Tujuan utama pengutusan para rasul adalah untuk menekankan pentingnya pembersihan, penyucian dan pelatihan diri manusia. Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an: Allah telah menganugerahkan nikmat yang besar bagi orang-orang yang beriman ketika Dia mengirimkan kepada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, membacakan untuk mereka ayat-ayat Allah, menyucikan mereka dan mengajarkan mereka al-Kitab dan Hikmah, padahal sebelum itu mereka berada dalam kesesatan yang nyata. (QS. 13: 164)
Karena itu, jelaslah bahwa pengajaran dan pelatihan manusia termasuk kebutuhan vital sehingga Allah mengutus para rasul, khusus untuk menggenapi tujuan itu sebagai karunia bagi orang-orang yang beriman.
Individu sebagaimana sekumpulan pribadi, kebaikan dan kejahatan (di dunia ini dan hari akhirat) sebagai manusia, bergantung pada seberapa besar usahanya untuk membangun dirinya. Ini berdasarkan pemikiran bahwa pembangunan diri merupakan satu kebutuhan vital karena hal itu akan menentukan nasib akhir manusia.
Para rasul Allah telah diutus untuk mengajar manusia tentang cara pembinaan, pemeliharaan dan penyempurnaan diri. Mereka juga diutus untuk menemani manusia sebagai penuntun dan penolong dalam tugas utama dan vital ini. Mereka datang untuk membersihkan dan menyucikan diri manusia dari sikap moral yang buruk dan insting kebinatangan, dan menganugerahi mereka nilai-nilai spiritual yang tinggi.
Baca: Pentingnya Akhlak dalam Islam
Para nabi memperkenalkan kepada manusia program pembinaan diri, bertindak sebagai penolong dan penuntun berpengetahuan tentang bagaimana mengenali keburukan sikap moral mereka, kemudian menunjukkan kepada mereka jalan serta cara untuk mengendalikan diri menghadapi hawa nafsu dan syahwat mereka. Dengan senantiasa memberikan janji dan ancaman, mereka berhasil menyucikan diri manusia dari akhlak yang tidak terpuji. Mereka datang untuk menanamkan tunas nilai-nilai kebaikan moral yang tinggi dalam jiwa manusia, memelihara dan menjaganya agar tumbuh dan berkembang. Untuk mewujudkan hal itu, mereka bertindak sebagai penuntun, teman, dan penolong manusia dengan membangkitkan semangat dan membimbing mereka menuju tujuan utama yang diinginkan.
Nabi Saw bersabda: “Aku menekankan pentingnya akhlak yang mulia bagi kalian karena Allah telah mengutusku khusus untuk tujuan ini.” (Bihar al-Anwar, 69/375)
Lebih lanjut beliau bersabda: “Aku telah ditunjuk untuk tugas kerasulan agar aku dapat melaksanakan tugas penting, yaitu menyempurnakan akhlak dalam diri manusia.” (Al-Mustadrak, 2/282)
Beliau Saw juga bersabda, “Tidak ada yang lebih baik ketimbang akhlak baik yang akan dituliskan pada ‘lembar perbuatan’ di hari Kiamat. (Al-Kafi, 2/99)
Beliau kembali bersabda: “Umatku akan masuk surga lebih banyak karena ketakwaannya dan kebaikan akhlaknya.”
Dan sebuah riwayat menceritakan bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi Saw dan bertanya: “Apakah agama itu?” Nabi Saw menjawab: “Akhlak terpuji”.
Imam Muhammad al-Baqir a.s. berkata: “Mukmin yang sempurna dari sudut pandang keimanan adalah orang yang paling mulia akhlaknya.”
