Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Kesempurnaan Pengetahuan Imam tentang Ilmu-ilmu Pengetahuan Islam (Bagian 2)

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. berkata: “Tunjukkan orang yang bertakwa sebagai penguasa kalian dan ikutilah imam kalian, karena masyarakat yang jujur dan adil akan meraih keselamatannya dengan mengikuti imam yang adil. Dan masyarakat yang korup dan selalu berbuat dosa akan hancur dengan mengikuti pemimpin yang tidak bertakwa dan selalu berbuat dosa.” (Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, jil. 7)

Hadis ini memperjelas hubungan langsung antara karakteristik moral seorang imam di satu sisi dan nasib terakhir masyarakat yang ia pimpin di sisi lain; Imam yang adil adalah penjamin keselamatan rakyat dan pemimpin yang jahat akan menghukum pengikutnya dengan kesengsaraan. Begitupun dengan para Imam setelah Imam Ali, di antara mereka banyak melakukan perdebatan dengan para teolog agama lain untuk memberikan pencerahan, dan ketika menjawab dalam hal apapun tak pernah di antara para Imam yang menjawab “Aku tidak tahu”.

Salah seorang pendeta Kristen, yang dikenal dengan nama Burayd, suatu kali pergi untuk menyaksikan Imam ash-Shadiq a.s, dengan ditemani Hisyam bin Hakam. Di tengah perjalanan mereka berjumpa Imam Musa bin Ja’far a.s. yang bertanya kepada Burayd, sejauh mana ia memahami kitab sucinya. Burayd menjawab bahwa tak seorang pun yang menyamainya dalam hal penguasaan Perjanjian Lama.

Baca: Kesempurnaan Pengetahuan Imam tentang Ilmu-ilmu Pengetahuan Islam (Bagian 1)

Imam bertanya kepadanya: “Apakah ia bisa dipercaya memiliki ke­mampuan dalam menafsirkan kitab suci itu.” la menjawab: “Bahwa ia memiliki keyakinan penuh akan pemahaman dan pengetahuan­nya sendiri.”

Kemudian Imam Musa al-Kazim a.s. membaca Perjanjian Lama. Burayd sangat tertegun dan benar-benar terbawa oleh bacaannya. Ia berkata: “Sudah lima puluh tahun aku mencari orang seperti Anda.” Ia pun memeluk Islam, bersama seorang wanita yang menemaninya. Kemudian Hisyam, Burayd, dan wanita itu datang ke hadapan Imam ash-Shadiq as. Kemudian Hisyam melaporkan apa yang telah terjadi saat mereka di tengah jalan. Imam Ja’far as­-Shadiq a.s. kemudian membaca ayat Alquran sebagaimana diuraikan oleh Imam Musa al-Kazim: “Sebagai satu keturunan yang sebagiannya [keturunan] dari yang lain. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.[QS. Ali Imran: 34]

Burayd bertanya kepada Imam Ja’far ash-Shadiq: “Bagaimana ia memahami kitab Taurat, Perjanjian Lama, dan kitab lain yang diturunkan kepada para nabi?

Imam menjawab: “Ini adalah pengetahuan yang kita warisi. Kita membaca dan melafalkan masing-masing kitab itu tak berbeda dengan para pemeluknya dan orang-orang yang beriman. Tuhan tidak meletakkan di bumi suatu hujah yang harus berkata dalam menjawab persoalan, ‘Aku tidak tahu.’” (Al-Kulaini, al-Kafi, jil. 1, hal. 225)

Baca: Keluasan Ilmu dan Pengetahuan Imam Ja’far Shadiq a.s.

An-Naufali berkata: “Setelah mengirim undangan kepada Imam Ridha a.s., Makmun, salah seorang khalifah Abbasiyah me­ngirim undangan kepada para pemuka berbagai agama untuk meng­hadiri sebuah pertemuan yang diselenggarakannya antara lain: kepala pendeta Kristen, Rabi Yahudi, pemimpin Penyembah bintang, pe­mimpin orang yang tidak memeluk agama apa pun, Hakim agama Zoroaster, Fisikawan Yunani dan para teolog Muslim, semuanya para pakar dalam bidang teologi. Makmun kemudian mengirim pesan kepada imam untuk berpartisipasi dalam diskusi yang diikuti oleh para pemuka agama ini jika ia merasa tertarik. Imam setuju untuk hadir dan kemudian bertanya kepadaku apa maksud Makmun menyelenggarakan pertemuan seperti itu.”

