Salah satu persoalan penting dalam pembahasan Ma‘ad—yakni keyakinan bahwa manusia akan dibangkitkan kembali setelah kematian—adalah pertanyaan tentang kesatuan diri manusia. Kita melihat bahwa tubuh manusia tersusun dari sel-sel yang terus-menerus berubah. Sel-sel mati digantikan oleh sel baru, dan komposisi tubuh tidak pernah sama dari waktu ke waktu. Tubuh seorang anak jelas berbeda dari tubuhnya ketika dewasa atau ketika ia sudah tua.
Dengan demikian muncul pertanyaan: jika tubuh selalu berubah, apa yang membuat seseorang tetap disebut “orang yang sama”? Apa standar bagi kesatuan pribadi di tengah pergantian bagian tubuh sepanjang hidup?
Jawaban yang biasanya diberikan adalah bahwa bagian-bagian tubuh memiliki hubungan internal yang membuatnya tetap menjadi satu kesatuan. Walaupun sel berganti, hubungan antarsel membentuk satu organisme yang utuh. Akan tetapi, jawaban ini tidak sepenuhnya menjelaskan persoalan inti.
Untuk memahami kelemahannya, bayangkan sebuah bangunan yang tersusun dari batu-batu. Jika batu-batu diganti satu per satu hingga tak ada satu pun batu asli yang tersisa, apakah bangunan itu masih disebut bangunan yang sama? Banyak orang tentu akan ragu menyatakannya sebagai bangunan yang sama, karena yang ada kini adalah bangunan lain yang dibuat dari batu-batu baru.
Contoh ini menunjukkan bahwa perubahan materi bisa menggugurkan identitas, terutama pada benda mati. Namun pada makhluk hidup, pergantian materi tidak membuat identitasnya hilang. Pohon yang sel-selnya terus berganti tetap dianggap pohon yang sama. Manusia yang sel-selnya berubah tetap dipandang sebagai pribadi yang sama sejak masa kecil hingga dewasa. Mengapa?
Jawaban yang lebih tepat adalah: karena pada makhluk hidup terdapat faktor internal alami yang menjaga kesinambungan identitas, walaupun materi tubuhnya berubah. Faktor inilah yang tidak ada pada benda mati seperti bangunan. Pada makhluk hidup, perubahan materi adalah bagian dari proses alami yang terjadi dari dalam, bukan akibat pergantian eksternal yang bersifat acak.
Dari sinilah timbul pertanyaan yang lebih mendasar: apa sebenarnya faktor alami yang menjaga kesatuan tubuh makhluk hidup sepanjang perubahan yang terjadi?
Menurut teori filsafat yang sudah lama dikenal, di balik setiap makhluk hidup terdapat satu hakikat sederhana yang tidak tersusun dari bagian-bagian, yang disebut thabi‘ah, forma, atau shurah. Hakikat inilah yang memberi bentuk, identitas, dan fungsi pada makhluk tersebut. Pada manusia dan hewan, hakikat itu disebut ruh atau nafs. Ruh ini tidak rusak bersama perubahan materi; justru ruh yang membuat semua perubahan tetap berada dalam satu kesatuan.
Para filsuf klasik membedakan ruh menjadi tiga tingkat:
- Ruh tumbuh (nafs nabati) yang dimiliki tumbuhan,
- Ruh hewani (nafs hayawani) yang dimiliki hewan,
- Ruh manusia (nafs insani) yang memiliki kemampuan berpikir dan kesadaran tinggi.
Sebagian filsuf kuno berpendapat bahwa ruh tumbuhan dan hewan masih bersifat material, sedangkan ruh manusia nonmaterial. Namun banyak filsuf Islam, terutama Mulla Sadra, berpendapat bahwa ruh hewan pun memiliki sisi nonmaterial. Hal ini karena kemampuan merasakan, berkehendak, dan menyadari lingkungan adalah ciri dari wujud yang tidak sepenuhnya material.
Di sisi lain, kaum materialis modern menolak keberadaan ruh nonmaterial. Bagi mereka, apa pun yang tidak dapat diindera atau diuji secara empiris dianggap tidak ada. Karena itu mereka menolak gagasan tentang forma atau ruh. Namun dengan menolak ruh, mereka tidak mampu menjawab persoalan tentang kesatuan makhluk hidup, sebab mereka terjebak pada perubahan materi yang tidak pernah berhenti.
