Sahara tandus Karbala di bumi Mesopotamia, Irak, pada tanggal 10 Muharram 61 H menjadi ajang pementasan ketegaran dan ketentraman jiwa insan-insan sejati di tengah kecamuk bencana kemanusiaan yang tergolong paling mengerikan sepanjang sejarah. Di pentas pertempuran antara kubu hak dan kubu batil ini terbukti ada jiwa-jiwa suci nan tangguh yang pantang tunduk kepada siapapun kecuali kepada perintah Sang Penciptanya, sebagaimana terlukis dalam kata-kata Imam Husain as;
رضی الله رضانا اهل البیت نصبر علی بلائه ویوفینا اجور الصابرین.
“Keridhaan Allah adalah keridhaan kami Ahlul Bait, kami bersabar atas ujian dan Dia akan memberi kami pahala orang-orang yang bersabar.”[1]
Segaris dengan semangat dan kepuasan mendapat ridha Allah ini pula adik Imam Husain as, Hazrat Zainab bin Ali bin Abi Thalib as, usai tragedi pembantaian Imam Husain as dan para sahabatnya di Karbala dengan tegar meladeni ledekan Ubaidilah bin Ziyad yang diangkat oleh Yazid bin Muawiyah sebagai gubernur Kufah. Saat itu Ubaidillah dengan congkaknya berkata, “Bagaimana menurutmu apa yang telah dilakukan Allah terhadap kakak dan keluargamu?” Hazrat Zainab as menjawab;
“Aku tidak menyaksikan apa-apa kecuali keindahan. Mereka (Ahlul Bait dan para pembelanya) adalah orang-orang yang sudah ditakdirkan terbunuh sebagai syahid agar derajat keagungan mereka bertambah. Karenanya, dengan sukarela mereka bergegas pergi ke tempat persemayamannya. Adapun kalian tak lain adalah orang-orang yang akan dikumpulkan oleh Allah pada hari kiamat untuk diminta pertanggungjawaban kalian atas peristiwa ini, dan saat itulah akan diketahui kemenangan sejati ada di pihak siapa.”[2]
Pernyataan serupa juga kumandangkan Hazrat Zainab as di majelis Yazid bin Muawiyah, penguasa kejam yang bertahta di Syam dan menjadi otak tragedi Karbala. Di situ puteri gagah berani Imam Ali bin Abi Thalib as ini mengungkapkan rasa bersyukurnya atas cobaan terbesar yang membuat Ahlul Bait Nabi as kian berkilau di langit sejarah. Dia berkata;
الحمدلله الذی ختم لاولنا بالسعادة ولآخرنا بالشهادة والرحمة.
“Segala puji bagi Allah yang telah memulakan urusan kami dengan kebahagiaan, dan mengakhiri kehidupan kami dengan kesyahidan dan rahmat.” [3]
Faktor Ketiga, Lupa Kepada Allah SWT
Orang yang senantiasa memandang Zat Yang Maha Kuasa sebagai penolongnya tidak mungkin merasa sendirian kapanpun dan di manapun dia berada. Karena itu, dalam keadaan sesulit apapun selalu saja ada harapan dalam sanubarinya, selalu ada tempat baginya untuk memohon dan mencari perlindungan. (Baca: Doa Imam Zainal Abidin as dalam Kesusahan dan Memohon Perlindungan)
Tentang ini Allah SWT dalam al-Quran membuat perumpaan yang menegaskan kepastian adanya perbedaan antara seorang budak yang bergantung pada banyak tuan yang berselisih satu sama lain dan seorang budak yang bergantung pada satu tuan saja. Allah SWT berfirman;
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَّجُلًا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلًا سَلَمًا لِّرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلًا الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ.
“Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”[4]
Ini adalah karena orang yang bergantung semata-mata kepada Yang Maha Esa pasti akan menemukan ketentraman, dan dengan ketentraman itu dia menemukan jalan menuju hakikat dicarinya, yaitu kesempurnaan insani. Allah SWT juga berfirman;
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ.
“Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”[5]
Dalam narasi Karbala Imam Husain AS sejak berada di Padang Arafah telah memperlihatkan dengan sangat indah ketertambatan jiwanya kepada Allah SWT. Basyar dan Basyir, dua putera Ghalib al-Asadi, mengisahkan bahwa keduanya bersama Imam Husain di padang suci itu pada sore hari. Mereka menyaksikan wibawa dan ketenangan beliau ketika keluar dari kemah dan lalu keluarga dan para sahabatnya menghampirinya. (Baca: Isu Melaknat Sahabat, Kenapa Mereka Tetap Membela Syiah?)
Kemudian beliau berdiri di sisi bukit menghadap Kaabah sembari menengadahkan tangannya “seperti seorang fakir kelaparan yang meminta makanan.” Dalam keadaan demikian itu beliau melantunkan sebuah doa panjang yang dikemudian hari dikenal dengan nama Doa Arafah. Doa ini beliau lantunkan dengan nada meratap sembari mengucurkan air mata hingga matahari terbenam, dan setelah itu beliau beranjak menuju Masy’ar al-Haram.[6]
Di Padang Karbala beliau juga telah memperlihatkan keadaan jiwa yang sama. Dikisahkan bahwa pada malam Asyura setelah musuh memutuskan untuk segera menghabisi nyawa beliau dan para sahabatnya, beliau meminta adiknya, Abu Fadhl Abbas, agar pertempuran ditunda besok harinya. Alasan beliau adalah karena beliau masih ingin menghabiskan malam itu untuk menunaikan shalat malam dan bermunajat kepada Allah SWT. Beliau berkata;
لعلنا نصلی لربنا اللیلة وندعوه ونستغفره فهو یعلم انی کنت قد احب الصلاة له و تلاوة کتابه و کثرة الدعاء والاستغفار.
“Supaya kita dapat mendirikan shalat kepada Tuhan kita malam ini, berdoa dan memohon ampunan kepadaNya. Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa aku menyukai shalat kepadaNya, membaca kitab suciNya, serta banyak berdoa dan memohon ampunan.”[7]
Di pagi hari dan pada saat perang mulai berkobar, lagi-lagi beliau selalu mengingat Allah SWT dan berdoa dengan rasa tawakkal. Beliau antara lain berucap;
اللهم انت ثقتی فی کل امر ورجائی فی کل شدة.
“Ya Allah, Engkaulah tempat aku percaya dalam segala urusan, dan harapanku dalam segala kesulitan.”[8]
Di siang harinyapun, sesudah mendirikan shalat terakhir kalinya, di tengah keberingasan badai amuk dan amarah balatentara iblis pemburu kenikmatan dan kedudukan duniawi beliau akhirnya bergegas dengan jiwa yang tentram dan tenang menuju alam keabadian dengan nama yang terabadikan dengan tinta emas sejarah perjuangan hak melawan batil sepanjang zaman.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. (mz)
[1] Bihra al-Anwar, jilid 44, hal. 367.
[2] Ibid, jilid 45, hal. 116.
[3] Ibid, jilid 45, hal. 367.
[4] QS. Al-Zumar [39]: 29.
[5] QS. Al-Ra’ad [12]: 28.
[6] Bihar al-Anwar, jilid 95, hal. 213. Doa Arafah, Mafatih al-Jinan.
[7] Tarikh Thabari, jilid 4, hal. 316.
[8] Ibid, hal. 321.
Baca: “Belajar Kedermawanan Plus Akhlak Dari Imam Husain as“