Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Asyura: Panggung Kasih Sayang Ahlulbait Nabi terhadap Manusia

Asyura memiliki pelajaran dan hikmah dari pelbagai dimensi yang tak terhingga. Para ulama sejak ratusan tahun lalu senantiasa menganalisis peristiwa agung ini tiada henti.

Salah satu yang dapat kita ambil sebagai pesan agung dari peristiwa ini ialah kasih sayang Ahlulbait Nabi yang diperankan oleh Imam Husein a.s. dan keluarganya sebagai poros utama tragedi Karbala.

Imam Ja’far as-Sadiq a.s. berkata, “Setiap diri kalian tidaklah mudah memperoleh kebaikan secara menyeluruh.” Periwayat bertanya, “Jiwaku tebusanmu, lalu bagaimana kami memperolehnya?” Beliau menjawab, “Kebahagiaan kami ialah dengan membahagiakan kaum Mukminin pencinta kami (Ahlulbait).”[1]

Baca: Asyura di Langit dan di Bumi

Dari riwayat ini, kita mengetahui betapa mendalamnya kecintaan Ahlulbait -salam atas mereka- terhadap para pencintanya lebih dari cinta seorang ibu terhadap anaknya. Para pencinta Ahlulbait Nabi berkedudukan bagaikan putra-putri mereka.

Penghulu Syuhada, Imam Husein a.s., telah menunjukkan kepada kita pelajaran kasih sayang dan kecintaannya di medan Karbala secara apik dan gemilang. Beliau mempertontonkan hal itu secara nyata kepada para pembela dan pencinta; termasuk juga kepada para musuh dan pembenci.

Berikut ini beberapa contoh sikap Imam Husein a.s. yang menggambarkan kasih sayang beliau.

Baca: Dari Manakah Informasi Tragedi Asyura?

Memberi Minum Musuh-musuhnya

Saat Imam Husein a.s., keluarga dan para sahabatnya singgah di suatu tebing tinggi, al-Hurr bersama seribu pasukan berkuda mendatangi kemah Imam Husein a.s. sehingga mereka berdiri di hadapan beliau. Imam Husein a.s. berkata kepada para pelayannya, “Berilah mereka minum, kenyangkanlah mereka dengan air dan kenyangkanlah pula kuda-kuda mereka dengan air.”[2]

Bahkan Imam Husein a.s. memberikan bejana air untuk al-Hurr dan kudanya.

Sikap terhadap Umar bin Sa’ad

Sebelum hari Asyura (10 Muharram 61 H) penghulu Syuhada, Imam Husein a.s., mengirimkan kurir kepada Umar bin Sa’ad agar terjadi dialog antara dirinya dan beliau a.s. Dengan harapan agar dia mengurungkan niat dari berbuat dosa terbesar.

Baca: Amalan Malam dan Hari Asyura

Ketika keduanya bertemu, Imam Husein a.s. menasihatinya, “Celakalah kamu, wahai putra Sa’ad (bin Abi Waqqash)! Tidakkah engkau takut kepada Allah Yang engkau akan kembali kepada-Nya? Apakah engkau hendak memerangiku padahal aku putra seseorang yang engkau ketahui? Hindarilah kelompok itu dan jadilah orang yang bersamaku, sebab itu lebih dekat kepada Allah Swt.”

Umar bin Sa’ad menjawab, “Aku takut rumahku dihancurkan.”

Imam Husein a.s. berkata, “Aku akan membangunkannya untukmu.”

Umar bin Sa’ad berkata, “Aku takut kehilangan kota (yang dijanjikan: Rey) untukku.”

Imam Husein a.s. berkata, “Aku akan menggantikan yang lebih baik untukmu dari hartaku di Hijaz.”

Umar bin Sa’ad berkata, “Aku mempunyai keluarga dan aku mengkhawatirkan mereka.” Lalu dia terdiam dan tidak berkata apa-apa lagi.[3]

Baca: Nilai-Nilai Asyura dalam Surah Al-Fajr

Demikianlah Imam Husein a.s. menawarkan aneka jalan keluar bagi Umar bin Sa’ad. Argumentasi telah sempurna. Tiada alasan yang dikemukakan oleh Umar bin Sa’ad kecuali beliau a.s.telah memberikan bagi Umar bin Sa’ad jalan keluar yang terbaik demi kepentingan Umar bin Sa’ad sendiri.

Namun puncak keinginan dan keserakahan duniawi yang dikehendaki Umar bin Sa’ad menjadikannya seorang yang merugi.

“Anda Terbebas dari Baiatku”

Muhammad bin Bisyr al-Hadrami r.a. adalah salah satu pembela Imam Husein a.s. Pada hari Asyura, dia memperoleh kabar putranya tertawan di gerbang kota Rey.[4]

Dia berkata, “Aku menyandarkan dirinya dan diriku kepada Allah. Aku tidaklah menghendaki tertawan dan hidup sepeninggalnya.”

