Karena “setiap hari adalah Asyura dan setiap bumi adalah Karbala”, maka ia tak hanya diperingati sebagai ritus dan momentum pembaharuan ikrar cinta serta kepatuhan vertikal kepada Nabi dan Ahlulbait sebagai umat, namun harus dijadikan sebagai momentum mempembaharui ikrar kepatuhan horisontal.
Setiap pengingat tragedi Asyura harus memahami kewajiban dan haknya sebagai bagian dari umat karena beragama dan sebagai bagian dari bangsa karena bernegara.
Sebagai bagian dari saru umat kita terikat oleh otoritas dalam hierarki kepatuhan vertikal Allah sebagai pemegang otoritas primer yang terejawantahkan dalam otoritas kedua Muhammad SAW sebagai pembawa ajaran suci Allah dan otoritas Ahlulbait sebagai pengawal ajaran suci Nabi serta otoritas faqih sebagai pengawal ajaran suci Ahlulbait. (Baca: Ritus Arbain, Long March Cinta)
Agama adalah asas komitmen keumatan yang berdiri di atas dua syarat keimanan kepada Tuhan dan keimanan kepada kenabian Muhammad SAW dengan Ahlulbait sebagai pewaris ajarannnya bersifat universal melintasi ruang dan waktu kapan dan di manapun.
Hak setiap individu umat adalah memperoleh rahmat Allah dan syafaat Nabi termulia serta Ahlulbait sebagai pemegang izin syafaat dari Allah.
Sebagai bagian dari sebuah bangsa kita terikat oleh otoritas dalam struktur kepatuhan horisontal kontrak sosial yang dituangkan dalam asas negara sesuai tujuan para pendiri.
Pancasila dan UUD yang disepakati adalah asas komitmen kebangsaan yang merupakan konstitusi yang mengikst bagi setiap individu bangsa (warga negara), apapun agama, suku, etnis, daerah, ormas, parpol dan gendernya. Bangsa wajib melaksanakan kewajiban konstitusionalnya sebagai penyelenggara negara yang menerima mandat dan sebagai rakyat yang memberikan mandat. (Baca: Mereka yang Tidak Peduli Nasib Sesama)
Hak setiap warga adalah keadilan dan kesejahteraan berupa perlindungan hukum, politik dan sosial secara adil.
Agama mengikat umat, yaitu setiap penganutnya. Sedangkan negara mengikat setiap individu warga sebagai bangsa. Sebuah agama dengan semua aliran di dalamnya sebagai sesuatu yang abstrak berada di luar koridor negara yang dihuni oleh ragam individu dengan pilihan agamanya masing-masing.
Pancasila memang bukan agama, tapi ia ada dalam semua agama. Karenanya, menerimanya merupakan kesadaran beragama -karena Tuhan mewajibkan keterikatan kepada kontrak kesepakatan selama tidak bertentangan dengan agama.
Bila sebuah institusi pemerintahan -yang seharusnya hanya mendapatkan kewenangan kenegaraan- mencampuri domain agama warga, maka itu bisa dianggap sebagai tindakan inkonstitusional dan dapat dianggap sebagai indikasi krisis kesadaran bernegara bahkan sebagai upaya mengganti asas negara dengan agama yang dianut salah satu elemen bangsa. Inilah intoleransi yang merupakan biang radikalisme dan ekstremisme.[*]
Baca: Ekstremisme dalam Agama