“Dan tidak ada suatu makhluk melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (QS. Hud: 6)
Ayat ini menegaskan sebuah prinsip mendasar dalam akidah Islam: rezeki seluruh makhluk berada dalam jaminan Allah Swt. Namun, ketika kita memandang realitas dunia—baik hari ini maupun sepanjang sejarah—muncul sebuah pertanyaan serius: mengapa masih ada manusia yang meninggal karena kelaparan? Apakah ini berarti jaminan ilahi tersebut tidak berlaku bagi mereka?
Untuk memahami persoalan ini secara adil dan mendalam, kita perlu meninjau beberapa poin penting.
Pertama, jaminan rezeki tidak berarti rezeki itu hadir dengan sendirinya tanpa usaha manusia. Allah tidak menjanjikan bahwa rezeki akan diantarkan ke depan pintu rumah atau disuapkan ke dalam mulut manusia. Yang dijamin adalah tersedianya peluang dan sarana bagi manusia untuk berusaha. Rezeki terwujud melalui ikhtiar, kerja, dan pemanfaatan potensi yang Allah sediakan di alam semesta.
Al-Qur’an memberikan contoh yang sangat indah melalui kisah Sayidah Maryam as. Saat beliau berada dalam kondisi paling sulit—sendirian, di tengah gurun yang gersang, menjelang kelahiran Nabi Isa a.s.—Allah tetap menurunkan rezeki-Nya. Namun, bahkan dalam kondisi tersebut, Allah berfirman: “Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu.” (QS. Maryam: 25)
Kurma itu tidak jatuh tanpa sebab. Ada perintah untuk bergerak, berusaha, meski dengan tenaga yang sangat terbatas. Ini menunjukkan bahwa usaha manusia adalah bagian dari sunnatullah dalam perolehan rezeki.
Kedua, kelaparan sering kali bukan akibat ketiadaan rezeki, melainkan akibat ketidakadilan manusia. Keserakahan, penindasan, dan perampasan hak telah membuat sebagian orang hidup berkelimpahan, sementara sebagian lainnya terjerumus dalam kemiskinan ekstrem. Rezeki yang seharusnya sampai kepada banyak orang terhalang oleh sistem yang zalim dan tangan-tangan yang tamak.
Dalam konteks ini, keadilan sosial menjadi syarat penting bagi distribusi rezeki yang benar. Tanpa keadilan, jaminan rezeki Allah akan terdistorsi oleh perilaku manusia sendiri.
Sebagian orang mungkin bertanya, “Mengapa Allah tidak menghentikan kezaliman para perusak ini?” Jawabannya terletak pada prinsip kebebasan berkehendak (ikhtiar). Kehidupan manusia dibangun di atas ujian, bukan paksaan. Tanpa kebebasan memilih antara adil dan zalim, taat dan durhaka, tidak akan pernah ada makna kesempurnaan, pahala, maupun pertanggungjawaban.
Sejarah menunjukkan bahwa banyak wilayah yang penduduknya menderita kelaparan—termasuk beberapa kawasan di Afrika—sejatinya adalah daerah yang sangat kaya akan sumber daya alam. Namun penjajahan, konflik, korupsi, dan sistem global yang tidak adil telah menghalangi rezeki itu dari pemiliknya yang sah.
Ketiga, Allah telah menyediakan sumber pangan yang melimpah di bumi ini. Dengan akal, ilmu, dan ketekunan, manusia mampu menemukan dan mengelolanya. Jika potensi ini diabaikan, disia-siakan, atau disalahgunakan, maka akibatnya kembali kepada manusia sendiri, bukan pada kurangnya jaminan dari Allah Swt.
Dengan demikian, kelaparan bukanlah bukti kegagalan janji ilahi, melainkan cermin dari kegagalan manusia dalam menjalankan amanah: berusaha, menegakkan keadilan, dan memanfaatkan karunia Allah secara benar. Rezeki memang dijamin, tetapi tanggung jawab manusia tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sunnatullah dalam kehidupan.
*Disarikan dari buku 110 Persoalan Keimanan yang Menyehatkan Akal
Ayatullah Nasir Makarim Syirazi