Oleh: Muhsin Labib,MA
Yang merasa bahagia dan melihat semua hal berjalan sesuai harapannya menganggap Tuhan menyayanginya. Ekspresinya ceria, penuh tawa, benderang dan mengundang suka. Sedangkan yang merasa sengsara dan melihat semua hal menabrak harapannya menganggap Tuhan mengabaikannya. Ekspresinya murung, penuh tangis dan memancing iba.
Banyak atau sebagian besar orang bersyukur ketika merasa Allah telah memilihnya di antara banyak orang lainnya dengan memberikan kepadanya kebahagiaan rumah tangga, suami yang setia, isteri solehah, menganugerahkan kesehatan, kecantikan dan kesehatan, kebugaran dan kesembuhan, mengkaruniakan kesuksesan karir, pergaulan luas dan keuntungan dalam bisnis.
Tidakkah memang harus demikian? Bukankah itu semua berasal dari Tuhan?
Tapi mengapa bersyukur bersyarat ketika merasa memilihnya? Apakah yang tak merasa dipilih umtuk diberi kenyaman itu tak perlu bersyukur?Mengapa merasa Dia telah memilihnya sebagai penerima itu di antara lainnya yang tak ia pilih? Mengapa dia merasa dipilih? Benarkah Dia memilihnya?
Baca: Tuhan, Agama dan Implementasi
Apakah selain kebahagiaan, kesehatan, kesuksesan, keuntungan dan sebagainya tak bersumber dariNya? Lalu siapa Tuhan orang-orang kere, penyakitan, miskin dan sejenisnya? Ataukah mereka “hamba-hamba tiri”?
Apakah kekacauan rumah tangga, penyakit, kemiskinan, kerugian, kegagalan dan sebagainya ditimpakan olehNya atas sebagian orang karena pilihan suka-suka Dia?
Kalau dipilih untuk bahagia, sukses, sehat dan sebagainya karena balasan kebaikan, apakah yang hidup sengsara, dicampakkan, mengidap penyakit, miskin dan sebagainya karena efek keburukan?
Kalau orang-orang yang hidup bahagia, sehat, sukses, makmur dan sebagainya karena dipilih secara khusus sebagai balasan atas kebaikan mereka, apakah yang mengidap penyakit, gagal, rugi, tercampakkan dan sebagainya bisa dianggap orang-orang yang dipinggirkan oleh Tuhan karena keburukan mereka?
Mengapa mesti berbeda? Mengapa ada yang tak mampu jalan karena lapar dan ada yang tak mampu bergerak karena kenyang? Mengapa ada yang tangannya sakit karena sering menngadah menunggu welas di perempatan lampu merah, sementara ada pula yang tangannya keram karena lama menghitung hartanya? Mengapa ada yang meneteskan air mata karena gembira haru, ada pula yang tertawa meringis karena malu (pulang ke rumah karena tidak berhasil membawa susu untuk anak)? Mengapa ada yang sumpek karena laba bisnisnya tidak sebagus kemarin, sementara ada yang gembira lantaran hari ini lebih bagus dari kemarin setelah diajak teman makan di warteg?
Ada ribuan pertanyaan serupa yang silih berganti seperti iklan baris di benak kita, baik kita sebagai yang merasa beruntung dapat karunia maupun kita yang merasa kurang beruntung dapat karunia. Sebagian orang, karena telah dibekali doktrin teologi fatalis, bahwa itu semua adalah keputusan absolut Tuhan yang, bila dipertanyakan bisa dianggap kufur.
Jawaban ini secara jelas tidak mendidik dan bisa dianggap sebagai “teologi candu”. Mengapa? Tuhan yang mahasuci dan tak terbatas telah menciptakan sistem alam dengan segala dimensi dan mekanismenya. Seseorang yang menjadi kaya karena mengambil hak orang lain bukan hasil keputusan Tuhan. Manusia yang menjadi penguasa semena-mena dan menindas rakyat bukanlah takdir Tuhan yang harus diimani. Tuhan yang telah memberi manusia dengan kemampuan dan alam diperuntukkan kepadanya tidak bisa dijadikan sebagai “pelaku utama’ atau “otak intelektual” di balik kebiadaban para pengusaha tamak dan penguasa despotik. Tuhan telah memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk menjadi apa saja. Bila mempertanyakan ketimpangan sosial akibat ulah manusia-manusia rakus dan kejam, dianggap sebagai menggugat keputusanNya, maka bisa dipastikan bahwa Ia hanyalah imagi yang diciptakan untuk melestarikan dominasi dan hegemoni serta eksploitasi.
Ada pula yang menggunakan statemen yang terkesan apologetik bahwa “harta dan tahta bukanlah ukuran ketakwaan, namun amal”. Ketakwaan adalah sesuatu yang abstrak dan transenden. Tentu saja, ketakwaan tidak bisa diukur dengan kekayaan. Dipastikan bahwa kekayaan bukan standar ketakwaan saja, banyak yang mencarinya dengan segala macam cara, bayangkan bila dianggap identik dengan ketakwaan. Itu artinya, yang kaya di dunia, pastilah kaya di akhirat, dan begitu pula sebaliknya. Bila demikian konsekuensinya, maka bisa dipastikan pula bahwa doktrin ini tidak lain adalah modus operandi para penjarah harta sesama agar mereka bisa tidur nyenyak tanpa dihantui sedikitpun rasa bersalah. Tidak sedikit pula yang dijejali dengan tausiah, “lihatlah orang yang di bawah agar selalu bersyukur”.
Baca: Muhammad antara Tuhan dan Semesta
Ternyata Tuhan kerap diperlakukan sebagai kanvas bening yang dijadikan lukisan yang indah, lumayan dan buruk oleh sebagian orang.
Manusia bila diuji oleh Tuhannya lalu memberinya kemuliaan, dan kesenangan, berkata, ‘Tuhanku telah memuliakanku’. Namun bila diuji dengan kesengsaraan oleh Tuhannya lalu membatasi rezekinya, berkata, ‘Tuhanku menghinaku’. Sekali-kali tidak! (QS. Al-Fajr: 15-17)