Semua muslimin sepakat akan keutamaan Ali bin Abi Thalib as. Lembar-lembar kitab hadis referensi kaum muslimin memuat banyak riwayat tentang keutamaannya. Salah satunya adalah riwayat yang menjadikan kecintaan terhadap Ali as sebagai tolok ukur iman, dan kebencian terhadapnya sebagai barometer kemunafikan. Dalam hadis ini, Nabi saw bersabda,”Wahai Ali, tiada yang mencintaimu kecuali orang mukmin, dan tidak ada yang membencimu kecuali orang munafik.”[1]
Mungkin timbul pertanyaan, kenapa cinta kepada Ali as yang menjadi barometer iman? Kenapa, misalnya, barometernya bukan cinta terhadap Nabi saw? Apakah ini berarti, wal ‘iyadzu billah, Ali as lebih utama dari Nabi saw? Untuk menjawab pertanyaan ini, kami sampaikan sebuah mukadimah terlebih dahulu.
Dalam ilmu mantiq (logika), ketika kita hendak mendefinisikan sesuatu, maka definisi itu harus menyebut jins dan fashl sesuatu yang akan didefinisikan. Misal, definisi manusia adalah “hewan yang berpikir.” Kata “hewan” adalah jins untuk manusia, yang menjelaskan bahwa dia juga sama-sama hewan seperti kuda, singa, dan selainnya. Sedangkan kata “yang berpikir” adalah fashl yang berfungsi untuk membedakan manusia dari sesama hewan, sebab hanya manusia hewan yang bisa berpikir. (Baca: Kisah Dua Sahabat)
Kembali kepada hadis di atas, kami katakan bahwa tiap orang yang mengikuti syariat Rasulullah saw adalah muslim, sebab dia bersaksi akan kenabian beliau. Hadis ini bertujuan untuk membedakan antara muslim yang mukmin dan muslim yang munafik. Sebab itu, kecintaan terhadap Rasulullah saw tidak dijadikan barometer, karena tiap muslim pasti mengaku mencintai beliau. Maka, agar seorang muslim yang mukmin bisa dikenali dan dibedakan dari muslim biasa, Rasulullah saw menyebutkan barometernya, yaitu kecintaan terhadap Ali bin Abi Thalib as. Tanpanya, berarti dia masih muslim dan belum menjadi mukmin.
Oleh karena itu, Rasulullah saw dalam banyak kesempatan telah menekankan cinta terhadap Ali as kepada umatnya. Ketika Rasulullah saw memerintahkan muslimin untuk mencintai Ali as, beliau juga tak lupa menyebutkan keutamaan-keutamaannya, seperti bahwa kebenaran selalu mengiringi Ali[2], atau bahwa dia tak akan berpisah dari Alquran[3]. Dengan demikian, muslimin tahu bahwa Ali as memang layak untuk dicintai.
Konsekuensi Mencintai Ali
Cinta itu butuh pengorbanan. Demikian ungkapan yang sering kita dengar. Ketika seseorang mencintai sesuatu atau seseorang, dia rela melakukan hal-hal yang mungkin tak pernah terlintas di benaknya. Dia bersedia melewati rintangan apa pun demi yang dicintainya. Acap kali kita melihat orang yang sedang mabuk oleh suatu gejolak emosional, yang oleh kebanyakan orang disebut ‘cinta,’ melakukan hal-hal yang sebenarnya tak ia sukai. (Baca: Kisah-kisah Nabi Muhammad saw.: Akhlak Nabi Di Masa Kecil -Bag. 1)
Jika ‘cinta’ yang seperti ini saja menuntut pengorbanan, apalagi cinta terhadap sesuatu atau seseorang yang sangat agung. Sudah tentu cinta agung semacam ini menuntut lebih banyak pengorbanan. Salah satunya adalah cinta kita terhadap Ali as (dan Ahlulbait as).
Dalam sejumlah riwayat, para pecinta Ali as dan Ahlulbait as telah ‘diperingatkan.’ Mereka disadarkan bahwa mereka akan dihadang berbagai macam ujian dan musibah.
Ketika seseorang menemui Imam Baqir as dan menyatakan cintanya kepada Ahlulbait as, beliau berkata,”Kalau begitu, jadikan ujian dan bala sebagai pakaianmu. Demi Allah, ujian mendatangi kami dan para pengikut kami lebih cepat daripada banjir yang menuruni lembah. Ujian diawali dengan kami, kemudian kalian. Kebahagiaan pun akan berawal dengan kami, baru kalian.”[4]
Ucapan Imam Baqir as telah terbukti benar. Sepanjang sejarah, kita melihat para pecinta Ali as dan Ahlulbait as yang diperlakukan semena-mena. Sejarah mencatat tragedi-tragedi memilukan orang-orang yang hati mereka diisi cinta kepada Ali as dan keluarganya. (Baca: Ingin Bahagia? Bahagiakanlah Orang Lain)
Oleh karena itu, setiap pecinta Ali as harus menempa dirinya dan bersiap mengarungi samudera ujian. Bahkan, ia harus menjadi lebih kukuh dari gunung. Sebab, gunung pun tak kuasa bertahan andai ia mencintai Ali as. Imam Ali as pernah berkata:
لُو أحبنی جبل لتهافت
“Andai gunung mencintaiku, niscaya ia akan runtuh.”[5]
Ini adalah ungkapan metaforis yang menggambarkan betapa berat ujian yang menanti kita selaku para pecinta Ali as. Jika kita bisa melalui semua ujian ini, maka, insya Allah, kita akan memperoleh ‘imbalan’ dari beliau. Kita akan diiringi Imam Ali as melewati tiga saat yang sangat menentukan.
Harits Hamadani meriwayatkan,”Aku menemui Amirul Mukminin as di suatu pertengahan siang. Ia bertanya,’Apa yang membawamu kemari?’ Aku menjawab,’Cintaku kepadamu, demi Allah.’ (Baca: Kata “Maaf”, Kunci Kemuliaan)
Ia lalu berkata,’Jika engkau jujur dalam klaimmu, kau akan melihatku di tiga tempat: di saat kematian, saat melewati shirath, dan saat kau ada dalam telaga.’”[6]
Semoga kita dijadikan Allah termasuk dari orang-orang beruntung ini, ilahi amin. (BT)
[*]
Referensi:
[1] Kanz al-‘Ummal no hadis 32878.
[2] Muntakhab Mizan al-Hikmah hadis no 424.
[3] Ibid, hadis no 426.
[4] Muntakhab Mizan al-Hikmah hadis no 1359.
[5] Shamime Velayat dar Atsare Ayatollah Javadi Amoli.
[6] Muntakhab Mizan al-Hikmah hadis no 1355.
_
Baca: Persalinan Agung