Mengenai pentingnya muhasabah atau introspeksi juga ada beberapa hadis dari para insan maksum as antara lain sebagai berikut;
1, Imam Ali Zainal al-Abidin al-Sajjad as berkata;
ابن آدم! إنّك لا تزال بخير ما كان لك واعظ من نفسك، وما كانت المحاسبة من همّك، وما كان الخوف لك شعاراً، والحزن لك دثاراً، ابن آدم! إنّك ميت ومبعوث وموقوف بين يدي الله فأعدّ جواباً.
“Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu akan senantiasa baik selagi kami memiliki penasehat dari dirimu, selagi muhasabah merupakan sesuatu yang penting bagimu, selagi rasa takut (khauf) menjadi pakaian lapis bawah (syi’ar) bagimu dan kesedihan (huzn) menjadi pakaian lapis atas (ditsar) bagimu. Wahai anak Adam, sesungguh kamu akan mati, dibangkitkan, dan dihentikan di hadapan Allah, maka siapkanlah jawaban.”[1] (Baca sebelumnya: Muhasabah 1)
“Syi’ar” dan “ditsar” masing-masing ditafsirkan sebagai pakaian lapis bawah dan pakaian lapis atas. Karena itu ada kemungkinan bahwa versi yang lebih sahih untuk penggalan kalimat dalam perkataan Imam al-Assajjad as ini ialah;
وما كان الخوف لك شعاراً، والحذر لك دثاراً.
“Selagi rasa takut menjadi syi’ar bagimu, dan kewaspadaan (hadzar) menjadi menjadi ditsar bagimu.” [2]
- Diriwayatkan dari Ibrahim bin Umar al-Yamani bahwa Abu al-Hasan al-Madhi[3] as berkata;
ليس منّا من لم يحاسب نفسه في كلّ يوم، فإن عمل حسناً استزاد الله، وإن عمل سيّئاً استغفر الله منه وتاب إليه.
“Bukanlah golongan kami orang yang tidak bermuhasabah atas dirinya setiap hari, karena (orang yang bermuhasabah) jika berbuat baik maka dia memohon tambahan kepada Allah, sedangkan jika dia berbuat buruk maka dia memohon ampunan dan bertaubat kepadaNya.”[4]
- Rasulullah saw bersabda kepada Abu Dzar ra;
يا أبا ذرّ حاسب نفسك قبل أن تحاسَب، فإنّه أهون لحسابك غداً، وزِن نفسك قبل أن توزن، وتجهّز للعرض الأكبر يوم تعرض لا تخفى على الله خافية… يا أبا ذرّ لا يكون الرجل من المتّقين حتّى يحاسب نفسه أشدّ من محاسبة الشريك لشريكه، فيعلم من أين مطعمه، ومن أين مشربه، ومن أين ملبسه، أمن حلال أم من حرام؟ يا أبا ذرّ من لم يبال من أين اكتسب المال لم يبال الله من أين أدخله النار.
“Wahai Abu Dzar, lakukan muhasabah atas dirimu sebelum kelak kamu diperhitungkan, sesungguhnya itu akan membuat perhitungan atasmu kelak lebih ringan. Timbanglah dirimu sebelum kelak kamu ditimbang, dan persiapkanlah dirimu untuk pengungkapan terbesar, yaitu pada hari (amal perbuatan) diungkap dan tak ada suatu apapun tersebunyi bagi Allah…
“Wahai Abu Dzar, seseorang tidak akan tergolong orang-orang yang bertakwa sebelum dia memperhitungkan dirinya secara lebih ketat daripada perhitungan seorang mitra terhadap rekannya. Maka hendaklah dia mengetahui dari mana makanan, minuman, dan pakaiannya; apakah dari yang halal ataukan dari yang haram? Wahai Abu Dzar, barangsiapa tidak peduli darimana dia memperoleh harta maka Allah tidak akan peduli dari mana Dia akan memasukkannya ke neraka.” [5]
Hadis ini memerintahkan tiga hal; bermuhasabah sebelum dihisab atau diperhitungkan kelak; menimbang (muwazanah) diri sebelum ditimbang; dan mempersiapkan diri untuk penyingkapan amal perbuatan pada hari di mana segala amal perbuatan akan terungkap. Tiga perkara ini walaupun saling berkaitan tapi juga memiliki perbedaan satu sama lain. (Baca: Nusaibah, Pahlawan Perempuan di Perang Uhud)
Muhasabah ialah mengevaluasi segala perbuatan yang telah dilakukan untuk mengetahui baik dan buruknya. Sedangkan muwazanah ialah menimbang antara apa yang sudah dicapai diri selama ini di satu sisi dan target yang mesti dicapai di sisi lain agar dapat melihat sejauhmana kekurangan yang ada. Sedang persiapan diri untuk menyongsong hari penyingkapan akbar ialah upaya mengejar apa yang tertinggal dan menutupi segala kekurangan, dan upaya ini merupakan hasil muhasabah dan muwazanah.
Muhasabah tergolong paling sulit bagi diri, dan faktor kesulitannya jelas, yaitu kesatuan antara subyek dan obyek evaluasi. Menilai orang lain bukanlah pekerjaan yang sulit, dan ini jauh berbeda dengan pekerjaan di mana subyek dan obyek penilaian adalah satu orang yang sama. Karena itu tak banyak di antara orang-orang beriman yang berhasil melakukan muhasabah. Mereka yang berhasil itu tergolong hamba yang paling ikhlas.
(Bersambung)
[1] Al-Wasa’il, jilid 16, hal. 96, bab 96 Jihad al-Nafs, hadis 3.
[2] Bihar al-Anwar, jilid 78, hal. 137, dinukil dari Tuhaf al-Uqul.
[3] Figur yang dimaksud tampaknya adalah Imam Musa bin Jakfar al-Kadhim as.
[4] Al-Wasa’il, jilid 16, hal. 96, bab 96 Jihad al-Nafs, hadis 1.
[5] Ibid, hal. 98, hadis 7.
Baca selanjutnya: Membangun Diri Dengan Muhasabah (3)