Pada tumbuhan, standar kesatuan adalah forma tumbuh. Selama materi dapat menerima forma tersebut, tumbuhan hidup. Jika materi tidak mampu lagi menerima forma, kehidupan tumbuhan berhenti. Jika materi baru memiliki kesiapan yang sama, forma dapat muncul kembali. Namun ini berarti bahwa tidak ada kesatuan hakiki antara “tumbuhan lama” dan “tumbuhan baru”—keduanya hanya mirip dalam bentuk, tetapi tidak identik dalam hakikat.
Pada hewan dan manusia, keadaannya berbeda. Karena ruh mereka bersifat nonmaterial, ruh tetap eksis meski tubuh hancur. Ruh tidak bergantung pada materi tertentu. Ketika tubuh rusak atau mati, ruh tidak binasa. Dan ketika ruh kembali berhubungan dengan tubuh—baik tubuh baru atau tubuh yang dibangkitkan pada hari kiamat—kesatuan pribadinya tetap terjaga. Inilah dasar rasional keyakinan tentang Ma‘ad.
Sebaliknya, bila seseorang menganggap bahwa manusia hanyalah tubuh material, maka ia tidak dapat memahami kebangkitan. Jika tubuh mati lalu materi baru membentuk tubuh lain, akan muncul sifat-sifat baru pula. Tubuh baru itu tidak lagi “orang yang sama.” Dengan demikian, konsep kebangkitan menjadi tidak masuk akal bagi orang yang menolak keberadaan ruh nonmaterial.
Karena itu, untuk memahami Ma‘ad, kita perlu menerima beberapa hal:
- Ruh benar-benar ada.
- Ruh adalah hakikat manusia yang sesungguhnya, bukan sekadar sifat tubuh.
- Ruh tidak hancur bersama tubuh, melainkan tetap eksis secara mandiri.
- Kesatuan diri manusia bergantung pada ruh, bukan pada tubuh.
Ihwal Ruh dalam Wujud Manusia
Hubungan antara ruh dan raga bukanlah seperti hubungan dua zat kimia yang bersatu lalu hilang saat dipisahkan. Air terbentuk dari hidrogen dan oksigen, dan jika salah satunya hilang, wujud air pun hilang. Tetapi ruh dan tubuh tidak demikian. Ruh bukan bagian dari tubuh. Ruh adalah hakikat, sementara tubuh adalah wadah sementara.
Selama ruh tetap ada, identitas manusia tetap terjaga. Pergantian sel tubuh atau kerusakan organ tidak menggugurkan kesatuan diri. Seseorang tetaplah orang yang sama meskipun tubuhnya berubah total dalam hitungan tahun. Ini karena tubuh adalah sarana bagi ruh untuk beraktivitas, bukan sumber identitas dirinya.
Saat tubuh mati, ruh berpindah dari fase kehidupan dunia ke fase kehidupan lain. Tubuh hancur, tetapi ruh tetap. Pada hari kebangkitan, ruh akan kembali berhubungan dengan tubuh yang telah disiapkan untuk kehidupan baru. Karena ruh yang sama itulah yang kembali, maka kesatuan pribadi tetap terpelihara—dialah orang yang sama dengan yang dahulu hidup di dunia.
Al-Qur’an memberi penjelasan yang sangat jelas ketika membantah orang-orang yang mengingkari Ma‘ad. Mereka bertanya bagaimana manusia dapat dibangkitkan setelah tubuhnya hancur menjadi tanah. Al-Qur’an menjawab:
“Katakanlah, sesungguhnya yang mematikan kalian adalah malaikat maut yang diwakilkan untuk tugas itu.”
(QS. As-Sajdah: 11)
Ayat ini menunjukkan bahwa yang sebenarnya dicabut adalah ruh, bukan tubuh. Ruh inilah hakikat manusia yang akan kembali kepada Allah. Tubuh hanyalah pakaian sementara yang akan berganti.
Dengan demikian, jawaban terhadap keraguan tentang Ma‘ad terletak pada pemahaman terhadap ruh. Selama ruh diakui sebagai hakikat manusia yang nonmaterial, mandiri, dan tidak hancur bersama tubuh, maka kehidupan setelah kematian bukan hanya masuk akal, tetapi menjadi konsekuensi alami dari struktur wujud manusia sendiri.