Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Akibat yang Disebabkan Nafsu Amarah

Banyak rahasia dahsyat pada manusia yang dilengkapi dua kekuatan besar, yaitu akal dan kemauan. Akal adalah cahaya yang menentukan nasib jiwa dalam kehidupan ini. Akal dipandang sebagai wakil kepribadian manusia yang sesungguhnya; akal adalah sinar terang yang menerangi lembaran-lembaran kehidupan. Tanpa tuntunan dan pengawasan akal, kita tak dapat maju di jalan-jalan kehidupan yang semakin rumit. Manusia dituntut untuk berusaha mengendalikan berbagai perasaan yang ada dalam dirinya, mencegahnya dari berlebih-lebihan, tetapi tidak meremehkannya.

Akal adalah kekuatan yang memperagakan kepada kita metode rasional tentang penerapan perasaan yang sehat, dan mencegah hawa nafsu mendurhakai perintah-perintah-Nya. Apabila cahaya akal bersinar di cakrawala perasaan maka cahaya kebahagiaan akan menerangi langit kehidupan kita. Sebaliknya, apabila kita diperbudak oleh hasrat keinginan dan tertawan oleh hawa nafsu maka kita akan menjadi lemah dan mengalami kekalahan di seluruh jalan kehidupan.

Sementara kemarahan adalah perwujudan dari kepribadian tak imbang. Ketika seseorang kehilangan kontrol atas akalnya, ia juga kehilangan kontrol atas kemauannya dan atas dirinya. Orang yang tidak diatur oleh akalnya bukan saja kehilangan peran sebagai unsur produktif dalam kehidupan, tetapi juga menjadi anggota masyarakat yang berbahaya. Kemarahan membuat manusia menjadi seperti sungai kecil yang mengalir di antara gunung-gunung besar sambil mengeluarkan bunyi gemuruh. Manusia mulia, yang berbudi luhur, ibarat sungai yang mengalir di antara rawa-rawa dan masuk ke laut tanpa menimbulkan gejolak.

Baca: 10 Jalan Menuju Surga

Diperlukan kemauan yang kuat untuk mencegah sifat kasar menguasai jiwa; apabila tidak demikian maka sifat itu akan memaksa individu membuat keputusan tergesa-gesa di saat pedih atau dalam keadaan tertekan, dan dengan demikian mengantarkannya kepada nasib yang tak semestinya.

Marah adalah suatu keadaan psikologis yang menyimpangkan watak seseorang dari jalan yang alami. Ketika mengontrol dan mengepung manusia, marah mengambil bentuk sombong dan menyingkirkan hambatan yang mencegahnya memasuki wilayah kemauan. Lalu ia merangsang yang bersangkutan untuk merugikan lawannya tanpa pertimbangan. Tirai kemarahan membutakan pikiran dan dapat mengubah manusia menjadi hewan yang tidak menyadari realitas. Ini memungkinkan dia melakukan kejahatan yang membawa akibat buruk dalam kehidupannya. Apabila ia menyadari kesalahannya, biasanya itu setelah ia menghadapi akibat-akibat yang tak diharapkan dan terjerumus ke dalam lubang kesengsaraan.

Perangai buruk ini hanya menimbulkan kesedihan, karena puncaknya tidak akan menurun sebelum tersalurkan dan mengubah perbuatan-perbuatan hina yang bersangkutan menjadi kobaran kemarahan, sehingga menyebabkan terlepasnya kendali penilaian akal dan hilangnya kesadaran. Tapi, marah sebetulnya diperlukan bila dalam proporsinya yang benar. Dalam proporsi itu, marah merupakan suatu unsur kekuatan dan keberanian. Jenis kemarahan yang memungkinkan manusia melawan penindasan dan membela hak-haknya adalah suatu sifat manusiawi.

Apabila kita berniat membalas kejahatan dengan kejahatan dalam segala hal dan membalas dendam kepada musuh dengan mengucapkan kata-kata menghina yang tak semestinya, kita akan menghabiskan bagian terbesar kehidupan kita dalam perbantahan dan pertentangan. Lagi pula, kita akan kehilangan daya kemauan dan menanggung aibnya kelemahan.

Penyembuhan yang paling efektif terhadap marah ialah mengikuti ajaran-ajaran Nabi Saw dan Para Imam a.s. Mereka telah mengarahkan kita melalui kata-kata arif mereka, kepada akibat berbahaya dari sikap marah dan keuntungan fantastis dari penekanan terhadapnya.

