Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Membangun Diri dengan Muhasabah (5)

Muraqabah juga dapat diartikan dengan dua tafsiran;

Pertama, pengawasan manusia terhadap dirinya, baik sebelum maupun sesudah berbuat, sebagaimana telah disebutkan pada seri artikel sebelumnya. (Baca: Muhasabah 4)

Kedua, kesadaran manusia akan keadaannya yang diawasi oleh Allah SWT, sebab Dia senantiasa mengawasi segala berbuatan dan gerak-gerik manusia, sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya;

إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً.

“Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”[1]

أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى.

Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?”[2]

Diriwayatkan bahwa kepada Abu Dzar al-Ghiffari ra Rasulullah saw bersabda;

يا أبا ذرّ اعبد الله كأنك تراه، فإن كنت لا تراه فإنّه يراك.

“Wahai Abu Dzar, beribadahlah kepada Allah seakan kamu melihatNya, jika kamu tidak melihatNya maka sesungguhnya Dia melihatmu.”[3]

Kesadaran manusia terhadap keadaannya yang selalu diawasi oleh Allah SWt ini dibagi menjadi dua jenjang;

  1. Muraqabah orang-orang yang didekatkan kepada Allah (muqarrabin), yaitu muraqabah takzim dan pengagungan di mana hati manusia harus bersabar tenggelam dalam kesadaran atas keadaannya yang mendapat pengawasan Sang Maha Agung. Manusia harus bersimpuh di hadapan wibawa Allah dalam keadaan yang tidak menyisakan ruang baginya untuk menaruh perhatian kepada selainNya. (Baca: Rahasia Di Balik Salat Awal Waktu -Bag. 1)
  2. Muraqabah orang-orang wara’ dari golongan kanan (ashab al-yamin). Mereka adalah kaum yang hatinya terdominasi oleh keyakinan terhadap pengawasan Allah atas keadaan lahir dan batin mereka, tapi tidak lantas tenggelam habis seperti pada jenjang pertama, melainkan hati mereka tetap seimbang sehingga dapat berkonsentrasi pada kegiatan sehari-hari secara normal. Hanya saja, dalam kegiatan sehari-harinya itupun mereka dapat bermuraqabah. Mereka merasa malu disaksikan oleh Allah sehingga tidak berbuat sesuatu kecuali setelah terpikirkan dengan matang kegunaan dan kebaikannya.

Dua jenjang ini dapat diketahui perbedaannya satu sama lain dengan gambaran sebagai berikut;

Dalam keadaan sepi dan sendirian bisa jadi kita merasa bebas untuk berbuat apa saja. Ketika suatu saat kita kedatangan seorang pejabat atau tokoh besar tentu kita akan sedemikian larut menghormatinya sehingga kita rela meluangkan banyak waktu dan meninggalkan apapun pekerjaan sehari-hari kita demi memberikan sambutan dan penghormatan yang terbaik untuknya.

Tapi bagaimana seandainya kita kedatangan orang biasa atau di dekat kita ada anak kecil yang mengerti baik dan buruk, misalnya? Ternyata kita juga tidak akan berlaku sembarangan seperti jika kita sendirian. Kita akan berusaha tampil baik dalam segala gerak-gerik kita, cara bediri dan duduk kita. Semua ini bukan karena kita menghormatinya seperti kita menghormati pembesar, melainkan karena kita merasa segan dan malu untuk bertingkah aneh dan menyimpang. Di hadapan orang biasa atau anak kecil ini kita tidak terpesona oleh kebesaran dan wibawanya, tapi tetap saja ada rasa malu dan segan dalam diri kita kepadanya. (Baca: Makna Azan di Mata Ahlulbait Nabi)

Sesuai gambaran ini, setidaknya kita harus waspada di depan pengawasan Allah SWT seperti kita waspada dan malu di depan orang biasa atau anak kecil tadi. Jenjang ini telah digambarkan dalam Doa Abu Hamzah al-Tsumali dengan ungkapan;

فلو اطّلع اليوم على ذنبي غيرك ما فعلته، ولو خفت تعجيل العقوبة لاجتنبته، لا لأنك أهون الناظرين إليّ وأخفّ المطّلعين عليّ، بل لأنك يا ربّ خير الساترين، وأحكم الحاكمين، واكرم الأكرمين، ستّار العيوب، غفّار الذنوب، علاّم الغيوب، تستر الذنب بكرمك، وتؤخّر العقوبة بحلمك.

“Seandainya hari ini ada selain-Mu yang mengetahui dosaku niscaya aku tidak melakukannya. Seandainya aku takut disegerakannya siksaan niscaya aku menghindarinya. Tapi ini bukan karena Engkau adalah pengawas paling remeh terhadapku, dan paling lemah pengawasannya terhadapku, melainkan karena Engkau, ya Tuhanku, adalah Hakim sebaik-baiknya, Penutup (aib) yang sebaik-baiknya,  Maha Mulia, Penyembunyi aib, Pengampun dosa, Maha Mengetahui segala yang gaib. Ungkau menutupi dosa dengan kemurahanMu, dan menunda siksaan dengan kesantunanMu.”[4]

(Bersambung)

Referensi:

[1] QS. Al-Nisa [4]; 1.

[2] QS. Al-Alaq [96]: 14.

[3] Bihar al-Anwar, jilid 77, hal. 74.

[4] Mafatih al-Jinan, Doa Abu Hamzah al-Tsumali.

 

Baca selanjutnya: Membangun Diri dengan Muhasabah (6/Selesai)

 

No comments

LEAVE A COMMENT