Di antara keistimewaan Para Imam Ahlulbait a.s. adalah keluasan dan kelengkapan ilmu pengetahuannya. Imam mengetahui semua ilmu dan makrifat serta hukum dan undang-undang agama yang diturunkan melalui wahyu kepada Nabi Saw bagi kebahagiaan dunia dan akhirat manusia.
Ilmu Imam dari Perspektif Akal
Sebelumnya dalam filsafat mengenai pentingnya wujud imam, telah dijelaskan bahwa hukum dan undang-undang agama yang diturunkan ke Rasulullah Saw tidaklah dikhususkan bagi era yang pendek dari risalah beliau, melainkan diturunkan untuk selamanya dan bagi segenap manusia sepanjang zaman. Oleh sebab itulah, di masa ketiadaan rasul, wujud imam suci diperlukan agar semua hukum dan undang-undang agama terpelihara serta mereka berupaya sungguh-sungguh untuk menyampaikannya serta mencegah penyelewengan dan bid’ah. Oleh karenanya, imam merupakan pemelihara pengetahuan dan hukum agama. Seperti ungkapan hadis, mereka adalah penyimpan ilmu kenabian dan kalau tidak seperti itu, agama tidak akan sempurna dan luthuf Ilahi akan menjadi mandul.
Baca: Rahasia atas Buah Kecintaan kepada Ahlulbait
Dari sisi lainnya, Rasulullah Saw adalah pelaksana hukum dan undang-undang sosial Islam dan dengan jalan ini, beliau mengatur negara Islam dan menyelesaikan problem masyarakat. Sepeninggal Rasulullah, tanggung jawab besar ini jatuh ke pundak imam. Dengan demikian, imam harus mengetahui semua hukum dan undang-undang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan pengadilan Islam sehingga dapat melaksanakannya. Imam harus memenuhi keperluan masyarakat dan menjawab berbagai kesulitan.
Apabila Imam tidak pandai mengenai hukum sejati Islam, hukum dan undang-undang non-Islam mungkin digunakan. Apabila demikian, pemerintahan seperti ini tidak akan menjadi pemerintahan sempurna yang dikehendaki oleh syariat. Maka, umat Islam pun akan terjauhkan dari kelebihan-kelebihan pemerintahan Islami yang adil sebagaimana yang kita saksikan sepanjang sejarah.
Dalam banyak hadis, dijelaskan bahwa ilmu yang berkaitan dengan hukum dan ketetapan agama merupakan salah satu syarat penting dan lazim yang ada dalam diri imam.
Imam Ali a.s. menegaskan: “Wahai manusia! Manusia yang paling layak untuk menjadi imam adalah orang yang memiliki kebijakan dan tadbir yang lebih kuat serta lebih mengetahui hukum Ilahi. Apabila setelah baiat, ada yang mencoba membuat makar dan fitnah, hendaknya ia disarankan untuk berpaling dari niatannya itu dan jika menolak, maka harus diperangi.” (Nahjul Balaghah, khotbah ke- 173)
Dalam sebuah hadis yang panjang, Imam Ridha mengatakan: “Sesungguhnya Allah Swt telah memberikan kepada para nabi dan imam taufik yang tidak diberikan kepada selain mereka. Kemudian ilmu mereka lebih tinggi daripada ilmu ahli zamannya. Ketika Allah Swt memilih seorang hamba untuk mengurusi urusan hamba-hamba lainnya, ia akan memberikan kelapangan dada bagi hamba tersebut dan mengalirkan mata air hikmah pada hatinya. Allah senantiasa mengilhamkan ilmu kepadanya. Maka setelah itu, ia akan selalu bisa menjawab setiap pertanyaan dan tidak bingung dalam mengatakan yang benar.” (al-Kafi, jilid 1/102)
Batasan Ilmu Imam
Kini muncul pertanyaan, apakah ilmu imam terbatas atau tidak terbatas? Apabila terbatas, apakah batasannya? Sebagai jawabannya haruslah dikatakan, memandang bahwa imam adalah seorang manusia dan mumkinul wujud (wujudnya memungkinkan) yang dalam ilmunya memerlukan ifadhoh (karunia) Ilahiah, sudah barang tentu ia terbatas. Adapun mengenai batasannya harus dikatakan dengan menimbang argumentasi aqliyah dan naqliyah tentang pentingnya wujud imam dan ilmunya.