An-Naufali menjawab bahwa al-Makmun hendak mengujinya dan mempelajari keluasan pengetahuannya. Ia kemudian bertanya kepada Naufali apakah dia perlu takut kepada keunggulan-keung­gulan mereka sehingga ia kalah dalam perdebatan itu. Dan Naufali menjawab tidak perlu takut atas situasi itu, ia percaya bahwa Tuhan akan mengizinkan dia untuk mengalahkan mereka semua. Kemudian Imam berkata: “Apakah kamu ingin tahu ketika Khalifah Makmun akan menarik inisiatifnya?” Dia menjawab, “Ya.”

“Ketika aku berdebat melawan para pengikut kitab Taurat dengan mengutip Taurat, melawan para pengikut kitab Perjanjian Lama dengan mengutip kitab Perjanjian Lama, melawan para pengikut Sabean de­ngan menggunakan lidah Yahudi mereka, melawan para pengikut Zoroaster dengan menggunakan lidah Syria mereka, melawan para pengikut Agama Yunani dengan menggunakan lidah Yunani mereka, dan melawan para teolog Arab dengan menggunakan logika mereka; ketika aku mengalahkan mereka semua dengan bukti dan argumenku sehingga mereka meninggalkan agamanya dan menerima kebenaran apa yang aku katakan kemudian al-Makmun akan memahami kursi kekuasaan yang ia duduki bukan sepenuhnya menjadi haknya,” ungkap Naufali. (Al-Kulaini, al-Kafi, Vol. l, hal. 225)

Hari berikutnya, pertemuan itu diselenggarakan pada waktu yang telah ditentukan. Rabi Yahudi berkata: “Kami sama sekali tidak menerima argumen anda kecuali berasal dari Taurat, Perjanjian Lama, Psalms (kitab suci Nabi Daud), atau lembaran-lembaran yang diturunkan kepada nabi Ibrahim.”

Imam menerima syarat ini, dan berusaha untuk membuktikan dengan argumen yang sangat jelas, bahwa Nabi saw adalah penutup para nabi. Argumen yang ia kemukakan begitu meyakinkan dan tidak bisa dibantah sehingga tidak ada keraguan apapun pada diri sese­orang. Rabi kemudian secara langsung mengakui kebenaran kata­-kata Imam dan akhirnya memeluk Islam.

Baca: Orang Berilmu yang Mendustakan Agama

Kemudian Imam a.s. melakukan perdebatan yang sama dengan ilmu­wan-ilmuwan dari agama lain, dan ketika mereka sudah kehabisan argumen, ia kemudian berkata: “Jika salah seorang di antara kalian masih memendam persoalan, maka jangan ragu untuk menanya­kannya.”

Imran bin Sabean, dan seorang teolog yang tak ada tandingan­nya berkata: “Aku telah berada di Basrah, Kufah, Damaskus, dan Jazirah dan berdiskusi dengan semua teolog kawasan itu, namun tak satupun dari mereka yang mampu meyakinkan aku tentang keesaan Tuhan.”

Kemudian Imam a.s. menjelaskan detail bukti-bukti keesaan Tuhan, dengan cara sebagaimana yang diriwayatkan dalam Kitab at-Tauhid karya as-Saduq. Argumen Imam yang dasarnya sangat sempurna bisa meyakinkan Imran dan dia berkata: “Aku bersaksi bahwa Tuhan adalah Esa sebagaimana anda tunjukkan dan bahwa Muhammad adalah hamba-Nya yang diutus oleh­-Nya untuk membimbing manusia.” Kemudian ia menghadap ke kiblat, sujud dan masuk Islam.

*Dikutip dari buku karya Sayyid Mujtaba Musawi Lari – Imam Penerus Nabi Muhammad saw


No comments

LEAVE A COMMENT