Seandainya seseorang mengaku bertawakkal kepada Allah SWT atau merasa melimpahkan urusannya kepada pengaturan Allah SWT, tapi ternyata dia enggan menempuh garis dan mekanisme yang telah ditetapkan Allah SWT baginya berupa penyediaan sebab musabab dan pembekalan kemampuan beraktivitas, bekerja dan berkarya maka ini tidak dapat disebut tawakkal, melainkan ilusi dan kegilaan semata. (Baca sebelumnya: Tawakkal -4)
Orang yang bertawakkal kepada Allah SWT adalah orang yang menempuh jalan (manhaj) yang ditetapkan olehNya dalam mendapatkan pengaturan tapi dengan “bersandar” (i’timad) kepadaNya, bukan pada jalan itu sendiri, karena bagaimanapun juga keberadaan dan kebertahanannya pada manhaj itu tetap ada di tanganNya, dan ketersampaian pada tujuan melalui manhaj itu juga ada di tanganNya.
Segala sesuatu ada di tangan Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam firman-firmanNya antara lain;
إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ.
“Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.”[1]
إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِين وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ.
“Dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku,”[2]
Tapi ini bukan berarti patut mengabaikan upaya menempuh cara untuk mendapat makanan dan minuman ketika kita lapar dan haus, atau mengabaikan upaya merujuk ke dokter ketika kita sakit. Sebab, Allah SWT memberi kita makan dan minum artinya ialah bahwa Dia memberi kita kemampuan untuk mendapatkan dan mengkonsumsi makanan dan minumuman, sebagaimana Dia menyembuhkan kita berarti Dia telah memberi kita kemampuan untuk merujuk ke dokter dan atau memperoleh obat. (Baca: Taklid dan Marja’iyah -1)
Dengan demikian, orang yang bertawakkal adalah orang yang berusaha mencapai tujuannya melalui jalur sebab akibat alamiah yang diketahuinya tapi dengan tetap jiwa bergantung dan beri’timad kepada Allah, bukan pada rangkaian sebab musabab itu karena jika Allah menghendaki maka Dia dapat melakukan sesuatu di luar manhaj atau “prosedur” yang Dia tetapkan itu.
Beberapa dalil hadis dan riwayat dari Ahlul Bait as tentang ini antara lain ialah sebagai berikut;
Pertama, diriwayatkan bahwa Imam Ja’far al-Shadiq as berkata;
ليس منّا من ترك دنياه لآخرته، ولا آخرته لدنياه.
“Bukan golongan kami orang yang meninggalkan dunianya demi akhiratnya maupun (meninggalkan) akhiratnya demi dunianya.”[3]
Kedua, diriwayatkan oleh Mua’lla bin Khunais bahwa Imam Ja’far al-Shadiq as menanyakan ihwal seorang pria, kemudian ada orang lain menjawab bahwa pria itu sedang tertekan kebutuhan. Imam bertanya lagi, “Lantas apa yang dia perbuat sekarang?” Orang itu menjawab, “Dia berada dalam rumah beribadah kepada Tuhannya.” Imam bertanya lagi, “Lantas dari mana kebutuhan pokoknya?” Orang itu menjawab, “Dari sebagian saudaranya.” Imam berkata;
والله للّذي يقوته أشدّ عبادة منه.
“Demi Allah, (saudaranya) yang memenuhi kebutuhan itu lebih besarnya ibadahnya daripada pria itu.”[4]
Ketiga, diriwayatkan dari Umar bin Yazid bahwa dia berkata kepada Imam Ja’far al-Shadiq as, “Ada seorang pria mengatakan, ‘Sungguh aku akan diam dalam rumahku, mendirikan shalat, berpuasa, dan beribadah kepada Tuhanku. Adapun rizkiku akan datang kepadaku.’” Imam berkata;
هذا أحد الثلاثة الذين لا يستجاب لهم.
“Ini adalah satu di antara orang yang tidak mendapat ijabah.”[5]
Empat Bentuk Tawakkal
Tawakkal termanifestasi dalam empat bentuk sebagai berikut;
Pertama, bertawakkal dengan terus menempuh faktor sebab akibat tapi hatinya tidak bergantung padanya, melainkan pada kausa prima atau sebab dari semua sebab lain, yaitu Allah SWT yang kapanpun dapat menghalangi antara kita dan sebab musabab, atau antara sebab itu dan musababnya karena semua itu terjadi saat demi saat adalah karena kehendakNya semata, sebagaimana diisyarakatkan dalam firmanNya;
وَاعْلَمُوا أنَّ اللهَ يَحولُ بَيْنَ المرءِ وَقَلْبِهِ.
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya.”[6]
Kedua, bertawakkal dengan hati yang tenang sehingga tidak guncang ketika “terkhianati” oleh faktor sebab musabab atau hasilnya tertunda. Alih-alih tertekan dan frustasi, dia justru tetap berprasangka baik kepada Allah SWT dengan berucap, misalnya;
وَلَعَلَّ الَّذي أَبطَأَ عَنّي هوَ خَيرٌ لي لِعِلمِكَ بِعاقِبَةِ الأُمور.
“… Barangkala apa yang tertunda itu lebih baik bagiku karena Engkaulah yang mengetahui akibat segala sesuatu.”[7]
Ketiga, bertawakkal dengan tidak berinteraksi dengan faktor sebab musabab yang haram karena yang diperintahkan Allah hanya menempuh jalur dan cara yang halal.
Keempat, bertawakkal dengan menempuh jalur sebab musabab tapi tanpa ambisi yang menggebu dan memaksakan diri hingga melebihi batas kemampuannya yang wajar, karena memang tidak ada perintah Allah untuk demikian, sedang manusia diperintah menempuh jalur itu adalah karena ada perintah dariNya. Explora los nuevos casinos online https://casinos-online-nuevos.es/ y sumérgete en la emoción del juego virtual. Con bonificaciones atractivas y una amplia selección de juegos, la diversión está garantizada. ¡Apuesta y gana desde tu dispositivo!
(Selesai)
[1] QS. Al-Dzariyat [51]: 58.
[2] QS. Al-Syu’ara’ [26]: 79 – 80.
[3] Man La Yahdhuruhu al-Faqih, jilid 3, hal. 94, Bab 58, Hadis 3.
[4] Al-Kafi, jilid 5, hal. 78, Kitab al-Ma’syah, Bab al-Hustts ‘Ala al-Thalab wa al-Ta’arrudh li al-Rizq, Hadis 4.
[5] Ibid, jilid 1, hal. 24.
[6] QS. Al-Anfal [8]: 24.
[7] Doa al-Iftitah.