Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Bagaimana AlQuran Menjelaskan Ciri-ciri Ibu? (4 -Tamat)

  • Kasih sayang kepada anak

Cinta ibu kepada anak merupakan efek kebersamaan ibu dan anak dalam kehidupan. Kebersamaan ini menghasilkan perilaku altruistik dan cinta kasih ibu bagi anaknya. Kasih sayang dan cinta juga melazimkan ibu untuk selalu mendukung dan bersedia merawat anak-anaknya. Kodrat keibuan yang melekat pada ibu membuktikan tidak adanya peran aturan dan petunjuk untuk melaksanakannya.

Islam menganjurkan pemberian ASI sebagai makanan bayi terbaik dan menekankan pengasuhan anak oleh ibu sendiri. Menyusui anak juga dianggap memiliki nilai yang tinggi dalam Islam. Namun demikian, anjuran ini terhitung sebagai keutamaan saja. Adanya anjuran tersebut bukanlah keniscayaan karena secara alamiah seorang ibu akan mencintai dan merawat anaknya. Cinta dan kecenderungan ini mendapat pujian dan penghargaan sebagaimana Allah Swt menghormati cinta dan kekhawatiran Ibunda Nabi Musa as. Allah Swt dalam surah Thaha ayat 39 berfirman:

أَنِ اقْذِفِيهِ فِي التَّابُوتِ فَاقْذِفِيهِ فِي الْيَمِّ

“Letakkanlah ia (Musa) didalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil)

Dikisahkan bahwa untuk menjaga keselamatan Nabi Musa as Allah memerintahkan ibunya meletakkan sang bayi di keranjang dan kemudian menghanyutkannya ke laut. Allah Swt menghiburnya dengan kalimat khusus karena bagi ibu Nabi Musa meletakkan bayi dalam peti bukanlah hal yang mudah. Penggunaan kata (اقْذِفِيهِ) dengan makna melempar menunjukkan perbuatan yang sulit. Poin pentingnya adalah ibu melemparkan bayinya tanpa rasa takut akan bahaya ombak sungai nil.

Baca: Bagaimana AlQuran Menjelaskan Ciri-ciri Seorang Ibu? (1)

Ayat 10 surah  Qasas mengisahkan bahwa untuk mengalahkan keterikatan ibu Nabi Musa diperlukan pertolongan Ilahi:

وَأَصْبَحَ فُؤَادُ أُمِّ مُوسَىٰ فَارِغًا ۖ إِنْ كَادَتْ لَتُبْدِي بِهِ لَوْلَا أَنْ رَبَطْنَا عَلَىٰ قَلْبِهَا لِتَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah).

Iman dan ketetapan hati telah diberikan Allah kepada Ibu Nabi Musa as. Namun demikian ia tetap mengirim saudara Nabi Musa as untuk mengetahui nasib anaknya. Kekhawatiran itu bahkan terus berlanjut hingga Allah Swr mengembalikan Nabi Musa as kepada ibunya. Surah Thaha ayat 40:

فَرَجَعْنَاكَ إِلَىٰ أُمِّكَ كَيْ تَقَرَّ عَيْنُهَا وَلَا تَحْزَنَ

Maka Kami mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak berduka cita.

Allah Swt menghormati kekhawatiran ibu Musa terhadap putranya dan mengakhiri kesedihan sang ibu dengan mengembalikan putranya. Berdasarkan ayat ini, ikatan kasih sayang ibu kepada anaknya dapat dipahami sebagai fitrah. Tidak ada yang dapat mengurangi atau menghapus ikatan tersebut. AlQuran menggambarkan beratnya keterpautan ibu Nabi Musa as dengan bayinya yang masih menyusu hanya dapat ditanggung atas pertolongan Ilahi. Tanpa bantuin itu, ibu Nabi Musa as mungkin sudah membuka rahasia bahwa bayi tersebut adalah putranya.

