Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Arus Globalisasi dan Krisis Keluarga di Indonesia (Bagian 2)

Pada pembahasan sebelumnya telah disebutkan beberapa masalah yang  termasuk dalam ruang lingkup krisis keluarga. Pemerhati dan penggiat keluarga di Indonesia juga mengangkat rendahnya kesejahteraan dan ketahanan keluarga sebagai prioritas dalam penanganan masalah keluarga. Namun, pengaruh yang timbul atas terjadinya krisis keluarga lebih penting dari semua itu. Krisis tersebut tetelah menyebabkan keluarga tak lagi menjadi tempat pembentukan identitas dan pemberi arah bagi anggotanya. Setiap orang tak lagi merasa perlu menampilkan identitas dirinya sejalan dengan karakteristik dan tradisi atau nilai yang dianut oleh keluarga.

Bagaimana krisis keluarga terjadi?

Seiring dengan perubahan global, keluarga sebagai unit sosial terkecil juga mengalami berbagai perubahan baik secara struktur maupun sistem. Pada era sebelumnya, keluarga mengadopsi nilai-nilai dari lembaga yang memiliki otoritas dimasyarakat. Masyarakat tradisional juga memiliki nilai-nilai dan tradisi sendiri yang sebagiannya bisa saja bersumber dari lembaga tersebut. Nilai-nilai yang berlaku di masyarakat itu diadopsi oleh setiap keluarga untuk kemudian terinternalisasi dalam diri anggotanya. Setiap anggotanya akan merujuk pada kemaslahatan keluarga dalam pengambilan keputusan. Pada waktu yang sama, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat juga memiliki kedudukan penting.

Sayangnya, saat ini lembaga yang sejatinya memiliki otoritas sebagai sumber nilai-nilai seperti lembaga keagamaan tak lagi berfungsi maksimal. Era modern ditandai dengan lemahnya peran lembaga keagamaan sebagai pemberi arah dan tuntunan nilai terhadap masyarakat. Tradisi tersebut tergantikan dengan kondisi setiap orang bisa saja menjadi referensi dan panutan tanpa mempertanyakan kredibilitasnya.

Dr. Muhammad Taqi Karimi, pimpinan Pusat Studi Perempuan Universitas Allamah Thabathabai menyatakan bahwa saat ini keluarga tak lagi menjadi rujukan dalam proses identifikasi diri dan pengambilan keputusan individu. Keluarga telah memiliki saingan yang tak kalah pentingnya seperti pekerjaan dan pemanfaatan maksimal atas kemajuan peradaban (Fazlnameh Ilmi wa Farhangi wa Ijtimai Zanan Hawra, Ed. 50, 1395 HS). Setiap anggota keluarga lebih mengutamakan kehendak pribadi dibanding kemaslahatan keluarga. Ketika anggota keluarga tak lagi mengidentifikasi dirinya sebagai manifestasi  nilai dan tradisi yang dianut keluarganya, saat itulah terjadi kegoncangan keluarga. Pasangan suami atau istri lebih memilih pemenuhan kesenangan pribadinya dibanding kebahagiaan keluarga. Mereka tak lagi termotivasi untuk mendahulukan kepentingan keluarga atas kehendak pribadi. Saat pasangan merasa keinginan pribadinya tidak terpenuhi dan tidak nyaman lagi, ia akan dengan mudah melepaskan ikatan keluarga.

Tingginya data perceraian di Indonesia, ditengarai tak lepas dari pengaruh hal tersebut di atas. Kepala Bidang Litbang Aliran dan Pelayanan Keagamaan menyatakan bahwa ada pergeseran makna perkawinan.” (Perkawinan) Bukan lagi sesuatu yang sakral,” komentar beliau berkaitan dengan meningkatnya angka perceraian di Indonesia. Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan Litbang Aliran dan Pelayanan Keagamaan melaporkan adanya tren perceraian yang diajukan oleh pihak istri. (http://www.republika.co.id).

