Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Faktor Penyebab Guncangnya Jiwa

Adakalanya guncangan jiwa dan rasa gelisah timbul akibat keadaan yang dialami di masa lalu. Pada umumnya, hal itu berkaitan dengan berbagai kekeliruan yang dilakukan pada masa silam. Akan tetapi, dengan mengingat serta menyebut nama Allah yang Mahapengasih lagi Mahapemurah, keadaan jiwa semacam itu niscaya akan berubah. Dari serba gelisah menjadi penuh dengan ketenangan. Sebabnya, Dia Maha Mengampuni berbagai kekeliruan dan perbuatan dosa, serta Mahapenerima tobat.

Guncangan jiwa serta kegelisahan bersumber dari rasa terasing (kesendirian). Dalam hal ini, keimanan kepada Allah yang Maha Ada dan Maha Menyaksikan, akan mengubah semua itu menjadi penuh ketenangan dan ketenteraman. Adakalanya guncangan jiwa terjadi akibat adanya anggapan bahwa kehidupan tidak memiliki arti apa-apa serta nihil dari tujuan. Akan tetapi, dengan keimanan kepada Allah yang Mahabijaksana, yang telah menciptakan segala sesuatu di jagat alam ini berdasarkan kebijakan dan masing-masingnya memiliki tujuan, kadar, dan masa yang telah diperhitungkan secara cermat dan rinci, berbagai bentuk guncangan jiwa semacam itu niscaya akan lenyap.

Baca: Peran Agama dalam Mengatasi Krisis Kejiwaan Manusia

Rasa gelisah dan guncangan jiwa tersebut muncul dikarenakan seseorang tidak berhasil menyenangkan semua orang. Ia merasa sedih, “Mengapa si fulan atau golongan fulan merasa kecewa kepadaku?” Akan tetapi, sesuai dengan prinsip keimanan bahwa kita hanya diharuskan untuk membuat Allah rela dan senang, di mana keagungan serta kehinaan hanya berada dalam genggaman-Nya, seluruh kegelisahan dan guncangan tersebut niscaya akan pudar.

Berkenaan dengan itu, Alquran mengatakan: “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah, hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra’d: 28). Semua itu merupakan kenyataan yang tak bisa dipungkiri.

Seseorang yang tidak beriman kepada Pencipta alam, Tuhan yang Mahabijaksana, pada dasarnya:

  1. Tidak memiliki prinsip dan tujuan hidup. Baginya, kehidupan hanyalah ditujukan untuk meraih kebahagiaan yang bersifat material. Keberadaan orang semacam ini tak ubahnya seekor hewan.
  2. Setiap aktivitas yang dilakukannya diyakini bersifat paksaan belaka (baik oleh masyarakat maupun kasta).
  3. Rumah masa depannya adalah kebinasaan. Sebabnya, ia tidak meyakini adanya kehidupan paska kematian serta adanya kekekalan ruh.
  4. Para pembimbingnya terdiri dari orang-orang zalim. Selain itu, ia tunduk di bawah kemauan hawa nafsu.
  5. Ruang kehidupannya (dikarenakan tidak meyakini adanya wahyu dan keberadaan para nabi yang maksum) sarat dengan berbagai keragu-raguan, keterbatasan, kekurangan, dan kekeliruan.
  6. Mengalami kebingungan yang luar biasa dalam upayanya memahami eksistensi alam ini. la sama sekali tidak mengetahui, kenapa dirinya terlahir ke alam ini? Mengapa kemudian setelah itu dirinya pergi entah ke mana? Dan apa sebenarnya tujuan kehidupan ini?
  7. Seluruh pikirannya hanya bertumpu pada, “Bagaimanakah cara meraih kehidupan duniawi yang lebih baik.” Bukannya pada, “Apakah tujuan kehidupan ini?”

Baca: Bersama Mufasir Perempuan; bagaimana Menyerap Ilmu jadi Cahaya Jiwa?

Ya, demikianlah sejumlah karakter khas dari seseorang yang nihil dari Pandangan Dunia Ilahiah dan akidah Islam. Dengan membandingkan wajah orang beriman kepada Allah dengan wajah orang tidak beriman kepada Allah, dapat diketahui dengan jelas fungsi penting dari sebuah keimanan.

*Dikutip dari buku karya Ayatullah Muhsin Qiraati – Membangun Agama


No comments

LEAVE A COMMENT