Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Intoleransi Ala Eropa Doeloe

Setiap orang memiliki keyakinan, yang terkadang beda dengan keyakinan orang lain. Terlepas beda atau sama keyakinan, sejatinya dia memiliki ikhtiar di dalam berkeyakinan di antara sekian banyak kepercayaan, atau untuk menjadi seorang pluralis yang membenarkan semua kepercayaan yang ada.

Ketika hanya satu kepercayaan yang diyakininya, dan tidak membenarkan kepercayaan lain yang tidak diyakininya, adalah hak dia dalam berkeyakinan, sebagaimana orang lain yang beda keyakinan dengannya juga memiliki hak yang sama. Kendati demikian, tidak niscaya keduanya atau salah satu dari keduanya dibenarkan mengganggu dan merampas hak orang lain.

Beda keyakinan tidak meniscayakan lenyap kemungkinan untuk hidup rukun dalam satu masyarakat, atau silaturahim antar sesama manusia menjadi mustahil dilakukan, atau melakukan interaksi, transaksi dan lain sebagainya di antara mereka menjadi hal yang terlarang. Sebaliknya, perseteruan tak jarang terjadi di antara mereka yang seagama dan se-kepercayaan.

Sikap Islam dan Dunia terhadap Orang yang Beda Keyakinan

intoleransi ala eropa doeloeKeyakinan seseorang, sekalipun didasari atas taqlid kepada yang lain, dalam agama Islam khususnya, di satu sisi ia mendapat kritikan dari Alquran bahwa sekiranya para pendahulu menjerumuskan dia ke dalam jurang, apakah dia tetap berpegang teguh pada kepercayaan mereka? Tetapi di sisi lain, Alquran pun mengatakan: “Tiada paksaan di dalam agama.”

Sebagaimana diakui pula oleh seluruh bangsa dunia, bahwa setiap manusia di atas bumi termasuk di tanah air kita yang tercinta, khususnya sebagai warga negara yang ber-bhineka tunggal ika dalam NKRI ini, bebas-bebas saja meyakini apa yang dia percayai dan menjalankan apa yang didasari atas keyakinannya itu. Hal ini berarti, tiada alasan yang dibenarkan bagi pemaksaan keyakinan orang lain. (Baca: Agama dan Pemerintahan-1)

Agama Islam, pun jauh-jauh telah mengambil sikap terhadap setiap orang non muslim setelah diserukan kepadanya agama yang benar tapi ia menolaknya, pada ujungnya agama ilahi ini mengatakan: “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”

Demikianlah yang berlaku menurut agama Islam dan dunia kini, di zaman modern ini yang berciri khas memaklumi hak manusia terhadap suatu keyakinan untuk diterima atau ditolak, lalu diungkapkan atau tidak olehnya. Syekh Ibrahim Amini dalam bukunya “Azadi, Aql wa Iman”, mengatakan: “Akidah dan kemazhaban di mata dunia masa kini di luar wilayah intervensi kenegaraan.”

Intoleransi Ala Eropa Doeloe

Namun realitas yang terlihat oleh mata kasat ini, tak sedikit kasus yang keluar dari konsep hak asasi manusia, khususnya terkait dengan hak berkeyakinan itu. Fenomena dari kelompok Islam intoleran di masa kini, mengulang apa yang tersimpan di dalam sejarah masyarakat dunia pra abad belakangan. Ialah tentang berbagai makar dan pembelengguan hak dan kebebasan tersebut. (Baca: Perpecahan di Tengah Umat Islam; Sebuah Telaah)

Disampaikan oleh Syekh Ibrahim Amini, bahwa di Eropa masa dahulu banyak tragedi atas nama agama yang bersumber dari dalam gereja. Beliau contohkan, sebuah kasus pembakaran enamribu jiwa yang disesatkan, melalui keputusan T.Camara, ketua pengadilan bagian penyelidikan keakidahan, Spanyol, yang mendapat penghargaan keuskupan.

Pengkafiran dan menghukum kelompok yang mempublikasi terjemahan kitab suci, dilakukan secara intensif oleh gereja. Mulanya gereja berkeinginan mengatasi apa yang terjadi di matanya merupakan penyimpangan. Namun kemudian cenderung pada harta benda dan bertindak fudhul terhadap orang-orang yang kontra dengannya.

