri, kita akan sampai pada suatu kesimpulan yang tak terelakkan bahwa Tuhanlah yang menciptakan semuanya, dan kita tak mungkin menjadi ada dengan sendirinya atau sekadar karena hubungan ayah dan ibu kita, sekiranya itu bukan merupakan bagian dari rencana-Nya. Secara alami manusia selalu mencari alasan bagi keberadaannya dan hidupnya. Melalui ma’rifatun nafs, orang akan menyadari bahwa kita masing-masing adalah unik (berbeda satu sama lain). Kita tidak diciptakan secara kebetulan dan sia-sia. Dengan persenjataan pengetahuan, kita telah diperlengkapi untuk berjuang dan menyadari tujuan penciptaan kita.
*Disarikan dari buku Mengenal Diri – Muhammad Ali Shomali