Dalam terminologi fikih, fatwa didefinisikan sebagai penginferensian dan penjelasan hukum fikih oleh seorang mujtahid yang didasarkan pada sumber-sumber hukum Islam. Singkat kata, ketika seorang ulama menginferensikan hukum agama dengan berbekal pengetahuan agama yang dimilikinya, pekerjaannya itu disebut sebagai ijtihad, dan statement yang keluar dari proses ijtihad tersebut adalah fatwa.
Urgensi fatwa dan proses ijtihad hukum itu sendiri akan sangat terasa dengan berputarnya roda kehidupan dan perpindahan tatanan hidup dari waktu ke waktu. Bayangkan, seandainya agama Islam tidak mempersenjatai pemeluknya dengan ijtihad, dapat dipastikan akal-pikiran hanya akan bersandar di pinggir-pinggir zona kehidupan ini.
Baca: “Bagaimana Keluarga Mempengaruhi Kehidupan Manusia? (Bag 3/Tamat)“
Ijtihad dan fatwa kadang juga bisa dijadikan senjata ampuh dalam melawan arus yang memusuhi Islam. Namun para mujtahid hanya akan menggunakannya dalam keadaan terdesak saja. Sebut saja fatwa jihad, apa yang akan terjadi apabila para mujtahid memberikan fatwa jihad secara gampang dan tanpa memperhatikan situasi dan kondisi umat. Karenanya, ijtihad bukanlah pekerjaan yang bisa dan layak dilakukan oleh semua orang. Selain membutuhkan kualifikasi akademis yang tinggi juga keseimbangan dan kestabilan pikiran yang kuat.
Nah, tanpa mengulur waktu mari kita buka lembaran sejarah untuk sekedar review tentang fatwa-fatwa bersejarah dan efeknya terhadap komunitas masyarakat disekitarnya;
1) Ayatullah Mirza Syirazi; Fatwa boikot tembakau Inggris di Iran (12 sya’ban 1306/1889 M)
Setelah Nasiruddin Syah (raja / syah ke-IV Iran dalam silsilah kerajaan Qajar) melakukan tour mahal-nya ke Eropa, ekonomi kerajaan kini berhadapan dengan devisit anggaran yang luar biasa. Untuk mengantipasi hal tersebut Syah Nasiruddin mengambil kebijakan kontroversial dengan menyerahkan (baca;jual) hak penanaman, penjualan dan distribusi tembakau kepada seorang pengusaha Inggris bernama Major Talbot.
Pihak istana termasuk Sultan Nazar Muwafak Syah pun dipaksa menyetujui penjualan hak istimewa tersebut dengan bayaran 25000 lira.
Setelah kejadian itu, Sayyid Jamaluddin Assad Abadi (di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan Syekh Jamaluddin Al-Afghani) mengirimkan sepucuk surat kepada Ayatullah Mirza Syirazi seorang ulama karismatik Iran kala itu.
Baca: “Isu Melaknat Sahabat, Kenapa Mereka Tetap Membela Syiah?“
Pada tanggal 19 Zulhijjah 1308 (17 bulan setelah penandatanganan kontrak penjualan hak istimewa tembakau) Mirza Syirazi mengirimkan sepucuk telegram ke istana yang berisi ketidaksetujuannya terhadap kebijakan kerajaan dan penindasan petani tembakau tersebut.
Namun demikian, istana masih tidak mengindahkan teguran tersebut. Ayatullah Mirza Syirazi pun mengeluarkan fatwa singkat namun memberikan efek mematikan terhadap kebijakan kerajaan tersebut. Isi fatwa itu adalah demikian;
“Bismillahirrahmanirrrahim, hari ini penggunaan dan konsumsi tembakau sama hukumnya dengan berperang melawan Imam Zaman AFS”.
Setelah fatwa tersebut, seluruh lapisan masyarakat membaikot penggunaan tembakau secara missal. Toko-toko, warung, restoran dan pusat-pusat penjualan tembakau pun tidak lagi menyediakan dan menjual tembakau.
