Para ulama akhlak menyebutkan bahwa sabar memiliki sejumlah tingkatan. Tingkat pertama, bersabar untuk tidak terlalu terbuai dengan kesenangan, seperti sehat, sukses, memperoleh harta, kedudukan, banyak kerabat, dan lainnya. Dalam hal ini, seorang hamba harus bersabar untuk mengendalikan diri dan bersungguh-sungguh agar tidak sampai berlebih-lebihan.
Tingkat kedua, bersabar dalam berbuat taat kepada Allah Swt. Ini tidak mudah dilakukan. Sebab sudah jadi watak manusia untuk tidak suka pada ketaatan, dan sebaliknya amat menyukai dipuja dan dijadikan tuhan. Karena itu, dikatakan bahwa kebanggaan Firaun selalu tersembunyi selama tidak diperlihatkannya. Namun kemudian tercipta kesempatan baginya untuk memperlihatkannya. Ya, kesombongannya nampak ketika “diundang” para hambanya, pembantunya, dan pengikutnya, sekalipun awalnya sulit. Karena itu, ia marah sewaktu merasakan kekurangan dalam pelayanan mereka. Inilah kesombongan.
Bersabar dalam ketaatan kepada Allah Swt harus dilakukan sebelum, sesudah, atau saat menjalankan ketaatan. Adapun sabar sebelum melakukan ketaatan haruslah disertai niat. Sementara bersabar ketika melakukan ketaatan dilakukan agar tidak riya dan lalai dalam menyebut nama Allah Swt. Adapun bersabar setelah melakukan ketaatan dilakukan dengan menjauhi sifat sombong atau sejenisnya yang dapat membatalkan pahala ketaatan.
Baca juga Kesabaran Sebagai Fondasi Agama: Pilar Kekuatan Kaum Muslimin
Tingkat ketiga, bersabar dalam menahan diri untuk tidak melakukan maksiat. Kesabaran ini sangat dibutuhkan manusia. Sebab kebanyakan maksiat, seperti berbohong, mengumpat, mengadu domba, dan lain-lainnya, sudah menjadi kebiasaan semua orang. Bahkan sudah menjadi karakter yang melekat kuat pada diri mereka. Jika kebiasaan tersebut menyatu dengan keinginan, maka bala tentara setan dan bala tentara Allah Swt akan bertarung sengit. Dan tatkala perbuatan dosa terasa lebih enak, kesabaran tentu akan sulit diwujudkan.
Tingkat keempat, bersabar untuk tidak membalas sesuatu walaupun mampu melakukannya, seperti dalam menghadapi seseorang yang menyakitinya lewat perbuatan atau perkataan. Bersabar dalam hal ini (tidak berkeinginan membalasnya) merupakan sikap yang amat baik dan terpuji.
Tingkat kelima, bersabar terhadap sesuatu yang terjadi di luar kemauan sendiri, baik pada awal mulanya maupun sesudahnya. Seperti tertimpa cobaan dengan meninggalnya para kekasih dan kerabat, hilangnya harta, jatuh sakit, buta, cacat, jatuh miskin, dan musibah sejenis lainnya. Bersabar dalam menghadapi cobaan seperti ini sulit sekali dilakukan, namun pahalanya juga sangat besar.
Allah Swt berfirman: “…Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Inna Lillahi wa inna ilaihi raji’un! Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qal-Baqarah: 156-157)
Baca juga Kesabaran: Kunci Menuju Pribadi yang Kokoh dan Tak Terkalahkan
Bersabar dalam menghadapi cobaan adalah rahasia kehidupan yang penuh makna. Bayangkan, para shalihin merasakannya bukan lagi sebagai kepahitan, melainkan lebih manis dari rasa madu. Tantangan yang menghampiri bukan lagi rintangan, melainkan jalan menuju kebahagiaan yang sejati.
- Bersabar membawa pahala besar yang akan diperoleh. Mereka akan diberi martabat di sisi Allah Swt sebagaimana orang yang berpuasa, menunaikan salat malam, atau mati syahid. Sabar terhadap kemiskinan bahkan dianggap sebagai jihad, bahkan lebih utama dari ibadah selama 60 tahun.
- Dengan kesabaran, seseorang akan memperoleh kesempatan untuk menggapai kedudukan yang tinggi di sisi Allah Swt.
- Rasa gelisah, cemas, galau, dan takut tidak akan membuahkan apa pun kecuali berkurangnya pahala. Kita harus percaya bahwa segalanya ditentukan oleh Allah Swt yang memiliki dunia dan segala isinya.
- Cobaan merupakan bagian dari kebahagiaan dan mencerminkan kedekatan seorang hamba dengan penciptanya. Semakin berat cobaan, semakin dekat dirinya dengan Allah Swt.