Imam Husein a.s. mendengarnya, lalu berkata, “Semoga Allah merahmatimu. Engkau terbebas dari baiatku. Bebaskanlah putramu!”

Baca: Amalan Hari Asyura

Dia menjawab, “Semoga binatang buas memangsaku hidup-hidup jika aku meninggalkan Anda!”

“Wahai Nafi’, Jagalah Keluargamu!”

Nafi’ bin Hilal mempunyai seorang istri yang baru saja dia nikahi. Dia bersamanya di perkemahan Imam Husein a.s. Saat dia melihat Nafi’ pada hari Asyura, dan hendak maju ke medan laga, dia menahan Nafi’, menangis tersedu-sedu dan berkata, “Mau ke manakah kamu? Kepada siapakah aku hendak bersandar sepeninggalmu?”

Imam Husein a.s. mendengarnya lalu berkata kepada Nafi’, “Wahai Nafi’, keluargamu tidak pantas berpisah darimu. Engkau dapat memilih kebahagiaannya daripada maju ke medan laga.”

Nafi’ pun berkata, “Wahai putra Rasulullah! Seandainya aku tidak membelamu hari ini, jawaban apa yang hendak aku sampaikan kelak kepada Rasulullah?”

Dia pun tampil ke medan laga dan bertempur sehingga meraih syahadah.[5]

Puncak Nasihat

“Amma ba’du, nisbatkanlah aku, perhatikanlah siapa aku. Lalu rujuklah kepada diri kalian dan renungkanlah. Kemudian pikirkanlah apakah kalian layak memerangiku dan melanggar kehormatanku? Bukankah aku ini putra dari putri Nabi kalian, putra washinya, sepupunya dan orang yang pertama beriman kepada Allah, orang yang memercayai utusan-Nya atas hal-hal yang diwahyukan Tuhannya? Bukankah Hamzah, penghulu Syuhada, itu paman dari ayahku? Bukankah Ja’far at-Thayyar itu pamanku? Belum pernahkah sampai kepada kalian ucapan yang berulang bahwa Rasulullah Saw bersabda tentang aku dan abangku, ‘Dua orang ini adalah dua penghulu pemuda surga’?”[6]

“Malam telah Menyelimuti Kalian, Jadikanlah ia sebagai Peluang”
Pada malam Asyura, Imam Husein a.s. mengumpulkan para sahabatnya. Beliau memuji Allah Swt, berdoa dan menyampaikan penjelasan yang panjang seraya berkata, “Aku izinkan kalian meninggalkanku secara halal. Kalian tidak berhutang kepadaku. Malam ini telah menyelimuti kalian, jadikanlah ia sebagai kesempatan baik (untuk meninggalkanku). Setiap orang dapat membawa serta keluargaku. Berpencarlah dengan pakaian hitam kalian dan menuju kota-kota kalian. Sebab kelompok itu hanyalah menghendakiku…” [7]
Ibn Syahasyub, Manaqib Ali Abi Thalib, j. 3, h. 248.

Baca: Mengapa Asyura’ dan Tragedi Karbala Hanya Sekali Terjadi?

“Aku telah Memperingatkan dan Menasihati Mereka”

Salah satu yang disampaikan Imam Husein a.s. kepada adiknya, Sayidah Zainab a.s., dan keluarganya pada malam Asyura tentang kondisi musuh-musuhnya ialah, “Aku telah memperingatkan mereka namun mereka tidak mendengar. Aku telah menasihati mereka, tetapi mereka enggan dan menolak ucapanku…”[8]

Sejatinya seluruh ucapan dan prinsip penghulu Syuhada, Imam Husein a.s. dalam kondisi paling mendesak dari seorang pemimpin terhadap para pembelanya secara nyata. Hal itu dalam rangka menunjukkan kasih sayang yang terpendam di sanubarinya sebagai bahtera keselamatan.

Catatan kaki:
[1] Allamah al-Majlisi, Bihār al-Anwār, j. 71, h. 312.
[2] Syekh Mufid, al-Irsyād fī Ma’rifah Hujajillāh ‘ala al-‘Ibād, j. 2, h. 78.
[3] Sayid Muhsin al-Amin, A’yān as-Syī’ah, j. 1, h. 599.
[4] Sayid Ibnu Thawus, al-Luhūf fī Qatlā at-Thufūf, h. 57.
[5] Ahmad Husein Ya’qub, Karbalā: at-Tsaurah wa al-Ma’sāh, h. 315.
[6]Ibn Syahasyub, Manaqib Ali Abi Thalib, j. 3, h. 248.
[7] Syekh Mufid, al-Irsyād fī Ma’rifah Hujajillāh ‘ala al-‘Ibād, j. 2, h. 97.
[8] Syekh Abdullah al-Hasan, Laylah ‘Āsyūrā’ fī al-Hadīts wa al-Adab, h. 31.

No comments

LEAVE A COMMENT