Gerakan kesetaraan gender mendorong partisipasi perempuan di ranah sosial dan ekonomi secara maksimal. Masuknya perempuan ke dunia kerja seiring dengan peningkatan angka kemandirian ekonominya. Ketika tidak puas dengan perkawinannya, perempuan yang mandiri secara eokonomi akan memilih perceraian. Mereka memiliki kemungkinan untuk melepaskan perkawinannya yang tidak berhasil dan membesarkan anak dengan penghasilan sendiri. Dr. Fariba Allesvand dalam buku Hoviat wa Nagshe Jensiati (1388 HS) mengutip laporan penelitian tentang tingginya data gugatan cerai perempuan yang bekerja dibanding yang tidak bekerja. Dari sisi lain, kadang ketidaktergantungan perempuan secara ekonomis menguatkan motivasi pria untuk bercerai. Hal ini disebabkan karena pria yang menceraikan istrinya yang bekerja dengan mudah menghindar dari pemberian biaya perawatan anak-anaknya. Tidak diragukan, hal ini merupakan salah satu faktor penyebab tingginya tingkat perceraian yang tidak tertandingi pada era kini di berbagai negara.

Saatnya melakukan penguatan fondasi keluarga

Mengutip pernyataan Dr. Muhammad Taqi Karimi, akar dari permasalahan tersebut kembali pada berubahnya peran penting keluarga sebagai lembaga ekonomi bagi individu. Sebelum terjadinya revolusi industri, sistem produksi berlangsung di keluarga. Karena itu, relasi ekonomi yang terbangun antara pemerintah dengan keluarga. Selanjutnya kita menyaksikan peralihan gelombang produksi massal dari keluarga ke individu melalui proses industrialisasi. Produksi massal dilakukan oleh kapitalis dengan membuka pabrik besar yang menyerap ribuan tenaga kerja. Roda ekonomi masyarakat yang sebelumnya dijalankan oleh keluarga telah berpindah ke tangan pemilik modal. Para pemilik modal kemudian menjadi pemegang kendali ekonomi yang memiliki posisi tawar dan secara tidak langsung mengatur kebijakan Negara.

Mengikuti perubahan tersebut, pemerintahan modern kemudian mengatur relasinya dengan setiap warga negara (individu). Peran ekonomi bagi anggota keluarga menjadi lemah karena setiap orang dapat membangun relasi ekonomi dengan Negara. Sebagai ganti peran ekonomi, secara budaya keluarga diharapkan dapat memenuhi tuntutan spiritualitas atas setiap anggotanya. Meskipun dukungan ekonomi masih diharapkan dari keluarga, namun dukungan spiritual dan emosional menjadi lebih penting. Pimpinan Tertinggi Revolusi Islam Sayyid Ali Khamene’i sering meningatkan agar keluarga dapat berperan menjadi sumber ketenangan bagi anggotanya. Peran ini seharusnya dapat dijalankan oleh keluarga modern secara maksimal.

Selanjutnya, perlu diupayakan penguatan fondasi keluarga dalam menghadapi krisis keluarga melalui pendekatan individual dan sosial. Pendekatan individual dalam upaya penguatan fondasi keluarga dapat dilakukan oleh berbagai pihak terkait berupa pendidikan bagi pasangan dan calon pasangan. Upaya ini dapat dilakukan oleh lembaga penggiat masalah keluarga, lembaga terkait seperti BP4 dan ruhaniawan. Pendidikan penguatan fondasi keluarga perlu merujuk pada pengembalian peran keluarga berdasarkan ajaran agama dan kearifan tradisi lokal. Sedangkan pendekatan sosial membutuhkan keterlibatan lembaga sosial dan pemerintah misalnya adanya upaya pencegahan, intervensi dan kontrol terhadap perceraian. Menghadapi perubahan global yang berimbas pada krisis keluarga, salah satu Pusat Kajian Perempuan di Iran menawarkan upaya pembentukan koalisi keluarga internasional (Fazlnameh Ilmi wa Farhanggi wa Ijtimai Zanan Hawra, Ed. 50, 1395 HS). Sudah saatnya kita turut andil dalam menentukan arah perubahan dunia dan melakukan kerjasama antar bangsa untuk menghadapi krisis keluarga.

No comments

LEAVE A COMMENT