Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Jadi Syiah? Kenali dan Laksanakan Taklifmu..!

Oleh: Dr. Muhsin Labib, MA

Pengikut mazhab ini sedikit bukan karena dibenci para pemegang status quo dan kuasa kultural atas umat juga bukan dalil-dalil kebenarannya tidak banyak dan tidak kuat tapi mungkin karena konsekuensinya sangat berat bila dianut. Bahkan sebagian yang merasa sebagai penganutnya pun enggan menerima konsekuensi praktisnya. Mungkin salah satu indikatornya adalah lemahnya respon terhadap tema taklif dan besarnya antusiasme terhadap tema-tema lain yang tak memantulkan konsekuensi praktis seperti mistisme, doa, sejarah dan lainnya.

Mencintai Nabi berarti mematuhinya. Mematuhinya berarti mematuhi para imam yang ditegaskan oleh Nabi sebagai pelanjutnya yang bertugas mengawal agama juga sumber hukum agama.

Mematuhi para imam berarti merujuk kepada faqih yang ditetapkan kriteria-kriterianya oleh imam sebagai pemegang otoritas keagamaan dengan ijtihad dalam semua bidang hukum ibadah dan muamalah.

Baca: Ekstremisme dalam Syiah

Merujuk berarti menjadikan faqih atau mujtahid sebagai referensi hukum agama dalam melaksanakan taklif.

Taklif adalah tanggungjawab melaksanakan hukum agama dalam segala ibadah dan muamalah.

Pemikul tanggungjawabnya adalah mukallaf, yaitu setiap individu mukmin yang memenuhi syarat balig dan berakal sehat.

Perlu diperhatikan perempuan bila mencapai usia 9 tahun atau mengalamai haid menjadi mukallafah. Pria bila mencapai usia 14 tahun atau mengalami mimpi janabah atau mengalami perubahan hormonal secara otomatis menjadi mukallaf.

Tidak diterima alasan tidak mengerti atau tidak diberitahu karena mukallaf wajib memastikan hukum setiap tindakannya dalam ibadah dan muamalah. Dipastikan berdosa dengan segala konsekuensi fikihnya bila mukallaf mengabaikan taklif yang dipikulnya. Individu mukallaf tidak berhak mengandalkan individu mukallaf lain untuk memberitahunya. Mukallaf awam tidak berkewajiban memberitahu mukallaf awam lainnya tentang taklifnya. Karenanya, mengenali taklif personal dan melaksanakannya lebih penting dari aktivitas apapun.

Ketentuan ini berlaku permanen atas siapapun kecuali yang tidak dewasa dan tidak sehat mental.

Mukkallaf mesti melaksanakan ajaran hukum agama dengan salah satu dari dua cara; berijtihad bagi kalangan khawas alias mujtahid dan bertaqlid bagi kalangan awam alias selain mujtahid, termasuk yang digelari ustadz dalam komunitas.

Mukallaf yang memiilih taqlid sebagai sumber dan cara melaksanakan taklif disebut muqallid. Sedangkan mukallaf yang memilih ijtihad sebagai sumber dan cara melaksanakan taklif disebut mujtahid. Mujtahid yang dijadikan sebagai rujukan disebut dengan muqallad atau marja’ taqlid.

Muqallid memikul sejumlah tanggungjawab. Salah satunya adalah melakukan istifta’, yaitu mengajukan soal fatwa dengan sarana apapun kepada marja’ melalui komunikasi langsung, bertanya kepada seseorang yang dipastikan jujur dan memahami fatwa marja yang ditaqlid, atau merujuk ke buku pedoman praktis (risalah amaliyah) yang berisikan kumpulan fatwa-fatwa dari marja’nya.

Muqallid tidak merujuk kepada teks ayat dan hadis dalam masalah fikih, juga tidak merujuk kepada individu non mujtahid yang merujuk langsung ke dua sumber utama fikih. Mengutip sebuah teks sebagai dasar hukum tanpa kompetensi yang diakui sebagai mujtahid merupakan pelanggaran serius dalam fikih Ahlulbait.

Tanggungjawab kedua mukallaf awam adalah melakukan identifikasi terhadap subjek hukum atau kasus spesifik. Dengan kata lain, fatwa hanyalah hukum yang bersifat umum. (Ketika marja’, misalnya, berfatwa bahwa diharamkan makan ikan tidak bersisik, maka muqallid bertanggungjawab untuk melakukan verifikasi dan identifikasi apakah ikan gurame yang di depan mejanya bersisik ataukah tidak.

Baca: Rasionalisme Mazhab Syiah

Tanggungjawab ketiga mukallaf awam adalah menyerahkan dana-dana syar’i (al-huquq asy-syar’iyah), seperti khumus dan madhalim kepada marja’ yang ditaqlid selaku wakil imam maksum atau pemegang lisensi, dan izin pengelolaan dan penggunaannya sebagai wakil (perwakilan) marja’.

Singkatnya, kesyiahan formal seseorang tidak ditentukan oleh kehadiran dalam acara-acara keagamaan, pertemanan di media sosial dengan orang yang bermazhab Syiah, bergaul dengan komunitas, menyebarkan tulisan berkonten mazhab Syiah, narasi sejarah Syiah, atau mengutip hadis tentang keutamaan Ahlulbait dan sebagainya yang semuanya adalah perbuatan baik, tapi ditentukan oleh kesadaran terhadap taklif individualnya sebagai muqallid awam dalam seluruh aktivitas hidupnya. Setelah mengenali itu, ia mesti mengenali taklif komunalnya sebagai salah satu individu dalam komunitas mukallaf lalu melaksanakannya sesuai kemampuan dan perannya. Itulah parameter konkret kesyiahan.

No comments

LEAVE A COMMENT