Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Cobaan dan Kesulitan sebagai Media Pembelajaran Manusia

Kesukaran dan kesulitan adalah (sarana) pendidikan bagi seseorang dan pembangkit kesadaran suatu umat. Ia membangunkan mereka yang tertidur dan membangkitkan kebulatan tekad mereka. Seperti gerinda yang membuat besi dan baja menjadi tajam, semua kesulitan yang dihadapi oleh jiwa seseorang akan membuatnya Iebih bertekad, Iebih aktif, dan lebih andal. Karakteristik kehidupan, ialah perlawanan terhadap berbagai kesulitan sehingga -sadar atau tidak- dia selalu siap menghadapinya.

Kesulitan-kesulitan hidup itu seperti alkimia, memiliki sifat mengubah substansi dan jiwa yang menghadapinya. Eliksir kehidupan memiliki dua unsur: cinta dan guncangan. Keduanya mengubah materi yang padat dan tidak memiliki kehangatan menjadi cahaya yang terang benderang.

Bangsa-bangsa yang tenggelam dalam berbagai kesulitan dan musibah adalah bangsa-bangsa yang kuat dan teguh. Sedangkan bangsa-bangsa yang suka santai dan bermewah-mewahan selamanya akan menjadi bangsa yang lemah dan rapuh. Menurut hukum alam, setiap umat yang biasa bersenang-senang dan santai akan menjadi hina.

Baca: Makna Cobaan dan Dampaknya

Pada era Mutawakkil dari Dinasti ‘Abbasiyah, ada penyair Bernama Ali bin Al-Jahm. la pernah dipenjara dan mempunyai syair-syair yang amat indah tentang dampak edukatif penjara, yang menjadi kebanggaan bagi mereka yang bebas dan mencari kebebasan, serta orang yang menjunjung tinggi keutamaan sehingga menggiringnya ke balik terali penjara. Syair-syair itu dinukil oleh Al-Mas’udi dalam Muruj Al-Dzahab sebagai berikut:

“Mereka berkata, engkau telah dipenjara; Kujawab, itu bukan masalah bagiku. Pedang tajam mana yang tak terbungkus rapi di sarungnya? Harimau mana yang tak mengendap di semak-semak, Sementara mangsa-mangsa berkeliaran di mana-mana. Semua api tersekap dalam bebatuan, sampai besi mengobarkannya ke luar. Kalau dipenjara bukan karena kejahatan, sungguh ia adalah sebaik-baik tempat tinggal.”

Apabila musibah yang dialami seseorang itu dipandang sebagai suatu karunia, dia akan dapat mengambil manfaat darinya, bila dia menghadapi semua guncangan yang muncul dengan sabar dan tabah, jiwanya akan menyempurna. Sedangkan bila dia menghindar atau berkeluh kesah tentangnya, musibah itu betul-betul akan menjadi musibah baginya.

Kenyataannya, berbagal karunia duniawi yang besar, sama dengan musibah, bisa menjadi sebab kebahagiaan dan bisa pula menjadi sebab kesengsaraan. Kemiskinan bukanlah kesengsaraan mutlak, sebagaimana kekayaan juga bukan kebahagiaan mutlak. Sering kali kemiskinan menjadi faktor pengembangan dan penyempurnaan seseorang, dan sering pula kekayaan menjadi faktor timbulnya kesialan dan kecelakaan. Begitu juga rasa aman dan rasa tidak aman. Ada banyak individu dan bangsa yang hidup dengan aman dan tenteram, lalu terbelit oleh tujuan-tujuan duniawinya dan berwatak rakus, sehingga ia menuai kehinaan. Demikian pula, banyak individu dan bangsa yang bergerak maju karena dorongan kesengsaraan dan penderitaan, sehingga mereka bisa merebut kejayaan dan kedaulatan.