Pada tahun 1229 M, sebuah ketetapan dalam otoritas “kiyai” katolik (priest), tiap komisi -yang terdiri dari seorang priest dan dua atau tiga orang non rohaniawan- harus melaporkan kepada uskup, mana saja tempat yang tersembunyi (dicurigai) dan siapa saja penentang gereja.

Terjadi sepuluh tahun kemudian, pengadilan bagian penyelidikan keakidahan mengukum limapuluh orang yang disesatkan, dengan cara dibakar atau dikubur hidup-hidup. Tak puas dengan hal demikian, didirikan juga pengadilan khusus terkait dengan orang-orang mati yang dicurigai sesat. Jasad-jasad yang telah terkubur ini mereka keluarkan untuk dibakar, kemudian diletakkan di dalam sebuah keranjang yang digantung di kota, guna menjadi peringatan bagi masyarakat. (Baca: Demi Pengabdian kepada Islam)

Gereja Versus Keilmuan

Tak hanya berkaitan dengan keagamaan, gereja melakukan berbagai penindasan yang membuat masyarakat semakin berat untuk percaya pada agama, bahkan terhadap keilmuan. Seperti pada abad keenambelas dan ketujuhbelas masehi, para ilmuwan menghadapi berbagai tekanan darinya. Sebagai dampaknya, pada abad-abad berikutnya mewabah di permukaan hal berpaling dari keagamaan dan kecenderungan pada materialisme.

Dalam catatan sejarah, seorang filosof besar Italia dihukum mati dengan cara dibakar. Lama kemudian setelah peristiwa tragis yang terjadi pada tiga-empat abad yang lalu itu, astronom dan fisikawan Italia yang sangat populer, Galileo, dihukumi murtad dan mulhid oleh uskup Romawi. Pasalnya, ia membatilkan pandangan Arestoteles terkait dengan Bima Sakti.

Buffon, seorang saintis Perancis dipaksa meninggalkan keyakinan yang dicapainya bahwa gunung dan lembah di bumi tidaklah qadîm (yakni, tidak ada sebelum penciptaan alam). Ia pun dipaksa untuk anti terhadap keyakinannya itu. (Baca: Mengapa Agama Dijauhi?)

Ilmu pengetahuan yang dicapai dan ditemukan oleh para pecinta ilmu, seakan menjadi penghalang jalan gereja dan merupakan kekuatan yang membahayakan eksistensinya, sehingga pihak gereja harus memberi hukuman bagi para ilmuwan masa itu. Dalam sekian masa, para pemuka agama berdiri melawan keyakinan yang tak sepaham dengan mereka, dan anti kebebasan beryakinan.

Gereja Kontra Kebebasan Berkeyakinan

Pada tahun 1789, revolusi Perancis secara resmi mendeklarasikan kebebasan berkeyakinan. Deklarasi ini menegaskan kebebasan beragama, yang merupakan hak asasi manusia sedunia termasuk bagi warga Perancis. Kebebasan ini kemudian dipandang negatif oleh Pope Paul VI dalam pidatonya pada 10 Maret 1791, yang mengatakan bahwa kebebasan berkeyakinan adalah horor.

Satu sikap dengan Pope Gregory XVI, pada tahun 1832 dia pun menentang kebebasan beragama. Disusul kemudian oleh seorang kardinal pada tahun 1853, yang mengungkapkan kekecewaannya kepada Napoleon III, bahwa “Negara Anda yang terinsprirasi dari deklarasi hak asasi manusia, adalah menolak sama sekali hak-hak Tuhan.”

Namun pada akhirnya, gereja pasrah. Pada tahun 1963, Jhon Paul XXVI, secara resmi mengungkap bahwa dirinya menerima hak asasi itu. Organisasi Rohaniawan Vatikan pun mengakui perkara ini dengan menyatakan: “Manusia mempunyai hak kebebasan berkeyakinan.. Dalam keagamaan, tak seorangpun boleh melakukan pemaksaan (terhadap orang lain) atau pencekalan..”[*]

 

Baca Juga: Unsur “Pro Keadilan dan Kontra Kezaliman” VS Nasionalisme Barat

 

No comments

LEAVE A COMMENT