Islam disebut-sebut sebagai agama rahmatan lil alamin, karena pembawanya adalah nabi Muhammad saw yang difirmankan oleh Allah swt: “Dan tiadalah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Di luar sana terdapat sebuah pandangan dari kaum modernis yang tak hanya meragukan kerahmatan Islam itu, tetapi bahkan mengingkarinya. Bahwa agama terbukti sebagai sumber pertikaian antar manusia. Mereka menuduh agama yang menanamkan pertikaian dalam diri manusia, dan bahwa semua peperangan di dunia ini bersumber dari agama. Seperti peperangan antara katolik dan protestan, juga antara Syiah dan Sunnah di sepanjang sejarah, dan antar penganut-penganut kepercayaan lainnya, sumbernya adalah agama.
Baca: “Isu Melaknat Sahabat, Kenapa Mereka Tetap Membela Syiah?“
Mereka yang notabene kaum pluralis melontarkan dua dalil atas pandangan negatif tersebut:
Pertama, menggunakan ayat-ayat Alquran yang menganjurkan pertikaian dan peperangan, misal firman Allah swt:
Hai nabi, kobarkanlah semangat mukminin untuk berperang. (QS: al-Anfal 65)
Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu… (QS: at-Taubah 5)
Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah (kemusyrikan) dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. (QS: al-Anfal 39)
Jadi, Alquran adalah sumber pertikaian dan peperangan. Peperangan antar agama, sumbernya adalah kitab samawi, yang tak lain adalah Alquran.
Kedua, sirah bangsa arab dan para pemuka agama. Nabi (saw) memerangi kabilahnya di Badar, Uhud, Hunain, memerangi Yahudi di Khaibar, memerangi Romawi di Mu`tah. Ia mengadakan perang. Sirahnya adalah sirah peperangan. Para sahabat sebagai para pemuka agama pasca wafat Nabi (saw), mereka adalah para pelaku peperangan.
Baca: “Fikih Jenazah Menurut Mazhab Syiah (1): Saat Sekarat dan Memandikan Jenazah“
Ketika muslimin berjaya, meraih kemenangan. Mereka menumpakan darah, dan perpustakaan terbesar di Iskandaria dibakar oleh muslimin seluruhnya tanpa sisa. Merujuk pada sejarah para pemuka agama, didapati adalah sejarah yang berdarah, yang menganjurkan pertikaian dan peperangan. Jadi, agama adalah sumber pertikaian.
Kebenaran, Mutlak Ataukah Relatif?
Mereka mengatakan: Ada tiga perkara yang membedakan sudut pandang mereka itu dengan sudut pandang keagamaan. Menurut mereka, jika tiga perkara berikut ini diurai niscaya peperangan akan berakhir dan akan padam semua api peperangan:
Yang pertama, bahwa kebenaran tidaklah mutlak. Sedangkan agama meyakini bahwa kebenaran itu mutlak. Kaum beragama meyakini bahwa agama mereka adalah kebenaran mutlak, tidak terima kritik, tak ada pilihan dan tak bersyarat. Karena mereka yakin agama mereka adalah kebenaran yang mutlak, dan orang-orang wajib menerimanya. Jika tidak, mereka akan membunuh siapapun yang menolak.
Baca: “Pro dan Kontra Akal dalam Berakidah“
Seorang muslim meyakini Islam adalah kebenaran yang mutlak, seorang nasrani meyakini agama kristen adalah kebenaran yang mutlak, orang Syiah meyakini ajarannya adalah kebenaran yang mutlak, Orang Sunni meyakini Ahlussunnah adalah kebenaran yang mutlak. Semua mengklaim kebenaran, dan bahwa kebenaran ada di pihaknya. Oleh karena itu, masing-masing mengharuskan satu sama lain ke agama dan mazhabnya. Sehingga lahirlah pertikaian dan menyala api peperangan.
Jadi sumbernya adalah pandangan bahwa kebenaran itu mutlak. Seandainya dikatakan, kebenaran itu relatif dan tidak ada kebenaran yang mutlak, tetapi masing-masing agama atau aliran memiliki bagian kebenaran. Semua agama dan mazhab adalah datang dengan berbagai macam warna dan aroma.
Pengkultusan dan Tolok Ukur Nilai
Yang kedua, prinsip ketidak sucian. Sedangkan di dalam agama terdapat sesuatu yang muqaddas (yang disucikan dan diagungkan). Hal ini menutup pintu kritik dan kebebasan berfikir. Oleh karenanya, tak ada kesucian bagi apa atau siapapun di dalam agama. Prinsip inilah yang sebenarnya disucikan oleh kaum pluralis, bahwa tiada yang disucikan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Kant: “Awal langkah di jalan ma’rifat ialah Anda harus terluka di dalam mengkritik apa yang disucikan. Anda harus yakin tak ada sesuatu yang disucikan.”
Baca: “Berziarah ke Karbala Lebih Utama dari Berhaji ke Makkah?“
Yang ketiga, nilai manusia. Yakni, jika nilai dirinya terletak pada agamanya niscaya akan lahir peperangan. Misal dikatakan, “Orang ini muslim, orang itu non muslim!”, “Yang ini Syi’ah atau yang itu Sunni!?” Akan terjadi perselisihan hingga pertikaian dan peperangan apabila agama dilibatkan dalam penilaian terhadap manusia. Namun, jika kita abaikan penilaian ini, dan kita katakan bahwa nilai manusia terletak pada kemanusiaannya, bukan pada keagamaannya, akan padamlah api pertikaian.
Islam Menjawab
Apa yang telah dituduhkan oleh kaum itu dengan semua pandangan dan alasan tersebut, dibantah oleh Islam, bahwa agama bukanlah sumber pertikaian umat manusia. Sebuah prinsip keislaman yang harus mereka ketahui, bahwa seluruh manusia mendapatkan kemuliaan dan hak yang sama. Dari sisi ini tidak ada perbedaan di antara mereka. Allah swt berfirman:
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami utamakan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS: al-Isra 70)
Prinsipnya adalah kemuliaan bagi setiap manusia. Karamah (kemuliaan) ini meliputi karamah takwiniyah, yaitu bahwa setiap manusia dikaruniai akal dan iradah (kehendak); dan karamah tasyri’iyah, yaitu bahwa setiap manusia memiliki hak hidup, hak kehormatan pada dirinya, harta benda dan martabatnya.
Setiap manusia memiliki kehormatan pada darahnya (jiwanya), martabat dan harta bendanya. Inilah makna penghormatan bagi semua manusia tanpa terkecuali. Dapat kita petik dari ayat tersebut, bahwa setiap manusia memiliki kehormatan berupa: karamah takwiniyah dan karamah tasyr’iyah.
Baca: “Berziarah ke Karbala Lebih Utama dari Berhaji ke Makkah?“