Maka, jawabannya dapat dipastikan bahwa imam harus memiliki semua ilmu dan pengetahuan agama yang diperlukan untuk memenuhi kebahagiaan duniawi dan ukhrawi manusia, yang diturunkan melalui wahyu kepada Rasulullah Saw, sehingga dapat menunaikan kewajiban-kewajiban yang diletakkan ke atas pundaknya karena sebelumnya telah dikatakan, bahwa imam adalah pelanjut program-program Rasulullah saw. Perkara penting ini baru memungkinkan apabila semua ilmu dan pengetahuan agama berada di tangannya.
Ilmu dan pengetahuan yang diperlukan imam dapat diringkas sebagai berikut.
- Hukum yang berkaitan dengan ibadah, kewajiban, dan mustahab yang niat qurbah dalam menunaikannya merupakan syarat bagi sahnya ibadah tersebut.
- Hal-hal yang diharamkan secara ta’abbuddiyah seperti haramnya minuman keras, haramnya memakan daging binatang yang belum disembelih secara syariat, haramnya memakan daging binatang yang memakan daging haram, dan haramnya makan najis. Semua itu merupakan syariat Islam yang harus diterima secara ta’abbudi.
- Hal-hal najis seperti kencing, kotoran manusia, binatang pemakan daging, darah manusia, binatang yang memiliki darah memuncrat, mani, dan najis-najis lainnya juga hal-hal yang menyucikan serta cara menyucikan. Perkara-perkara seperti ini merupakan syariat Islam yang diterima secara ta’abbudi.
- Perkara sosial seperti berbagai jenis transaksi, warisan, wasiat, nikah, perceraian dan urusan-urusan lainnya yang ada di masyarakat. Hukum seperti ini ada di tengah masyarakat dan syar’i (penetap syariat) suci Islam memiliki andil dalam mengkonfirmasi, menolak, atau mentasyri hukum yang terkait itu.
- Hukum dan undang-undang yang berkaitan dengan pemerintahan dan pengelolaan negara seperti hukum pengadilan dan penyelesaian perselisihan, sanksi terhadap para agresor, qishosh dan hudud, diyat dan ta’zir (cambuk), jihad dan pembelaan diri, khumus dan zakat, serta rampasan perang dan urusan-urusan lainnya.
- Ushul dan akidah serta furu’ seperti pengenalan Allah, ma’ad, nubuwwah, dan imamah.
- Akhlak (etika): akhlak mulia dan akhlak tercela.
Persoalan seperti ini memiliki peran dalam menjamin kebahagiaan duniawi dan ukhrawi manusia. Maka, harus dikatakan bahwa Rasulullah saw mengetahuinya dari Allah Swt dan ditugaskan untuk menyampaikannya kepada manusia. Dalam kondisi seperti ini, harus dikatakan, bahwa imam dan pengganti Rasulullah saw mengetahuinya agar dapat mengambil alih tanggung jawab Rasulullah di masa ketiadaan beliau dan melanjutkan agama.
Baca: Hubungan Alquran dan Ahlulbait Nabi Saw
Dalam kaitan dengan berbagai pandangan yang dikemukakan para imam suci mengenai berbagai fakultas ilmu pengetahuan lainnya, yang terdapat dalam kitab hadis dan dinisbahkan kepada para imam suci, kita tidak bisa mencukupi hanya dengan adanya satu atau beberapa hadis dan kemudian kita menisbahkannya kepada para mubalig suci itu, melainkan satu persatu dari segi sanad dan teks hadis itu memerlukan pengkajian dan pembahasan. Alhasil, di mana pun kita menemukan dalil yang pasti akan kesahihannya, maka ia diterima dan dinisbahkan kepada imam. Namun, dalam keadaan yang meragukan atau bahkan madznun (prasangka buruk), hanya terdapat sebuah kemungkinan.
*Dikutip dari buku Para Pemimpin Teladan – Ayatullah Ibrahim Amini