Pada tanggal 23 Jumadil awal 1309 di seluruh gang-gang dan pertokoan tersebar selebaran yang menyatakan bahwa jika sampai 48 jam ke depan penjualan hak istimewa tembakau ke pihak Inggris tidak dibatalkan, masyarakat akan bangkit untuk berjihad. Fatwa berfungsi secara efektif. Kontrak tersebut pun dibatalkan oleh istana yang menyebabkan perusahaan Inggris menderita kerugian besar-besaran kala itu.
2) Syekh Mahmud Syaltut; (Fatwa pengakuan keabsahan Mazhab Ja’fari)
Ayatullah Borujerdi melalui pendekatan dan pencerahan lintas mazhabnya telah menginspirasikan seorang mufti besar Al-Azhar kala itu Syekh Mahmud Syaltut. Setelah bertemu dengan perwakilan Ayatullah Burujurdi, Syekh Mahmud Syaltut mengeluarkan fatwa bersejarah yang berdampak pada perubahan perspektif kalangan Ahlussunah terhadap mazhab Syiah.
Syekh Mahmud Syaltut dalam fatwanya mengatakan;
“Sesungguhnya mazhab Ja’fari yang juga dikenal sebagai mazhab Syi’ah Itsna Asyariah adalah mazhab yang sah dan dibolehkan mengikutinya seperti mengikuti mazhab-mazhab Ahlussunah yang lain.”
Setelah fatwa tersebut dan pengakuan Syekh Mahmud Syaltut terhadap Mazhab Syiah Itsna Asyariah, para pentolan-petolan agama lainnya juga mengikuti jejak mufti besar al-Azhar tersebut. Sebut saja Dr. Muhammad Fahham, Ustad Afif Abdul Fatah Tabawe, Syeikh Jada Al-Hak, Syekh Abdul Halim Mahmud dan Muhammad Al-Ghazali.
3) Imam Khomeini; Fatwa hukuman mati untuk Salman Rushdie (1988 M)
Ambisius tidak selamanya berbuah manis, paling tidak itulah yang dialami si murtad, Salman Rushdie. Namun, yang membuat Salman Rusdi terkenal sebenarnya bukanlah karya abal-abalnya tersebut, melainkan kejelian seorang tokoh rohaniawan kontemporer, Imam Khomeini.
Baca: “Apa benar Syiah Mencaci Keluarga dan Sahabat Nabi saw ?“
Sebagai bentuk balas dendam berkepanjangan Inggris kepada revolusi Islam, servis rahasia negara ratu Elizabeth itu pun berhasil menemukan pion yang tepat untuk misinya. Alhasil, buku “Ayat-Ayat Setan” pun released. Di saat sebagian masih berdiam diri, Imam Khomeini mengeluarakan fatwa singkatnya, yang kemudian terbukti ampuh mengurung Salman Rushdie seumur hidup. Bahkan menyulap kehidupan penulis asal India itu bak neraka berlapis tujuh.
Fatwa singkat bersejarah itu berbunyi demikian;
Bismillahirrahmanirrahim.
Innalillahi wainnailaihi Raji’un.
Disampaikan kepada bangsa-bangsa besar di seluruh pelosok dunia bahwa penulis buku ayat-ayat setan yang mengancam wibawa Rasulullah Saw dan kitab suci Al-Qur’an, beserta para penerbitnya dijatuhi hukuman gantung.
Kami meminta kepada seluruh kaum muslimin dunia di manapun berada untuk segera menggantung/membunuh terhukum terserbut, supaya selanjutnya menjadi contoh bagi yang lain agar tidak mencoba memberanikan diri untuk menghina kesucian kaum muslimin. Barangsiapa yang meninggal dalam misi ini Insya Allah akan menjadi Syahid. Demikian juga bagi mereka yang tidak mampu menjalankan hukum tersebut, namun mengetahui keberadaan terhukum diharapkan untuk melaporkan ke anggota masyarakat yang lain untuk dihukum gantung dan mendapat hukuman sesuai perbuatannya itu. (Tertanda Ruhullah Al-Musawi Al-Khomeini)
Sejarah membuktikan, Salman Rushdie telah berubah menjadi mayat berjalan.[UAD]
Baca: “Mengapa Nama Fatimah a.s. Tidak Disebut Dalam Alquran?“