Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Akal dan Kedudukannya terhadap Pengenalan Agama

Akal (aql) secara etimologi berarti “pencegahan” dan “penahanan”, atau alat yang berfungsi mencegah seperti tali kendali yang berfungsi mencegah kuda atau beberapa hewan lainnya dari keliaran dan berjalan ke sembarang arah. Dalam pengertian serupa, daya berpikir manusia disebut “aql” karena berfungsi mengendalikan dan mencegah manusia dari ketersesatan.

Kategorisasi Akal

Ditinjau dari berbagai aspek, akal dapat dibagi menjadi beberapa kategori, di antaranya ialah; akal teoretis (aql nazhari), dan akal praktis (aql amali). Pembagian ini tentu bukan berarti ada dua akal, melainkan tetap satu akal namun dengan dua fungsi yang berbeda. Dengan kata lain, akal di bagi menjadi dua bagian berdasar objek yang dideteksi olehnya.

Dalam kapasitasnya sebagai pendeteksi objek berupa perkara-perkara yang tidak berbuah tindakan secara langsung tanpa perantara, akal ini disebut sebagai akal teoretis. Contohnya adalah ketika akal mendeteksi dan memastikan kemustahilan bertemunya dua sesuatu yang kontradiktif. Dengan kata lain, jika akal berurusan dengan ke-ada-an sesuatu atau ketika akal berada dalam fungsinya untuk mengetahui apa saja yang perlu diketahui, seperti “manusia adalah maujud yang dependen” atau “dunia adalah sesuatu yang senantiasa berubah” maka ia disebut akal teoretis

Baca: Hubungan antara Pengetahuan, Akal, dan Wahyu

Sedangkan ketika akal berurusan dan mengetahui hal-hal yang menuntut tindakan dan praktik secara langsung, seperti “kezaliman itu buruk” maka ia disebut akal praktis. Dengan kata lain, ketika akal berurusan dengan objek-objek berupa kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan atau hal-hal yang harus atau patut dilakukan atau hal-hal yang tidak boleh atau tidak patut dikerjakan (misalnya berkenaan dengan baiknya keadilan dan buruknya kezaliman) maka ia disebut akal praktis.

Validitas Akal

Validitas (hujjiyat) hukum-hukum absolut akal teoretis dan akal praktis adalah sesuatu yang bersifat esensial (dzati). Karena itu, validitasnya tidak memerlukan rekomendasi acuan-acuan lain. Namun patut dicatat bahwa validitas esensial Ini hanya berkenaan dengan hukum-hukum aksiomatis (postulat) atau argumentasi-argumentasi logis dan absolut (istidial burhani yaqini). Ini tak lain karena sebagian hukum non-aksiomatis atau argumentasi logis yang tidak absolut masih berkemungkinan keliru dan salah.

Secara prinsip, dengan akal-lah kita baru dapat mengetahui validitas acuan-acuan selainnya. Tanpa validitas postulat dan argumentasi-argumentasi absolut akal maka segala sesuatu akan membentur skeptisime secara mutlak. Orang yang menolak kemustahilan bertemunya dua sesuatu yang kontradiktif, kebutuhan akibat (ma’lul) kepada sebab (illat), kebaikan keadilan dan keburukan kezaliman, misalnya, mau tidak mau akan terbentur pada penolakan terhadap segala sesuatu, atau katakanlah akan meragukan segala sesuatu (skeptisisme).

Para ulama ushul dan mutakalim Imamiyah berpendapat bahwa tanpa hukum agama dan syariat pun akal masih dapat memastikan baik dan buruknya sebagian perbuatan, seperti buruknya kezaliman. Berbeda dengan para teolog Asy’ariyah berpendapat bahwa tidak satu pun perbuatan yang dengan sendirinya dapat dinilai baik atau pun buruk atau indah dan jelek. Menurut mereka, perbuatan hanya bisa dinilai baik atau buruk jika acuannya adalah perintah dan larangan dari pembuat syariat. Dengan kata lain, jika Allah memerintahkan suatu perbuatan maka perbuatan baru dapat disebut baik, sebagaimana jika Allah melarang suatu perbuatan maka perbuatan itu baru dapat disebut buruk.

