Di sana mungkin terdapat sejumlah orang yang menghabiskan waktu, sibuk dengan pengkajian dan pendalaman tauhid teoritis (ilmiyah). Tetapi mereka tidak mencapai realitas tauhid. Mereka tidak menjadi ulama spiritual (ilahiah) yang mendidik, bahkan jiwa mereka terguncang lebih dari yang lain (yang tidak mendalami ilmu tauhid). Karena ilmu mereka tak berdampak dan membawa kesan. Mereka tidak aktif dalam melakukan riyadhah batiniah (pelatihan-pelatihan spiritual). (Baca sebelumnya: Tauhid dalam Penjelasan Imam Khomeini – Bagian 1)
Sesungguhnya semua ilmu syariat adalah mukadimah bagi ma’rifat -mengenal Allah swt- dan untuk mencapai hakikat tauhid dalam hati. Hakikat inilah yang disebut “shibghatullâh”;
صِبْغَةَ اللهِ وَ مَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ صِبْغَةً وَ نَحْنُ لَهُ عَابِدُوْنَ
Terimalah shibghah (agama) Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghah-nya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah. (QS: al-Baqarah 138)
Singkatnya bahwa semua ilmu merupakan mukadimah; yang dekat, yang jauh, dan pertengahan. Sebagiannya lagi merupakan mukadimah dengan atau disertai perantara. Misal ilmu fikih adalah mukadimah bagi amal, dan amal itu sendiri merupakan mukadimah untuk mencapai ma’rifat dan tauhid hakiki, dengan syarat etika-etika syar’i lahiriah dan batiniah dipenuhi. (Baca: Jika Allah Tidak Bertempat, Mengapa Mikraj?)
Sebuah ungkapan yang tak bisa disangkal bahwa: Seseorang beribadah puluhan tahun tetapi tak juga mencapai ma’rifat dan hakikat. Sebabnya, ia tak memperoleh dari ilmunya sebuah realitas ilmu yang sebenarnya, termasuk penyaksian suatu hakikat.
Ia tidak memiliki ikatan sedikitpun dengan tauhid dan pemurniannya, yang menjadi penyejuk hati para kekasih Allah. Sebuah cabang dari ilmu fikih tentang politik, keluarga, kenegaraan dan kemasyarakatan, juga merupakan mukadimah bagi amal yang memiliki peran efektif di dalam meraih tauhid dan ma’rifat. Demikian halnya dengan ilmu akhlak, sebagai mukadimah bagi penyucian diri yang juga merupakan mukadimah bagi pencapaian ma’rifat dan hakikat.
Makna “Larangan Merenungi Dzat Allah”
Siapapun, bahkan Nabi saw pun tak mampu menjangkau Dzat Allah swt. Beliau yang paling mengetahui, paling berilmu dan termulia di antara seluruh manusia, tidak mampu mencapai tingkat Dzat-Nya. Hanya Allah lah yang mengetahui Dzat-Nya sendiri. (Baca: Allah Maha Mengetahui)
Apa yang dapat dicapai oleh manusia adalah asmâ’ (nama-nama) Allah. Asmâ` inipun bertingkat-tingkat, yang sebagiannya dapat dijangkau oleh manusia biasa. Sebagiannya lagi hanya para kekasih Allah, terutama Rasulullah saw, yang mampu mencapainya.
Sebuah hadis dari Ahlulbait as menegaskan: “Janganlah kamu berbicara (hakikat) wujud Allah, dan sesungguhnya tafakkur (perenungan) tentang Dzat-Nya tidaklah diperkenankan.” Maknanya, bukanlah kita merasa cukup dengan akidah awam yang didapat dari orang rumah pada umumnya. Tetapi, memiliki keyakinan konsepsional bahwa “Allah swt ada”, sudah cukup bagi kita!
Yang dimaksud cukup dengan akidah konsepsional tersebut, adalah bahwa segala keindahan adalah dengan kemahaindahan wujud dan kesempurnaan yang mutlak. Makna hadis; “Renungilah ciptaan Allah, janganlah merenungi Esensi-Nya.” Ialah bahwa Dzat-Nya adalah mutlak wujud; simpel (tunggal) secara mutlak.
Penjelasannya, bahwa definisi esensi sesuatu adalah mumkin (yang bergantung; makhluk) apabila memiliki genus dan diferensia. Sedangkan “wujud” tidaklah demikian. Karena genus dapat disekutui, sementara di alam keberadaan ini tiada sesuatu selain “wujud” untuk dikatakan ada sekutu baginya (maksudnya, tiada sekutu bagi wujud mutlak itu). Wujud, sama dengan tunggal. (Baca: Makna Alhamdulillah Lebih dari Sekedar Pujian bagi-Nya)
Sedangkan diferensia adalah untuk pembeda (seperti manusia, diferensianya adalah keberakalan/yang berfikir, yang membedakan dia dari binatang), dan tiada sesuatu dalam wujud selain “wujud”, sehingga memerlukan pembedaan (maksudnya, “wujud” tak bergantung pada pembedaan).
Berdasarkan penjelasan itu, maka wujud mustahil terdefinisikan. Pada saat yang sama, wujud adalah tingkatan tertinggi tajalli (manifestasi), dan nyata pada obyek penglihatan dan pendengaran segala sesuatu. Jadi, “jangan renungi Dzat Allah!”, bukanlah larangan syar’i (yakni, haram). Tetapi adalah larangan irsyâdi (bersifat saran) bahwa jangan penatkan akal dengan hal yang tiada manfaat. Karena, tiada jalan bagi akal untuk mengetahui hakikat wujud.
Kedudukan Wujud adalah di atas apa yang dijangkau oleh akal, dan bahkan Dia meliputi segala sesuatu. Firman Allah (QS: al-Buruj 20):
وَ اللهُ مِنْ وَرائِهِمْ مُحيطٌ
“Allah senantiasa mengawasi setiap gerak-gerik mereka.”
Kesimpulannya, berdasarkan pemikiran tersebut, larangan tafakkur (perenungan; pengkajian) tentang Dzat Allah (dalam hadis tersebut), tidaklah sesuai -jika dimaknakan dengan larangan syar’i, kecuali dalam arti larangan irsyadi. Bahkan terdapat anjuran di dalam riwayat-riwayat terkait ma’rifat, pengkajian dan pencapaian mengenal Allah swt.
Referensi: At-Tauhid fi Kalam al-Imam al-Khumaini
Baca selanjutnya: “Tauhid dalam Penjelasan Imam Khomeini (3)“