Rasulullah Saw menganjurkan: “Karena itu, apabila seseorang di antara kamu mendapatkan sebagian dari [kemarahan] ini dalam dirinya, bila ia sedang berdiri, hendaklah ia duduk; apabila ia sedang duduk, hendaklah ia berbaring. Apabila ia masih marah juga, hendaklah ia berwudu dengan air dingin atau mandi, karena api hanya dapat dipadamkan dengan air.” (Ihya’ al-‘Ulum, 2/151).

Marah mengandung efek-efek berbahaya pada kesehatan seseorang. Berdasar penelitian ilmiah yang disampaikan oleh para pakar kesehatan, marah ternyata dapat menimbulkan kematian mendadak apabila mencapai tingkat tertentu. Jauh sebelum ini pun Imam Ali a.s. telah berkata: “Orang yang tak menahan diri dari marah, mempercepat kematiannya.” (Ghurar al-Hikam, hal. 625).

Lebih lanjut Imam Ali mengatakan: “Hindarilah kemarahan, karena permulaannya memalukan dan akhirnya menyedihkan.”

“Marah adalah api yang berkobar; orang yang menekannya berarti memadamkan api, dan orang yang mengumbarnya adalah yang pertama terbakar di dalamnya.” (Ghurar al-Hikam, hal. 71).

Amirul Mukminin a.s. menganjurkan kesabaran sebagai senjata untuk melawan kemarahan dan menghindari akibat-akibatnya yang merugikan. “… dan persenjatai dirimu dengan kesabaran untuk melawannya.” (Ghurar al-Hikam, hal. 131).

Beliau berpesan untuk selalu mawas diri dari kemarahan: “Mawas diri pada saat marah menyelamatkanmu dari kepedihan.” (Ghurar al-Hikam, h. 462).

Imam Jakfar Shadiq a.s. mengatakan: “Jauhilah kemarahan, karena ia menimbulkan penyesalan.”

Lebih lanjut Imam Jakfar Shadiq berkata: “Kemarahan adalah pemusnahan hati si arif: orang yang tak dapat menguasai marahnya tak akan dapat menguasai pikirannya.” (Ushul al-Kafi, 2/305).

Diriwayatkan bahwa seorang lelaki dari Suriah melihat Imam Hasan sambil menunggang seekor kuda, lalu menghinanya. Imam Hasan tidak menjawabnya. Ketika orang Suriah itu berhenti, Imam Hasan menghampirinya. Setelah menghormatinya dengan ceria, Imam berkata:

“Orang tua, saya rasa Anda orang asing. Mungkin Anda mengira saya orang lain. Apabila Anda minta maaf, permintaan itu dikabulkan. Apabila Anda meminta sarana angkutan, akan kami sediakan untuk Anda. Apabila Anda lapar, kami akan memberi Anda makanan. Apabila Anda memerlukan pakaian, kami akan memberi Anda pakaian. Apabila Anda sedang dikejar-kejar, kami akan memberikan perlindungan kepada Anda. Apabila Anda memerlukan sesuatu, kami akan memenuhinya. Dan apabila Anda hendak meneruskan perjalanan bersama kafilah Anda, jadilah tamu kami sampai Anda meninggalkan kami. Itu lebih bermanfaat bagi Anda, karena kami mempunyai kedudukan yang baik, martabat yang agung, dan harta yang banyak.”

Baca: Sabda Rasulullah Saw yang Menjelaskan 103 Sifat Orang Mukmin

Mendengar kata-kata Imam Hasan itu, lelaki itu berseru: “Saya bersaksi bahwa Anda adalah khalifah Allah di bumi-Nya. Allah pasti mengetahui kepada siapa Dia mengamanatkan risalah­Nya. Sebelum ini, Anda dan ayah Anda adalah makhluk Allah yang paling saya benci, tetapi sekarang Anda adalah makhluk yang paling saya cintai.”

Orang itu kemudian mengarahkan kafilahnya dan menjadi tamu mereka di kota itu sampai ia berangkat dengan keyakinan akan cinta mereka. (al-Manaqib, 4/49).

*Disarikan dari buku Menumpas Penyakit Hati – Ayatullah Mujtaba Musawi Lari


No comments

LEAVE A COMMENT