Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Kultur Perayaan Idul Ghadir

Di tempat-tempat komunitas Syiah berada, baik itu Syiah Imamiyah, Zaidiyah, ataupun Ismailiyyah, Idul Ghadir dirayakan secara semarak. Mereka menghias jalanan, berkeliling kota memakai mobil, melakukan bakti sosial, serta memberikan makanan/minuman gratis kepada orang-orang di jalanan. Masjid dan juga majelis-majelis taklim juga mengadakan acara perayaan dan pengajian khusus. Pengajiannya seperti pengajian-pengajian yang biasa diadakan oleh sebagaian masyarakat Indonesia di saat merayakan Maulid Nabi atau Rajaban. Di sana ada ceramah, pembacaan qasidah, pembagian hadiah (biasanya juga menjelang Idul Ghadir itu, diadakan perlombaan: MTQ, hafalan Quran, kaligrafi, dll.
Banyak juga pernikahan yang digelar di hari tersebut. Katanya, untuk mendapatkan keberkahan.

Jadi, secara umum, perayaan Idul Ghadir itu sangat mirip dengan perayaan Muludan di Indenesia. Hanya saja, tema perayaannya adalah memperingati peristiwa Ghadir Khum yang dipercaya oleh Syiah sebagai hari ketika Ali dilantik menjadi Imam.

Yang sangat khas dari Idul Ghadir adalah adanya pembagian ‘angpau’ uang kertas baru oleh habaib (keturunan Rasulullah, dan berarti keturunan Fathimah dan Ali). Di Arab, habib itu disebut sayyid. Jamak dari sayyid adalah saadah. Sehingga, Idul Ghadir Khum juga dikenal dengan nama Idus-Saadah.

Nilai Baik dan Buruk Idul Ghadir

Karena secara kultural perayaan Ghadir itu sangat mirip dengan muludan, sisi baik dan buruk perayaan itu juga bisa dibandingkan dengan sisi baik dan buruk perayaan muludan. Bagi yang anti muludan, perayaan muludan itu buruk. Tapi, bagi yg pro, muludan punya banyak sisi positif.

Tentu saja ada perbedaan dari sisi temanya. Sunni yang tidak memaknai peristiwa di Ghadir Khum sebagai peristiwa yang istimewa, tentu akan merasa aneh dengan adanya perayaan tersebut. Karenanya, walaupun dia pendukung muludan, bisa dipastikan dia bukan pendukung Idul Ghadir. Tentu di sini masalahnya ada pengakuan atau penolakan atas peristiwa sejarah, bukan pada prinsip perayaan atas peristiwa sejarah.

Jadi, baik dan buruknya Idul Ghadir itu sangat bergantung kepada perspektif seseorang atas dua hal: pertama terkait dengan penerimaan/penolakan atas peristiwa Idul Ghadir (masalah historis), dan kedua, terkait dengan boleh atau tidaknya (baik atau buruknya) merayakan peristiwa sejarah dalam Islam.

Maka, muncullah tiga kelompok:

  1. NU dan kelompok pendukung Muludan. Mereka menolak perayaan Idul Ghadir dan menganggapnya sebagai hal yang buruk, karena bagi mereka, Idul Ghadir bukan hari raya yang layak diperingati.
  2. Kelompok Muhammadiyah, Persis, dll. Yg selama ini dikenal sebagai pengkritik muludan. Kelompok ini, selain menganggap buruk perayaan Al-Ghadir dari sisi penerimaan sejarahnya, juga mengkritik keras perayaan karena bagi kelompok ini, berbagai macam perayaan atas peristiwa sejarah itu cenderung menjadi bentuk bid’ah yang sesat.
  3. Adapun orang Syiah, tentu mereka menganggap Idul Ghadir sebagai hal yang bisa diterima. Pertama, mereka mengakui peristiwanya. Kedua, bagi mereka memperingati peristiwa bukan bid’ah.

Itulah barangkali sekilas tentang Idul Ghadir. Pembahasan yang lebih mendalam tentu memerlukan riset yang lebih teliti. Juga terkait dengan: apakah perayaan ini dilakukan juga oleh sebagian orang Indonesia? Apakah secara tradisional ada perayaan Idul Ghadir di Indonesia (seperti peringatan Asyura yang ternyata secara tradisional dilakukan oleh sebagian ummat Islam Indonesia)?

[*]

Baca: Syiah adalah Pembunuh Al-Husain a.s. (Desas-desus Sejarah)

Written by
No comments

LEAVE A COMMENT