Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Jauhi Ta’tsim, Hindari Berburuk Sangka

Ta’tsim adalah salah satu kata yang muncul dalam Al-Quran (lihat Al-Waqi’ah: 25). Dikatakan bahwa penduduk surga tak akan lagi mendapati laghwan dan juga  ta’tsim. Dalam bahasa Arab, ta’tsim  bermakna perkataan yang bermuatan stigma dosa kepada orang orang lain, atau bisa juga kepada diri sendiri. Jika masih bingung dengan makna kata ta’tsim ini, begini penjelasannya.

Bayangkan orang-orang yang memiliki interaksi dengan Anda dalam kehidupan sehari-hari, baik interaksi yang bersifat aktif (saling berkomunikasi) atau tidak aktif, di mana Anda hanya mengamati dan bisa memberikan komentar. Bayangkanlah suami/istri, anak-anak, saudara, tetangga, teman kerja, dll. Bayangkan juga para politisi, konglomerat, artis, olahragawan, dan siapa saja yang menarik perhatian Anda.

Menurut Anda, apakah di antara mereka itu ada yang berbuat dosa? Jawabannya, pasti “ya”. Pastilah ada saja di antara mereka yang melakukan dosa. Saat Anda membayangkan politisi yang sekarang dipenjara, Anda membayangkan dosa korupsi yang sudah ia lakukan. Ada teroris, bandar narkoba, atau preman, yang memberikan ancaman kepada masyarakat masyarakat. Saat membayangkan tetangga, mungkin Anda menemukan ada tetangga yang membuang sampah sembarangan, membakar sampah hingga asapnya masuk rumah, memarkir mobil di jalanan hingga menghalangi jalanan, dan lain sebagainya. (Baca: Ada Bidadari Surga Di Rumahku)

Lalu, Anda bisa membayangkan orang-orang di rumah. Anda pasti pernah meyakini bahwa orang-orang terdekat kita itu melakukan dosa. Anda pernah (atau sampai saat ini masih) meyakini bahwa suami/istri Anda melakukan dosa kepada Anda. Anda juga melihat anak Anda melakukan dosa.

Terakhir, perhatikan diri Anda sendiri. Anda juga pasti pernah mendapati dan menyadari dosa-dosa yang pernah (atau mungkin sampai saat ini masih terus) Anda lakukan. Anda bisa mengingat salat-salat yang Anda lalaikan. Anda mungkin juga pernah bersikap sombong, merasa iri, menggibah, berbohong, dan lain sebagainya.

Kenapa orang-orang di sekitar Anda dan juga diri Anda sendiri melakukan dosa? Karena kita semua bukanlah makhluk yang suci dan sempurna. Manusia adalah tempat munculnya kesalahan dan lupa. Jadi, sangat wajar jika selama kita di dunia ini, kita selalu saja mendapati adanya kesalahan berkategori dosa yang dilakukan oleh orang lain atau oleh diri kita sendiri.

Ketika kita mengungkapkan adanya dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia itu, ungkapan itulah yang disebut dengan ta’tsim. Contoh kalimat ta’tsim di antaranya adalah: “Saya melakukan kesalahan fatal”, “Politisi fulan mencuri uang rakyat”, “Anakku kecanduan miras”, “Tetanggaku menipu aku”, dan lain-lain. Jadi, ta’tsim adalah ekspresi atas persepsi kita terkait dengan adanya dosa dan kesalahan, baik yang dilakukan orang lain atau diri kita sendiri. (Baca: Bagaimana AlQuran Mengajarkan Manajemen Stres? – Bagian 1)

Masalahnya, ta’tsim itu bisa benar, tapi bisa juga salah. Maksudnya, kita bisa saja menganggap ada dosa yang muncul, tapi sebenarnya itu bukan perbuatan dosa. Kita bisa meyakini bahwa suami/istri melakukan dosa, padahal sebenarnya tidak. Kita bisa ber-su’uzhzhan dengan tetangga kita, padahal dia sebenarnya orang yang baik. Bahkan kita bisa saja berpikiran negatif terhadap diri kita, padahal sebenarnya kita baik-baik saja.

Terlepas dari benar atau tidaknya dugaan kita, ta’tsim pastilah memiliki efek negatif bagi jiwa kita. Makin banyak ta’tsim, makin tidak bahagia kita. Bayangkan, bagaimana sangat menderitanya kalau kita melihat bahwa di sekeliling kita banyak terjadi dosa yang dilakukan tiap saat. Sebaliknya, semakin sedikit kita melihat dosa dan keburukan yang muncul, semakin bahagia hidup kita.

Di dalam surga nanti, para penduduk surga dipastikan tak akan pernah lagi menjumpai yang namanya dosa dan kesalahan. Tak akan ada pembicaraan mengenai keburukan di sekeliling. Yang ada adalah pembicaraan yang baik, positif, sejuk, dan memberikan kedamaian.

Ketika kita ingin menciptakan suasana surgawi di dalam rumah dan keluarga kita, salah satu kuncinya adalah menghilangkan atau paling tidak, meminimalisir ta’tsim di tengah-tengah keluarga kita. Dan karena ta’tsim itu kebanyakan berupa dugaan dosa atau kesalahan yang dilakukan oleh orang lain, kita harus berusaha keras untuk mengedepankan pikiran yang positif terkait dengan perilaku orang lain, khususnya mereka yang tinggal serumah dengan kita, yaitu keluarga kita. (os/safinah-online)

Baca: “Arus Globalisasi dan Krisis Keluarga di Indonesia (1)

 

No comments

LEAVE A COMMENT