Baca: Bagaimana AlQuran Menjelaskan Ciri-ciri Ibu? (2)

Terdapat riwayat yang menjelaskan insting perempuan untuk mencintai anaknya. Anak perempuan diciptakan untuk menjadi ibu dengan sifat bawaan seperti: belas kasih, lemah lembut, dan tenang. Dikisahkan suatu hari Rasulullah salallahu alaihi wa alih menyaksikan seorang perempuan yang sedang lapar. Ketika diberikan roti kepada perempuan itu, ia kemudian memberi roti tersebut kepada anaknya. Rasulullah salallahu alaihi wa alih bersabda:

والدات والهات رحيمات بأولادهن لولا ما يأتين إلى أزواجهن لقيل لهن: ادخلن الجنة بغير حساب[1]

Sayyidah Fatimah Az-Zahra salamullahu alaiha merupakan teladan dalam hal keibuan dan menyayangi anaknya. Salah satu “laqab”Sayyidah Fatimah sa adalah “Haniah” yang berarti penyayang dan simpati. Banyak riwayat yang menyebutkan upaya Beliau sa untuk melaksanakan kewajibannya seperti: bermain dengan anak, memberi makan dalam waktu yang sama, berlaku adil dan mengajarkan kesabaran dengan menenangkan anak-anak yang kelaparan selama dua hari.

Perubahan nilai yang terjadi zaman modern telah mengurangi ikatan ini pada sebagian perempuan dan tergantikan oleh beberapa aktivitas sosial, pekerjaan dan kegiatan lain. Perubahan pandangan terhadap nilai dan peran feminin ini juga disebabkan pengaruh gerakan feminisme. Kelompok feminis radikal meremehkan lembaga keluarga dan menganggap peran ibu tidak penting. Tuntutan persamaan gender meniadakan nilai dan keutamaan perempuan saat ia mengandung, melahirkan, menyusui dan mengasuh anak. Selain itu, nilai peran ibu juga menjadi berkurang dengan adanya penyebaran nilai materialisme dan individualisme. Paham materialisme dan individualisme tidak mendukung altruism dan pengorbanan ibu. Kebebasan perempuan dimaknai sebagai kemandirian ekonomi, egoisme, penghentian peran ibu dan penguasaan perempuan atas tubuhnya sendiri. Perjuangan meraih kebebasan ini ditempatkan sebagai perlawanan terhadap budaya patriarki.

Individualisme  memaknai keberhasilan seseorang hanya berkaitan dengan keinginan dan usahanya sendiri berdasarkan kebutuhan insting dan materi. Karena itu, tidak seorangpun termasuk perempuan bertanggung jawab untuk menanggung biaya pengeluaran bagi anak-anaknya.  Demikian pula urusan lain seperti: merawat, upaya memenuhi kebutuhan gizi dan kesehatan, pendidikan, menjaga anak saat sakit dianggap tidak bernilai. Masuknya seorang anak dalam kehidupan ibu justru dianggap sebagai penggangu yang menghilangkan kesempatannya untuk melakukan berbagai aktivitas dan berkarir.

Baca: Bagaimana AlQuran Menjelaskan Ciri-ciri Ibu? (3)

Dari uraian sebelumnya dapat dinyatakan bahwa pennilaian terhadap ibu baik dari aspek biologis dan psikologis  menempati kedudukan yang tinggi dalam kitab suci agama Islam. Nilai yang dikembangkan Al Quran pada prinsipnya sejalan dengan kecenderungan alamiah manusia untuk menghormati dan mencintai ibunya. Penghormatan ini sejalan dengan kecenderungan alamiah seorang ibu untuk mencintai dan merelakan diri berkorban bagi anak-anaknya. Namun hal ini bertentangan dengan nilai-nilai yang diusung dan dikembangkan oleh sebagian kelompok gerakan perempuan bernama feminis. Mereka bahkan menyatakan bahwa peran ibu mengasuh dan mendidik anak hasil dari konspirasi maskulin yang harus dilawan. Pekerjaan sebagai ibu rumah tangga dianggap tidak bernilai karena tidak produktif secara meteri. Akhirnya, dengan merujuk kepada tuntunan AlQuran kita dapat menempatkan ibu pada kedudukan yang selayaknya. Tak salah bila setiap hari tanpa peringatan formal Hari Ibu pun kita dapat mengucapkan “Selamat” kepada setiap ibu di mana saja.

Catatan Kaki:
[1] Syaikh Kulaini, Al-Kafi, j. 5, h. 554

Sumber: A’zam Nuri, Naqsy Modari Dar Amuzeha-ye Qurani, Pazohesh Nameh zan wa Khanevadeh, Jamiatul Musthafa, Muasasah Amozesh Ali Bint Al-Huda, 1393 H


No comments

LEAVE A COMMENT