Baca: Tafsir: Pertanda Lemah Iman

Hukum ini mencakup seluruh anugerah dan musibah alamiah semisal kesehatan dan penyakit, keperkasaan, kehinaan, dan lain-lain. Dengan begitu, kesenangan dan cobaan sama-sama bisa menjadi rahmat, karena masing-masing bisa memberikan dampak baik; tapi bisa pula menjadi musibah dan malapetaka yang sebenarnya apabila keduanya menjadi faktor kejatuhan dan kehancuran. Karena itu, kita bisa mencapai kebahagiaan dengan kemiskinan, dan bisa pula dengan kekayaan. Kita juga bisa sengsara dengan kemiskinan, dan bisa pula dengan kekayaan.

Maka, kesenangan seseorang terkait dengan reaksinya terhadap apa yang diperolehnya: apakah ia bersyukur atau tidak. Dan kesengsaraan seseorang juga terkait dengan bagaimana reaksinya terhadap apa yang diperolehnya: apakah ia bersabar dan tegar, atau lunglai, hancur, dan kehilangan kehendak.

Dengan demikian, tampaklah bahwa satu hal yang sama itu keadaannya berbeda-beda bagi dua orang. Dalam hubungannya dengan satu orang, ia bisa dipandang sebagai karunia, dan dalam hubungannya dengan orang yang lain, ia bisa dianggap petaka. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan ‘karunia dan bencana itu merupakan dua hal yang relatif’.

Sesuatu yang seharusnya disebut sebagai bencana ialah siksaan emosional dan spiritual dari Allah, yaitu konsekuensi-konsekuensi buruk dari perbuatan manusia. Itulah bencana yang sebenarnya. Mengapa begitu? Pertama, karena bencana itu disebabkan oleh kehendak dan pilihan manusia; kedua, karena ia bukanlah pengantar menuju kebaikan dan kesempurnaan apa pun. Misalnya, sikap keras hati pada diri seseorang adalah bencana yang sebenarnya, sebagaimana dikatakan dalam sebuah riwayat: “Tidaklah Allah menyiksa seorang hamba dengan siksaan yang lebih dahsyat daripada kerasnya hati.” (Al-Daylami, Irsyad al-Qulub)

Sekiranya Allah telah menyiksamu secara lahiriah, engkau akan merasakannya dan menanggungnya sebagai siksaan, sehingga siksaan itu akan berubah menjadi kasih sayang dan rahmat llahi bagimu, mengingat acap kali siksaan itu dapat membangkitkan kesadaran. Adapun siksaan yang sedang melilit dirimu sekarang, sebagai akibat dari perbuatanmu, adalah siksaan yang sebenar-benarnya.

Penderitaan-penderitaan yang sesungguhnya adalah hasil dan dampak dari perbuatan-perbuatan manusia itu sendiri. Dan ihwal pengaruh-pengaruh dan dampak-dampak itu, Alquran mengatakan: “Dan kami tidaklah menganiaya diri mereka, melainkan merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. AI-Nahl: 118)

Baca: Manusia Biasa atau Luar Biasa?

Musibah dan cobaan itu merupakan nikmat yang besar dan harus kita syukuri. la merupakan kenikmatan yang ditampakkan kepada kita dalam bentuk musibah. Sebagaimana halnya dengan musibah yang kadang-kadang ditampakkan kepada kita dalam bentuk rahmat. Karenanya, kita wajib bersyukur kepada Allah atas segenap cobaan tersebut.

Bagaimanapun, kita harus mencamkan dalam pikiran bahwa sesuatu itu bisa disebut sebagai karunia atau petaka, sepenuhnya bergantung pada bentuk reaksi kita terhadapnya. Kita bisa mengubah seluruh petaka menjadi karunia. Demikian pula, kita bisa mengubah seluruh karunia menjadi petaka, apalagi karunia-karunia yang sampai kepada kita dalam bentuk petaka.

*Dikutip dari buku Keadilan Ilahi – Ayatullah Murtadha Muthahhari


No comments

LEAVE A COMMENT