Dalam membuktikan kebenaran pendapatnya bahwa baik dan buruk bersifat esensial (dzati), para teolog Syiah mengajukan argumentasi berikut: Jika baik dan buruk bukanlah sesuatu yang dzati maka agama dan syariat pun tidak akan pernah bisa eksis dan valid di depan manusia. Sebab, jika kebohongan bukanlah sesuatu yang dengan sendirinya buruk melainkan diperlukan penegasan dari seorang nabi (katakanlah kenabian nabi dimaksud sudah terbukti) bahwa kebohongan itu buruk maka mana mungkin sabdanya itu dapat diterima, sebab jangan-jangan dia juga berbohong.

Kemudian, kenabian nabi itu sendiri juga tidak mungkin bisa dibuktikan seandainya menyalahi hikmah bukanlah sesuatu yang buruk bagi Allah, seandainya membenarkan kebohongan tidaklah buruk, seandainya ada kemungkinan bahwa Allah memberikan mukjizat kepada orang yang berbohong dengan mengaku sebagai nabi, dan seandainya nabi itu sendiri juga berkemungkinan mengharamkan sesuatu yang tidak dilarang oleh Allah dan atau mewajibkan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Allah.

Dengan demikian, seandainya kita tidak mungkin dapat mengetahui kebaikan atau keburukan suatu pekerjaan kecuali melalui syariat dan kabar dari para nabi maka tidak mungkin kita dapat mengetahui kebaikan dan keburukan perbuatan apa pun. Artinya, tetap terbuka kemungkinan bahwa kabar dari para nabi itu adalah kabar bohong, sebab asumsinya saat itu ialah bahwa kebohongan masih belum terpastikan sebagai sesuatu buruk, yang Alquran dan berbagai riwayat sendiri ternyata juga menegaskan bahwa baik dan buruk adalah dua sesuatu yang bersifat aqli (rasional).

Dalam al-Quran disebutkan: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi nasihat kepadamu agar kamu dapat mengingat.” (QS. al-Nahl: 90)

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memerintahkan demikian berdasarkan keadilan dan kebajikan serta melarang perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji. Secara tekstual pun ayat ini menunjukkan bahwa perbuatan yang diperintahkan dan perbuatan lain yang dilarang Allah adalah perbuatan-perbuatan yang memang sejak awal sudah diketahui oleh semua orang sebagai kebaikan, keadilan dan kebajikan atau keburukan, kemungkaran dan kekejian. Apalagi bagian akhir ayat ini menyebutkan: “memberi nasihat (mauidhah) agar kamu dapat mengingat (tadzakkur).” Kalimat ini menunjukkan bahwa perintah Allah supaya manusia berlaku adil dan berbuat kebajikan serta menjauhi, melarang dan mencegah perbuatan keji dan kemungkaran bersifat mengingatkan, bukan mengajarkan, karena manusia dapat mengetahui semua itu berdasar akal sehatnya.

Baca: Pentingnya Mencari Agama yang Benar

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Imam Jakfar Shadiq a.s. berkata: “Dengan akal-lah hamba-hamba dapat mengetahui Penciptanya. dan dengan akal pula mereka dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk.” (Ushul Kafi, 1/29)

Riwayat ini secara gamblang menyebutkan bahwa akal memiliki kemampuan mengetahui dan membedakan perbuatan yang baik dari perbuatan yang buruk. Atas dasar ini, terlepas dari hukum syariat, akal dapat mengetahui sebagian perbuatan yang baik dan sebagian perbuatan yang buruk. Dalam pandangan syariat pun, hukum hukum qath’i (pasti, absolut) akal adalah sesuatu yang memiliki hujjiyat atau kevalidan. Karena itu, akal diakui sebagai salah satu sumber agama. Beberapa riwayat bahkan menyebut akal sebagai hujjah batini (hujah yang tak terlihat). Kesimpulannya, postulat -baik yang teoretis maupun yang praktis- pada wilayah-wilayahnya sendiri sama valid dan muktabarnya dengan hukum-hukum absolut Alquran.

*Disarikan dari buku Panorama Pemikiran Islam – Ayatullah Jakfar Subhani

No comments

LEAVE A COMMENT