Belakangan ini, terlebih dalam suhu panas suasana pilkada, fenomena mengkafirkan oleh kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan tertentu marak terjadi. Entah mengapa sedemikian besar ambisi mereka untuk mencapai target tertentu sehingga mudah menjatuhkan tuduhan kafir kepada siapa saja yang taksepaham. Mestinya, persoalan kafir dan hukum-hukumnya dikaji lebih dulu secara mendalam. Orang yang mudah mengkafirkan orang lain bisa jadi karena pemahaman dangkal mereka terhadap agama. Dalam pemahaman dangkal mereka, darah dan harta siapa saja yang dianggap kafir itu halal untuk ditumpahkan dan dirampas. Akibatnya, aksi teror, pengeboman dan pembunuhan atas nama agama sering terjadi. Ditambah, semangat keliru yang menggebu dalam menumpas yang dianggap kafir.
Disadari atau tidak, tindakan ekstrem mereka justru telah mencoreng wajah Islam. Wajah Islam yang sejatinya penuh kasih dan damai dianggap sebagai agama teroris lantaran perilaku ekstrem mereka yang acap kali mengatasnamakan agama. Orang yang memahami agama dengan baik dan benar menyadari betapa besar konsekuensi dari tuduhan kafir kepada orang lain yang harus ditanggung baik di dunia maupun di akhirat. Sebab, bila tuduhan kafir tersebut tidak terbukti, dosa-dosanya akan kembali kepada pelakunya. Pemahaman tentang kafir dan hukum-hukum yang terkait dengannya dijabarkan dalam fatwa Imam Ali Khamene`i berupa tanya jawab sebagai berikut;
Soal: Apakah orang-orang kafir harus diperangi?
Jawab: Ada kafir Harbi yang memerangi Islam dan ada kafir Dzimmi yang tunduk kepada peraturan Islam. Sebagaimana kaum muslimin, nyawa, harta dan martabat orang kafir Dzimmi harus dijaga.
Soal: Sebagian fuqaha meyakini orang-orang ahlul kitab itu najis dan sebagian lain tidak, bagaimana pendapat anda?
Jawab: Zat ahlul kitab dianggap najis itu belum jelas. Menurut kami zat mereka itu suci.
Soal: Apakah kelompok ahlul kitab yang meyakini risalah Nabi saw namun mereka beramal berdasarkan tradisi nenek moyang atau para leluhur mereka dihukumi sebagai kafir atau tidak?
Jawab: Sekedar meyakini risalah Nabi saw saja tidak cukup untuk dihukumi suci, tapi bila mereka tergolong sebagai ahlul kitab, dihukumi suci.
Soal: Kita menyewa rumah bersama teman-teman yang salah satunya tidak melakukan salat. Setelah ditanya, ia menjawab bahwa dulu seorang monoteis meski tidak salat. Bila dianggap najis, bagaimana interaksi dan makan bersamanya?
Jawab: Sekedar ia tidak melakukan salat, puasa dan kewajiban-kewajiban sariat lainnya selama tidak tampak kemurtadannya, tidak bisa dianggap murtad, kafir atau najis dan tetap memiliki hak-hak sebagaimana muslim lainnya.
Soal: Siapakah yang dimaksud dengan ahlul kitab dan apakah batasan dalam bergaul dengan mereka?
Jawab: Ahlul kitab ialah orang-orang yang meyakini dan mengikuti salah satu dari agama-agama samawi yang diturunkan kepada beberapa Nabi seperti Yahudi, Nasrani, Zoroaster dan Shabi`in (sepengetahuan kami mereka ahlul kitab). Tidak masalah bergaul dengan mereka dengan tetap menjaga prinsip dan etika Islam.
Soal: Ada kelompok menamakan dirinya “Aliullahi”, mereka menuhankan Ali bin Abi Thalib as. Berdoa dan memohon kepadanya. Apakah mereka najis?
Jawab: Jika benar berkeyakinan demikian maka akidah mereka batil dan keluar dari Islam. Mereka seperti non muslim yang bukan ahlul kitab hukumnya kafir dan najis.
