Sesungguhnya doa dan munajat kepada Allah Swt adalah salah satu keutamaan yang besar sekali bagi manusia. Doa dan munajat kepada Allah Swt bersumber dari kedalaman jiwa manusia. Oleh karena itu, ucapan Ya Allah, Ya Allah, dan ucapan Ya Rabb, yang kemudian diakhiri dengan permintaan hajat, pada dasarnya adalah doa lisan. Doa jenis ini mempunyai pahala yang banyak, dan telah banyak sekali anjuran dan penekanan terhadap doa yang yang seperti ini. Akan tetapi, sesungguhnya doa yang sebenarnya ialah berupa hubungan hamba dengan Allah Swt, dan hubungan ini bersumber dari kedalaman jiwa manusia.
Pengenalan Fitri Terhadap Allah pada Diri Manusia
Jika seorang manusia jatuh ke dalam jalan yang buntu, sekalipun dia tidak mengenal Allah Swt, maka tanpa disadarinya dia memohon pertolongan kepada Allah Swt. Alquran al-Karim berkata: “Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan Allah.” (QS. al-Ankabut: 65)
Mereka orang-orang musyrik dan kafir yang tidak mengenal Allah Swt, jika mereka terjerembab ke dalam jalan yang buntu dan tidak mampu memperoleh keselamatan, maka ketika itu bangunlah kesadaran pada diri mereka untuk mencari Allah Swt, dan mulailah mereka berteriak “Ya Allah, Allah” dengan tanpa menyadarinya. Terdengar dari mereka ucapan doa, dan mereka memohon kepada Allah Swt supaya menyelamatkan mereka dari jalan buntu yang tengah mereka hadapi. Namun, tatkala mereka telah keluar dari jalan buntu tersebut, mereka pun kembali melupakan Allah dan kembali kepada kebiasaan mereka.
Baca: Dosa, Penyebab Tercegahnya Doa
Ayat tersebut, di samping membuktikan pembahasan kita bahwa doa adalah sebuah keutamaan, dia juga menganggap doa sebagai seutama-utamanya dalil untuk mengenal Allah Swt. Ayat ini berbicara tentang sesuatu yang dinamakan fitrah. Manusia adalah makhluk pencari Allah Swt. Bahkan, dalil fitrah mengatakan lebih dari itu kepada kita. Dalil fitrah mengatakan bahwa selain di kedalaman jiwa manusia mengakui adanya Allah Swt, dia juga mengakui tauhid dan mengatakan adanya keutamaan-keutamaan pada Allah Swt.
Artinya, bahwa kedalaman jiwa manusia mengetahui bahwa Allah Swt itu Maha Mengetahui, Maha Pengasih, Maha Dermawan, Mahakuasa dan Maha Mendengar. Dan pada akhirnya, sesungguhnya kedalaman jiwa manusia dapat merasakan adanya Sesuatu yang mencakup segala kesempurnaan. Manakala seorang manusia terperosok ke jalan yang buntu, maka seluruh keluh kesahnya dicurahkan kepada al-Mabda (Allah Swt). Artinya, dia mengatakan bahwa Allah Swt itu Esa dan mencakup segala kesempurnaan. Oleh karena itu, dia pun meminta kebutuhannya kepada Allah Swt dan berkata-kata kepadaNya. Sebagai bukti telah terbuka kenyataan baginya bahwa Allah itu Maha Mendengar, Maha Mengetahui, Mahakuasa dan Maha Pengasih, dan bahwa Dia adalah Tuhan yang sesungguhnya.
Salah seorang sayyid bercerita: “Saya mempunyai seorang teman yang tidak mengakui adanya Allah Swt. Saya terlibat diskusi dan pembahasan yang panjang dengannya, namun saya dan dia belum bisa sampai kepada kesimpulan. Teman saya itu mempunyai seorang anak laki-laki satu-satunya. Anak laki-lakinya itu masuk rumah sakit untuk menjalani operasi. Kebetulan, teman saya ini juga seorang dokter. Dia duduk di belakang pintu kamar operasi dan mulai menangis. Dia berkata, Ilahi, saya memohon kesembuhan anak laki-laki saya dari-Mu’. Mendengar itu saya segera menggunakan kesempatan dan berkata kepadanya, ‘Siapa Tuhanmu yang kamu pintakan kesembuhan bagi anak laki-lakimu dari-Nya?’ Teman saya itu menjawab, ‘Ini bukan sesuatu yang layak diperdebatkan.’”
