Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)

Hukum Pindah ke Negeri Non Muslim?

 

Kehidupan manusia memiliki berbagai aspek seperti ekonomi, politik dan lainnya, dan berbagai kondisi seperti, sakit, terpaksa dan sebagainya. Aspek dan kondisi ini bisa menjadi alasan dan tujuan melakukan perjalanan (safar) ke tempat yang jauh. Ke luar negeri misalnya, maka seseorang meninggalkan negeri Islaminya, hijrah ke negeri asing dalam beberapa waktu atau menetap untuk selamanya.

Safar -bukan shafar nama bulan hijriah- dalam kamus Arab sebagai kata kerja diartikan dengan “bepergian”, dan sebagai mashdar (asal kata) diartikan dengan “perjalanan”. Kamus al-Ma`ani mendefinisikannya dengan “qath’ul masâfah”, yang berarti menempuh jarak dan perjalanan.

Dalam fikih Imamiyah, safar biasanya dikaitkan dengan masalah shalat fardhu yang empat rakaat, apa harus qashar atau tamam. Juga dengan masalah puasa di bulan Ramadan, apa harus ifthâr (membatalkan puasa) atau tetap berpuasa kendati posisi mukallaf telah melewati masâfah. Safar yang memenuhi persyaratan syar`i disebut “safar syar`i”, yang melazimkan qashar shalat dan ifthâr atau membatalkan puasa, yang harus diganti di hari lain di luar Ramadan.

Salah satu dari persyaratannya ialah bukan merupakan safar yang diharamkan atau tidak bertujuan yang diharamkan, yang diistilahkan dengan safarul ma’shiyah (safar maksiat). Sebuah pertanyaan yang menarik bagi saya, terdapat di dalam kitab “Fiqhu as-Siyasah”, halaman 85: “Bepergian untuk menonton sepak bola, misalnya, atau untuk bermain dengan club sepak bola, apakah shalatnya qashar, ataukah tamam?”

Soal ini muncul mungkin si penanya melihat sepak bola merupakan permainan dan hiburan, untuk dapat menontonnya secara live, mereka rela bepergian jauh sampai ke luar negeri. Demikian halnya dengan si pemain, yang harus bersafar jauh hanya untuk sebuah kompetisi yang bersifat permainan. Mereka yang muslim, khususnya yang bermazhab Syiah Imamiyah, sebagian mereka merasa perlu mendapatkan penjelasan tentang masalah ini. Apakah safar dengan tujuan ini dibolehkan?

Ayatullah Uzhma Sayed Sistani menjawab, “Qashar.”. Artinya –yang saya pahami- bahwa safar dengan tujuan tersebut dibolehkan, maka shalat fardhu yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Seandainya jawaban beliau adalah tamâm, dipahami bahwa safar tersebut tidak memenuhi syarat syar`i atau merupakan safar maksiat, sehingga mukallaf harus tetap tamâm. Akan tetapi tidaklah demikian. Selain itu, satu poin yang mungkin dapat dipetik dari jawaban beliau yang hanya dengan satu kata, yakni “qashar”, bahwa bermain dan menonton sepak bola tidaklah dilarang oleh syariat.

Di halaman lainnya dalam kitab tersebut, soal 81, dikatakan: “Sekiranya seseorang ragu bahwa safarnya itu merupakan maksiat atau bukan, bagaimana dengan shalatnya (yakni, qashar atau tidak)?

Beliau menjelaskan: “Jika syubhat (ketidak jelasan) atau perkara yang diragukan adalah maudhu’ (subyek hukum, bahwa safar itu antara maksiat dan bukan maksiat), maka dihukumi mubah (dan shalatnya qashar,-penerj). Lain hal jika:

-Sebelum itu pada awalnya adalah haram;

-Atau terdapat unsur maudhu`i, seperti halnya kehalalan safar dengan syarat adanya izin (restu orangtua atau suami atau lainnya) tapi tak ada izin sebelum itu;

-Atau meragukan kemubahannya dari sisi diragukan tujuan safar antara haram atau tidak haram, tapi asal di dalam tujuan adalah haram.

Terkadang, hal tersebut bahkan dinilai sangat baik apabila tujuannya adalah amar ma`ruf nahi munkar dan menegakkan syariat agama. Tetapi, terkadang juga bisa haram jika meniscayakan ta’arrub ba’dal hijrah. Maksud dari istilah ini ialah berpindah dari negeri yang di dalamnya; 1-Seseorang dapat mempelajari ilmu agama dan hukum syar`i yang ia perlukan, 2-dapat melaksanakan apa yang diwajibkan dan meninggalkan apa yang dilarang oleh syariat Islam; ke negeri yang di dalamnya ia tidak dapat memenuhi semua atau sebagian hal tersebut.

Diharamkan pula jika perpindahan tersebut menyebabkan penurunan keagamaan dan penyepelean syariat Nabi saw. Kecuali, kondisi darurat mengharuskan seorang muslim hijrah ke negeri non Islam, dengan pengetahuan bahwa hijrahnya ini berakibat penurunan keagamaannya, seperti untuk menyelamatkan diri dari kematian atau karena urusan-urusan lainnya yang urgen. Maka boleh baginya bepergian safar pada saat itu dalam batas tak lebih dari kondisi darurat.

Tidak masalah ia menetap di negeri asing atau Eropa dengan tetap berkomitmen pada agamanya, tidak mengganggu pelaksanaan kewajiban-kewajiban syar`i, dan tidak mengantarkan diri, keluarga dan anak-anaknya pada bahaya penyimpangan dari jalan yang lurus.

Adapun jika ia berserta keluarganya tidak merasa aman dalam mematuhi agama atau khawatir akan melalaikan kewajiban-kewajibannya lantaran menetap di negeri asing (non muslim), maka ia wajib kembali ke negerinya yang tidak menyebabkannya mengabaikan syariat Islam.

Haram hukumnya, bepergian ke negeri non muslim baik dengan tujuan tour, berniaga, bersekolah, berdomisili dan lain sebagainya, di manapun baik timur maupun barat, jika safarnya mengakibatkan penurunan atau lemahnya spiritualitas dan semangat ketaatan agama.

 

Referensi:

-Fiqhul Hadhârah

 

 

(Ustadz Ilyas)

 

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT