Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Kemutlakan Wahyu dan Kenisbian Persepsi

Oleh: Dr. Muhsin Labib

Sebagian umat Islam meyakini kesucian para manusia terpilih sebagai pengawal “Islam Wahyu”. Mereka sekaligus memandu umat dengan “Islam Wahyu” alias “Islam di sisi Allah” yang berbeda dengan “Islam produk tafsiran”, “Islam hasil persepsi”, “Islam bentukan sejarah”, atau “Islam versi Umat”.

Jelas, dikarenakan tidak bertugas mengawal “Islam wahyu”, tidak pula mendapatkan mandat untuk memandu umat (karena akan menghasilkan paradoks serta lingkaran setan “saling memandu” di antara sesama mereka yang perlu dipandu sekaligus memandu), maka umat pun tidak memerlukan kesucian.

Bila setiap individu dalam tubuh umat itu suci dan Islam yang dipahaminya berupa “Islam Wahyu”, niscaya akan percuma nabi diutus sebagai penerima dan penyampai “Islam Wahyu”. Selain itu, akan sia-sia pula fungsi nabi sebagai “pemandu umat menuju Islam Wahyu”. Nah, jika kenabian itu percuma, maka runtuhlah alasan bijak menciptakan hewan berakal budi bernama manusia.

Baca: Urgensi Wahyu dalam Kehidupan Manusia

Lantaran umat tidak bertugas mengawal “Islam Wahyu” juga tidak diberi mandat untuk memandu umat (memandu dirinya sendiri) semestinya setiap individu di sekujur tubuh umat menyadari keislamannya lebih dari sekadar produk penafsiran agar dapat saling menghargai Islam hasil persepsi dan preferensi masing-masing memang selama muatannya koheren dan adukuat dengan teks “Islam Wahyu”.

Adapun sebagian umat Islam yang tidak meyakini kesucian Nabi (sebagai penerima dan penyampai “Islam Wahyu” yang tentunya menolak kesucian para manusia pilihan pasca kenabian, memberikan hak khusus musyarri’ kepada pada para individu (yang tak punya jaminan kesucian dari Tuhan itu) berupa ” ‘Adalatus-Shahabah” (kredibilitas para sahabat) yang esensi dan terapannya tak berbeda dengan eksistensi kesucian para imam dari Ahlulbait.

Kepercayaan ini dilestarikan sebagai dasar bagi penetapan sumber hukum agama berupa sunnah kedua, atau disebut “Sunnah Shahabah“. Seiring perjalanan waktu, semua itu dibakukan sebagai konsep hukum yang dikembangkan sedemikian rupa. Darinya kemudian lahirlah “Sunnah Tabi’in” hingga sunah-sunah generasi berikutnya secara bersinambung.

Pada akhirnya, seluruh referensi keagamaan itu diringkas dalam istilah sakral, “Assalaf” yang secara kolektif dipredikasi sebagai sumber hukum setelah Al-Quran dan Sunnah Nabi. Tujuan konsep “Ishmah” dalam pandangan Syiah dan konsep “Adalah” dalam pandangan Sunni sebenarnya adalah mengantisipasi:

  1. Terjadinya chaos dalam bidang jurisprudensi akibat hilangnya asas otoritas.
  2. Kemunculan kelompok ketiga yang tak mengakui “Ishmah” versi Syiah dan “Adalah versi Sunni, namun dengan jumawa berfantasi lalu mengklaim sedang menganut “Islam Allah” dan “Islam Wahyu” hanya bermodalkan letterlijk teks suci seolah dapat bocoran dari langit yang sebenarnya mustahil memasuki benaknya tanpa campur tangan persepsinya sendiri (sehingga, Islamnya tidak akan semurni yang dia bayangkan, kalau bukan malah sekeruh yang dia pahami).

Kelompok ketiga ini menganggap umat yang menggusung “Ishmah” sebagai sesat , kafir juga bukan Islam dan mencap umat yang menyokong “Adalah” sebagai pelaku bid’ah dan syirik.

Baca: Syarat Tunggal Mematuhi Nabi SAW

Dengan demikian, menjadi benderang bagi siapapun yang berpikiran terbuka bahwa;

  • A. Mayoritas umat Islam (mestinya) menyadari bahwa agama Islam yang di-imaninya merupakan produk persepsi dan penafsiran, yaitu “Islam Tafsiran”;
  • B. Sebagian besar umat (Sunni dan Syiah) menyadari bahwa “Islam Wahyu” sendiri berada di sisi Allah yang disampaikan kepada Nabi saw;
  • C. Umat Syiah meyakini “Islam Wahyu” sebagai ajaran utuh yang dititipkan kepada manusia-manusia ber-“Ishmah” demi mengawalnya dan memandu umat hingga akhir zaman. Sedangkan umat Sunni menetapkan seluruh sahabat Nabi sebagai manusia-manusia ber-“Adalah” yang menjadi representasi “Islam Wahyu” dan sumber hukum agama;
  • D. Mayoritas umat Islam, (baik Syiah yang memegang prinsip “Ishmah Ahlulbait” maupun Sunni yang mempertahankan prinsip “Adalah Shahabah” (mestinya) saling menghargai perbedaan pandangan karena yang mereka yakini adalah “Islam persepsi”, bukan “Islam Wahyu”;
  • E. Ekstremisme, radikalisme, juga terorisme berakar pada intoleransi yang hanya tumbuh pada diri individu yang menganggap “Islam persepsi” yang dijejalkan ke benaknya sebagai “Islam Wahyu”. Ini berpotensi menjangkiti sesiapapun dan apapun mazhabnya.

Seyogyanya disadari oleh setiap orang yang berakal sehat bahwa pemahaman umat terhadap wahyu tentu tidak paralel dengan pemahaman Nabi terhadap wahyu (bahkan, sebagaimana ditegaskan ayat suci Al-Quran, semua perkataan beliau sendiri adalah wahyu). Jika paralel, apalagi identik, pertanyaannya adalah, apa alasan pengutusannya?

Orang pandir gusar karena banyaknya orang yang tak (atau menolak) sepaham dengannya telah menggoyahkan keyakinannya. Untuk itu, ia pun melancarkan pre-empitive strike alias menyerang lebih dulu lewat modus menyesat-sesatkan dan mengafir-kafirkan siapa saja yang tak sepaham dengannya.

Logika Rubuhkan Dogma

Kembali ke-soal wahyu. Pada dirinya, wahyu yang diterima Nabi mutlak benar. Lain hal dengan wahyu yang dibaca dan dipahami manusia biasa seperti kita. Membaca dan memahami wahyu sudah menafsir itu sendiri. Dan dikarenakan kebenaran hasil penafsiran tidaklah mutlak, maka logika pun wajib dijadikan tolok ukur.

Fakta seputar adanya relativitas pemahaman manusia itulah yang meniscayakan kesucian agama melalui wahyu yang diterima manusia suci atau “tidak biasa” agar statusnya tetap mutlak. Di sini, konsep kenabian, manusia suci, dan insan kamil justru mengkonfirmasi kenisbian pemahaman manusia rata-rata, bukan sebaliknya.

Baca: Islam Agama Logika dan Argumentasi

Menolak teori kesucian dengan alasan ketidaksempurnaan seluruh manusia sama saja dengan memutlakkan pemahaman yang relatif sekaligus menihilkan kenabian, karena pemahaman manusia biasa atau manusia rata-rata, tidaklah mutlak, tak sempurna, dan tidak suci. Perlu ada ajaran yang tidak relatif, sempurna, dan suci. Inilah keniscayaan terhadap adanya insan suci. Lagi pula, andai tak ada manusia sempurna, maka tak ada individu yang menjadi prototipe definitif manusia. Falasi ini bersumber dari kerancuan memahami makna “kesempurnaan mutlak” bagi Tuhan dan “kesempurnaan nisbi” bagi manusia (nabi dan wali).

Bila penerima ajaran yang suci, mutlak, dan sempurna (agama wahyu) itu adalah manusia rata-rata yang tak suci dan tak sempurna, maka signifikansi kesucian wahyu dan kemutlakannya otomatis lenyap.

Namun anehnya, kebanyakan manusia cenderung hanya memilih salah satu dari dua sikap ekstrem; 1) Merelatifkan semua ajaran agama, termasuk yang diterima Nabi; 2) Memutlakkan agama (wahyu) yang diterima Nabi sekaligus mengabsolutkan salah satu versi tafsir (mazhab). Inilah biang keladi dari seluruh rangkaian aksi kekerasan dan tindak intoleransi.

Baca: Hubungan Sains dan Agama

Merelatifkan persepsi agama (mazhab) tidak berarti menolak kemutlakan agama atau bertendensi liberal. Sikap ini malah merupakan upaya yang semestinya untuk mempertahankan posisi agama pada tempatnya.

Namun yang “kebacut” adalah orang yang mengklaim sedang mengimani kesucian Nabi dan para washi sebagai representasi absolutisme agama lalu menolak kenisbian kalangan selain Nabi sebagai penerima wahyu, juga selain para imam yang bertindak sebagai pengawal wahyu atau risalah. Tanpa disadarinya, anggapan konyol itu justru menggugurkan eksklusivisme kesucian (kemutlakan).

Jika ada yang kaget, bahkan takut saat disodorkan fakta seputar kenisbian keyakinan konseptualnya, maka ia sebenarnya telah gagal memahami bahwa kemutlakan dan kenisbian mengungkap gradualitas kebenaran, alias tidak selalu vis-a-vis dalam dikotomi dialektis.

Baca: Membangun Prinsip

Lebih kebacut lagi pengusung kemutlakan persepsi ini berlagak “grosir pede” meneriaki para pengiman harmoni kemutlakan (kesucian, kemaksuman) dan kenisbian sebagai sesat dan aneka semburan stigma negatif lainnya padahal justru mereka sedang menyelenggarakan komedi pseudo logika.

No comments

LEAVE A COMMENT