Kekeraskepalaan dan kesombongan intelektual di tengah-tengah perdebatan tidak memberikan kesempatan kepada fitrah untuk bisa bangun. Namun, jika dia terjatuh ke jalan yang buntu, maka pada saat itu dia melupakan segala sesuatu. Pada saat ilmu pengetahuan dan kesombongannya tidak bisa berbuat apa-apa untuknya. Pada saat itu seluruh kekuasaan dan kemampuannya tidak bisa melakukan apaapa untuknya, dan begitu juga pada saat itu egoisme bisa berbuat apa-apa. Ketika itulah tiba-tiba fitrahnya menjadi bangun dan sadar. Dia melihat bahwa ada sesuatu yang dapat menolongnya, dan itu adalah Allah Swt. Tanpa sadar air matanya mengalir, dan lidahnya bergetar menyebut “Ya Allah, Ya Allah”.
Telah diutus sebanyak seratus dua puluh empat ribu nabi oleh Allah Swt untuk tugas ini. Yaitu untuk menjaga supaya fitrah manusia senantiasa tetap sadar, untuk menjaga supaya manusia senantiasa mencari Allah Swt. Para nabi datang dengan tujuan supaya manusia sadar bahwa dirinya senantiasa berada di bawah penglihatan dan pendengaran-Nya, dan tidak ada tempat baginya untuk bersembunyi dari-Nya, serta tidak ada beda baginya antara sendiri atau berada di tengah-tengah manusia; dan pada akhirnya supaya hatinya senantiasa berdetak menyebut “Ya Rabb, Ya Rabb” dalam setiap keadaan.
Doa Merupakan Salah Satu Kelebihan Syiah
Salah satu yang menjadi kelebihan Syiah dari yang lainnya ialah doa. Syiah mempunyai kitab ash-Shahifah as-Sajjadiyyah, yang di juluki sebagai Zaburnya keluarga Muhammad saw. Zabur Ahlulbait a.s. yang merupakan kitab doa. Pada saat Imam Keempat Ali Zinal Abidin a.s. berada di jalan yang buntu, di mana dia tidak diperkenankan menyampaikan tablig dan mengatakan kebenaran, dia mengatakan segala sesuatu yang ingin di katakannya, maka beliau tuangkan dalam bentuk doa-doa.
Kitab ash-Shahifah as-Sajjadiyyah adalah kitab yang membangunkan dan menyadarkan fitrah. Syiah juga mempunyai kitab Mishbah al-Mutahajjid susunan Syaikh ath-Thusi, kitab a-Iqbal susunan Sayyid Ibnu Thawus, kitab Mafatih al-Jinan susunan Muhaddis al-Qummi, dan kitab Zad al-Ma ‘ad susunan Allamah al-Majlisi.
Baca: Agar Doa Dikabulkan oleh Allah Swt
Kitab Mafatih al-Jinan, dalam pandangan Imam Khomeini adalah kitab akhlak dan laboratorium pencetak manusia. Dalam pandangan Imam Khomeini, kitab Mafatih al-Jinan adalah perkataan yang naik (dari makhluk kepada Khalik), sedangkan Alquran al-Karim adalah perkataan yang turun (dari Khaliq kepada makhluk), yang mana kedua-duanya berisi percakapan dengan Allah Swt. Imam Khomeini mengatakan bahwa Alquran al-karim adalah perkataan yang turun. Yaitu turun dari Allah kepada hamba-hamba-Nya, turun dari hujub nurani dan dzulmani, supaya dapat dipahami, dilihat dan didengar.
*Disarikan dari buku karya Ayatullah Husain Mazahairi – Membentuk Pribadi Menguatkan Rohani