Soal: Apakah hukum kelompok yang meski tidak menyebut diri mereka sebagai Tuhan tapi mereka tidak kurang dari Tuhan?
Jawab: Bila mereka tidak menganggap diri mereka sebagai sekutu Allah swt maka mereka bukan termasuk orang-orang musyrik.
Soal: Apakah hukum kelompok yang hanya meyakini enam imam maksum saja, dan tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban agama serta tidak meyakini wilayatul faqih?
Jawab: Sekedar tidak meyakini enam imam maksum lainnya dan kewajiban-kewajiban agama maupun wilayatul faqih selama tidak terbukti mengingkari pokok-pokok agama seperti kenabian maka tidak bisa dihukumi kafir dan najis, kecuali mereka melakukan penistaan kepada salah satu dari para imam tersebut.
Soal: Bila kita menyewa rumah di daerah yang mayoritas penduduknya beragama Buda, apakah hukum barang-barang atau peralatan makan yang digunakan?
Jawab: Selama anda yakin barang-barang dan peralatan makan teresebut tidak dipegang orang kafir dalam kondisi basah, maka tidak bisa dihukumi najis. Bila anda yakin terkena najis, tidak perlu menyiramkan air ke barang-barang atau peralatan-peralatan, dinding-dinding rumah atau hotel yang ditempati. Tapi, yang wajib disucikan adalah peralatan-peralatan makan, minum dan salat yang digunakan.
Soal: Sejumlah besar masyarakat Khuzestan, Iran menyebut diri mereka sebagai pengikut Nabi Yahya as yang tercantumkan dalam al Quran dengan nama “Shabiun”. Apakah mereka termasuk ahlul kitab?
Jawab: Kelompok Shabiun dihukumi sebagai ahlul kitab.
Soal: Apakah benar bahwa rumah yang dibangun oleh orang kafir adalah najis dan makruh digunakan untuk salat?
Jawab: Tidak makruh salat di rumah tersebut.
Soal: Apakah hukum bekerja di tempat orang-orang Yahudi, Nasrani dan kelompok-kelompok kafir lainnya dan mengambil gaji dari mereka?
Jawab: Bekerja di tempat orang kafir itu sendiri tidak masalah dengan sarat tidak melakukan hal-hal haram dan berseberangan dengan maslahat umum Islam dan muslimin.
Soal: Di daerah saya bertugas latihan militer terdapat orang-orang yang mengikuti kelompok Ahle Haq atau para pengikut kebenaran. Apakah boleh memakan dan meminum makanan dan minuman mereka?
Jawab: Bila mereka meyakini prinsip-prinsip Islam seperti tauhid dan kenabian, dalam hal kesucian atau najis hukumnya seperti muslimin lainnya.
Soal: Apakah hukum berjabat tangan dengan orang-orang kelompok Baha`i, Bagaimana interaksi para guru dengan murud-murid dari kelompok Baha`i dan apakah hukum menggunakan barang-barang yang mereka gunakan dalam kondisi basah?
Jawab: Seluruh pengikut kelompok sesat Baha`i adalah najis. Hendaklah memperhatikan hukum fiqih dan menjaga kesucian di saat bersama mereka. Adapun interaksi para guru dengan para murid Baha`i selain harus dengan memperhatikan hukum Islam juga harus menjaga etika Islam.
Soal: Apakah kursi-kursi mobil angkutan umum atau kereta api yang terkena keringat orang-orang muslim dan kafir menjadi najis?
Jawab: Orang kafir yang ahlul kitab itu tidak najis dan terkait barang-barang yang sama-sama digunakan muslim dan kafir selama kita tidak mengetahuinya terkena najis maka dihukumi suci.
Semoga keterangan fatwa di atas dapat mencerahkan dan masyarakat yang mau memahami hukum Islam dengan baik dan benar dapat terhindar dari konflik dan permusuhan sesama bangsa dan agama.
Pedar Danil