Imam Shadiq a.s. berkata: “Allah telah mengutus para nabi dengan akhlak yang mulia; karena itu, barang siapa yang mendapat kebajikan–kebajikan ini dalam dirinya, bersyukurlah kepada Allah atas nikmat tersebut. Barang siapa yang tidak memilikinya, berdoalah, menangis, dan mencucurkan air mata kepada Allah untuk meminta rahmat-Nya.” (Al-Mustadrak, 2/283)
Amir al-Mukminin Ali a.s. berkata: “Meski seandainya tidak ada keinginan untuk mendapat surga, atau tidak ada ketakutan terhadap neraka, serta tidak meyakini adanya pahala dan siksa di hari akhirat, tetap dibutuhkan usaha keras untuk menyempurnakan akhlak, karena akhlak yang baik adalah jalan untuk mendapatkan kemakmuran dan kemenangan.”
Imam Ali adalah contoh sempurna pertama dari hasil didikan Rasul paling mulia. Imam Ali diasuh oleh Rasul sejak kecil, kemudian mengikuti beliau seperti bayangannya sepanjang hidup hingga masa akhir kehidupan Rasulullah. Imam Ali adalah orang pertama setelah Rasul Saw yang mencapai realitas spiritual dengan jalan refleksi filosofis, yaitu dengan melakukan latihan bebas dengan akalnya. Ketinggian ilmu, keluhuran spiritual, dan pemikirannya yang mendalam pada bidang akhlak. Beliau sebagai orang yang mencapai realisasi penuh dari tujuan mulia Al-Qur’an.
Islam telah menetapkan etika dan moral sebagai hal yang sangat penting. Berdasarkan pertimbangan itu, Al-Qur’an memuat lebih banyak ayat yang berhubungan dengan etika dibanding ayat yang berkaitan dengan perintah. Seseorang dapat menemukan ribuan riwayat tentang etika ketimbang riwayat-riwayat yang berkaitan dengan topik-topik lainnya. Jika jumlah tersebut tidak dianggap besar, tentu, tidak juga bisa dikatakan lebih kecil. Ganjaran dan janji yang telah disebutkan untuk perbuatan-perbuatan yang baik dari sisi moral tentunya tidak lebih sedikit ketimbang ganjaran yang ditetapkan bagi perbuatan yang lain, seperti juga ancaman dan hukuman yang ditetapkan bagi perbuatan yang buruk dari sisi moral tentunya tidak lebih sedikit daripada hukuman untuk perbuatan yang lain.
Baca: Akhlak Pengikut Ahlul Bait
Karena itu dalam Islam, etika merupakan hal mendasar dan tidak bisa dianggap sebagai kewajiban agama kedua atau sesuatu yang berhubungan dengan keindahan dan penghias kesalehan seseorang. Jika agama telah menetapkan perintah dan larangan sebagai kewajiban, agama juga telah menetapkan hal yang sama terhadap etika. Jika anjuran, nasihat, pahala, hukuman, dan ancaman telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kewajiban, hal yang sama juga berlaku bagi etika. Karena itu, tidak ada perbedaan antara etika dan kewajiban sepanjang petunjuk-petunjuk agama diperhatikan, dan untuk mencapai target kesempurnaan dan kebahagiaan, seseorang tidak boleh mengabaikan dimensi etika dalam beragama.
Kewajiban moral tidak bisa diabaikan begitu saja dengan menganggapnya hanya sebagai kewajiban moral. Perbuatan yang dilarang moral, juga tidak boleh dilakukan. Jika mendirikan salat setiap hari adalah kewajiban dan terlarang meninggalkannya serta akan mendapat hukuman Tuhan, hal yang sama penting juga berlaku pada janji. Seseorang harus memenuhi janjinya dan terlarang untuk melanggarnya. Pelanggaran janji akan menyebabkan murka Allah. Kesalehan dan kebahagiaan yang sebenarnya adalah seseorang yang teguh menjalankan kewajiban agama, di samping itu juga jujur dalam memenuhi komitmen moral. Bahkan, etika memainkan peranan penting untuk mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan spiritual.
*Disarikan dari buku karya Ayatullah Ibrahim Amini – Hijrah Menuju Allah