Pertautan yang tak terbantahkan antara iman dan kebajikan dengan kebahagiaan di akhirat, serta antara ketidakimanan dan kejahatan dengan kesengsaraan di akhirat, bukanlah hasil dari negosiasi manusia. Ini adalah keterikatan yang terwujud tanpa perlu persetujuan kita, tak terkait dengan cara dunia diciptakan.
Meskipun beberapa ayat Al-Quran menggunakan istilah perjanjian untuk menjelaskan hubungan antara dua entitas, seperti perdagangan atau jual-beli, namun esensi keseluruhannya menegaskan bahwa setiap individu akan merasakan konsekuensi dari perbuatannya sendiri di akhirat, sebagai refleksi langsung dari tindakannya. Oleh karena itu, hubungan ini tak bersandar pada perjanjian, melainkan sebagai konsekuensi alamiah dari perbuatan manusia.
Dari pemaparan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara iman dan perbuatan baik dengan kebahagiaan di akhirat, serta antara ketidakimanan dan perbuatan jahat dengan kesengsaraan di akhirat, merupakan ikatan yang sangat erat. Apa yang dilakukan manusia di akhirat akan tercermin dalam bentuk realitas non-material. Bentuk ini adalah hasil dari perbuatan manusia di dunia beserta balasannya di akhirat. Konsep ini didukung oleh beberapa ayat suci.
“Dan segala kebaikan yang kamu usahakan itu bagi dirimu sendiri, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah.” (QS. al-Baqarah 110)
“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan, begitu pula kejahatan yang telah dikerjakannya; dia ingin kalau kiranya antara dia dengan hari itu ada masa yang jauh.” (QS. Ali Imran: 30)
“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya akan melihatnya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya akan melihatnya pula.” (QS. al-Zalzalah: 7-8)
“Kamu hanya diberi balasan atas apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. ath-Thar: 16)
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk api yang menyala-nyala.” (QS. an-Nisa: 10)
Hal penting lain yang perlu diperhatikan tentang hubungan dunia dengan akhirat adalah bahwa setiap individu hanya akan menerima ganjaran dan balasan atas perbuatannya sendiri. Tidak ada yang akan menikmati ganjaran orang lain, dan tidak ada yang akan menerima azab orang lain. Al-Quran menyatakan, “(Yaitu) bahwasanya seorang pun tidak akan memikul beban orang lain. Dan bahwa manusia tidak akan memperoleh kecuali apa yang telah diusahakannya.” (QS. an-Najm: 38-39)
Selanjutnya, kondisi seseorang di akhirat, berdasarkan kondisi mereka di dunia, dapat dibagi menjadi empat kategori:
- “Beberapa orang hidup dalam kesejahteraan, baik di dunia maupun di akhirat. Allah SWT berfirman: “Dan Kami memberikan kepadanya balasan terbaik, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Al-Ankabut: 27)
- “Sebagian lainnya akan merugi, baik di dunia maupun di akhirat. Allah SWT berfirman: “Dan dia adalah orang yang merugi di dunia dan di akhirat. Dan itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. Al-Hajj: 11)
- Ada yang hidup susah di dunia namun berbahagia di akhirat.
- Ada yang hidup senang di dunia namun merugi di akhirat. (QS. al-Isra: 18-19)
Penting untuk dicatat bahwa dalam pandangan Al-Quran, keimanan dan amal saleh seseorang di akhir usia dapat menghapus dampak negatif ketidakimanan sebelumnya. Demikian pula, ketidakimanan dan kemaksiatan di akhir usia dapat menghapus segenap dampak positif keimanan dan amal saleh sebelumnya. Allah Swt berfirman: “Dan barang siapa beriman kepada Allah dan beramal saleh, maka (hal itu) akan menghapuskan keburukan-keburukannya darinya.” (QS. At-Taghabun: 9).
“Dan barang siapa di antara kalian berpaling dari agamanya kemudian mati sedang dia dalam keadaan kafir, maka mereka adalah orang-orang yang gugur amal-amal baiknya di dunia dan di akhirat.” (QS. al-Baqarah: 217)
Meskipun setiap perbuatan baik atau buruk tidak akan menghapus dampak dari perbuatan baik atau buruk lainnya, sebagian perbuatan baik dapat menghapus dampak negatif sebagian perbuatan buruk, dan sebaliknya. Sebagai contoh, menyombongkan diri atas kebaikan yang dilakukan dan menyakiti perasaan orang yang diberi sedekah dapat menghapus dampak baik dari sedekah. Al-Quran menyatakan, “Janganlah kalian menggugurkan sedekah kalian dengan menyombongkannya dan menyakiti perasaan (orang yang diberi).” (QS. al-Baqarah: 264)
Mendirikan salat di dua waktu yang penting dalam sehari juga dapat menghapus dampak negatif perbuatan buruk. Allah Swt berfirman: “Dan dirikanlah salat di dua penghujung siang dan pada sebagian waktu malam, (karena) sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu dapat menghapuskan (dampak-dampak) perbuatan buruk.” (QS. Hud: 114)
Kesimpulannya, setiap individu akan merasakan hasil dari usahanya sendiri. Selain itu, syafaat juga menjadi faktor penting dalam mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan hakiki manusia. Setiap individu yang memenuhi syarat tertentu akan merasakan manfaat dari syafaat ini.
*Disarikan dari buku Horison Manusia – Dr. Mahmud Rajabi