- Ingatlah bahwa segala bencana yang terjadi adalah ketentuan dari Zat yang Mahabijak dan Mahakasih. Dia tidak akan menentukan sesuatu kepada hamba-Nya melainkan demi kebaikannya.
- Cobaan juga merupakan pembersih jiwa, membantu memperkuat iman dan ketakwaan.
- Mengeluh tidak akan berdampak apa pun kecuali hanya menggembirakan lawan dan membuat sedih teman.
- Kesabaran akan membuahkan kebahagiaan di dunia. Lihatlah bagaimana Nabi Yusuf as menjauhi maksiat dan menghadapi berbagai ujian, hingga akhirnya memperoleh kemuliaan yang luar biasa. Begitu juga dengan Nabi Ayyub as, yang kesabarannya dibalas dengan limpahan rizki dan kebahagiaan yang tak terhingga.
Saat cobaan menghampiri, ingatlah betapa beratnya ujian yang dialami Ahlulbait Nabi saw. Apapun kesulitan yang kita alami, mereka telah menghadapi ujian yang jauh lebih berat. Mereka adalah teladan bagi seluruh umat manusia, dan dunia diciptakan karena mereka. Sebuah pepatah yang indah mengatakan, “Musibah kalian akan terlupakan, jika kalian melihat musibah lain yang telah terjadi; bahkan dengan itu, musibah yang menimpamu juga akan terasa ringan.”
Janganlah bersabar seperti orang awam yang hanya menahan diri agar disebut bersabar. Bersabar seperti ini bisa jadi hanya riya. Berusahalah setidaknya untuk bersabar seperti para muttaqin, yang hanya mengharapkan pahala akhirat. Lebih baik lagi, bersabarlah seperti para ‘arifin, yang telah memiliki pengenalan yang mendalam terhadap Allah Swt. Mereka merasakan nikmat dan ketenangan dalam menghadapi sesuatu yang tidak diinginkan, menyadari bahwa semuanya datang dari Sang Pencipta yang Maha Kasih dan Maha Mengetahui.
Baca juga Pentingnya Kesabaran dalam Menghadapi Godaan Dosa
Ketika mengalami musibah, bersabar tidak berarti menahan air mata. Bukankah Rasulullah Saw sendiri menangis saat kehilangan putranya, Ibrahim? Ketika ditanya mengapa menangis, beliau menjawab, “Sesungguhnya hati dapat terbakar dan mata dapat menangis. Kami tidak akan berbicara yang dapat membuat Allah Swt murka atau tidak ridha pada kita.”
Allah berfirman, “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, dan sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan.” (QS al-Insyirah: 5-6)
Dalam tafsir Majma’ al-Bayan, disebutkan bahwa ‘Ata meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang berkata, “Allah Swt berkata dalam sebuah hadis Qudsi: ‘Aku menciptakan kesulitan hanya satu dan menciptakan kemudahan ada dua. Tak mungkin satu kesulitan dapat mengalahkan dua kemudahan.'”
Mengapa dalam surat Alam Nasyrah di atas kata “kesulitan” yang hanya satu dan “kemudahan” ada dua, sebagaimana diungkapkan Ibnu Abbas, kedua kata tersebut diulang-ulang sampai dua kali? Kata dengan makna yang sama kadang diulang untuk menekankan pentingnya pesan tersebut. Sebagai contoh, jika dikatakan, “Jika engkau mendapat rezeki satu dirham, bersedekahlah satu dirham,” maka dirham yang dimaksud adalah yang diperoleh dari rezeki tersebut. Namun jika diungkapkan dengan kata “bidirhamin,” maka yang dimaksud mungkin bukan dari rezeki tersebut, tetapi dari yang lain. Begitu pula dengan ayat di atas, “Inna ma’a al-‘usri yusraini,” artinya, “Sesungguhnya dalam setiap kesulitan ada dua kemudahan.”
Banyak perilaku yang mendapat pujian dengan kesabaran. Namun, setiap perilaku memiliki nama tersendiri. Sabar dalam menahan diri untuk tidak mengikuti hawa nafsu dan keinginan duniawi dinamakan “iffah” (menjauhkan diri dari hal yang tidak baik). Sabar dalam menghadapi sesuatu yang tidak disukai memiliki nama yang berbeda sesuai dengan perbuatan yang dihadapinya. Sabar dalam menghadapi cobaan dinamakan “al-shabr,” sedangkan lawannya adalah “aljaza'” (gelisah atau tidak sabar). Sabar dalam menahan diri untuk tidak melakukan maksiat kepada Allah Swt dinamakan “al-taqwa.” Dan masih banyak lagi.
*Disarikan dari buku karya Abdullah Maghani – Wasiat Sang Ayah