Keududukan tinggi Imam Husein as di dalam Islam sudah tidak perlu diragukan lagi. Beliau adalah cucunda Nabi Muhammad Saw, putra Fathimah sa. Satu dari dua penghulu pemuda surga yang disampaikan Nabi saw. Namun pertanyaannya mengapa beliau harus gugur Syahid dan tak dibela oleh Umat saat itu? Apa yang terjadi? Faktor apa saja yang melandasi terjadinya tragedi dahsyat ini?
Ada beberapa faktor yang melandasi keengganan umat membantu Imam Husein as serta keberanian mereka melawan beliau. Berikut ini empat faktor utamanya:
- Kembali kepada tradisi Jahiliah
- Harta benda serta fanatisme golongan yang dulu dominan di masa jahiliah kembali datang dan menjadi standar penilaian sosial pada masa Imam Husein as. Sehingga muncul orang-orang yang siap memenggal kepala Imam as karena tergiur oleh beberapa keping dirham dan dinar.
- Kebobrokan moral dan akhlak masyarakat saat itu. Menjamurnya tempat-tempat maksiat untuk minum-minuman keras, tari-tarian, nyanyian dan beragam kemaksiatan lain sudah bukan barang mahal lagi. Iri hati dan kebencian ala bangsa Arab Jahiliah kembali marak yang membawa malapetaka yang mengerikan sekali.
- Penyakit yang muncul dari sistem ekonomi Arab sebelum Islam kembali datang. Akibat diskriminasi dan ketidakadilan masyarakat terbagi kepada dua lapisan; lapisan konglomerat pemuja harta dan lapisan orang miskin yang terhinakan.
- Fanatisme golongan dan kesukuan yang sudah punah dari masa jahiliah kembali terlihat. Itupun berada di jantung masyarakat Islam saat itu, di mana pemegang kekuasaannya adalah Mu’awiyah dan Yazid keturunan musuh kawakan agama ini yaitu Abu Sufyan.
Begitulah kembalinya sistem dan tradisi jahiliah saat itu telah menjadi lahan subur dari perubahan dan kehancuran Islam. Hari demi hari hukum-hukum dan akidah diganti dan diubah. Kebodohan dan fanatisme jahiliah di masa Imam Husein as lebih dahsyat dan berbahaya dari sebelumnya. Oleh karena itu Imam terpaksa berupaya semaksimal mungkin untuk memberangus arca besar ini seorang diri. Dan dengan senjata kitab Allah dan sunnah nabi-Nya serta wejangan-wejangan akhirnya beliau harus bangkit melawan kejahilan baru itu.[1]
- Cinta Dunia.
Ketertarikan yang berlebih terhadap dunia dan segala kenikmatannya bisa menghilangkan ruh dan spirit pengorbanan dan keikutsertaan dalam berperang di laga kebaikan dan keburukan.
Penekanan Rasulullah saw dan para pemimpin lainnya terkait pelepasan diri dari cengkeraman dunia adalah terapi dari penyakit ini. Aba Abdillah juga menyebut manusia sebagai abdi dunia yang jika kepentingan duniawinya terancam maka agamalah yang akan menjadi tumbalnya. Beliau bersabda:
الناس عبيد الدنيا… فاذا مُحِصّوا بالبلاء قَلَّ الدّيانون
”Manusia adalah budak dunia… apabila mereka dicoba dengan ujian, maka akan sedikitlah pemeluk agama (yang sebenarnya)”.[2] Terlebih lagi jika kegilaan terhadap dunia terpuaskan melalui jalan yang haram, maka bukan hanya membuat hati tidak mampu menangkap hidayah dan kebenaran bahkan semangat beragama dan komitmennyapun akan berkurang.
Imam Husein as di hari Asyura ketika berhadapan dengan pasukan Kufah menyebut kecintaan terhadap dunia sebagai faktor keengganan mereka melakukan kebenaran dan masa bodoh mereka terhadap seruan imam. Beliau bersabda:” kalian semua telah membelot dari perintahku, kalian tidak mau menggubris ucapanku. (ini wajar) karena bonus dan hadiah kalian dari hal-hal yang haram, perut kalian sudah terisi dengan makanan haram. Maka hati kalian sudah terkunci dari penerimaan kebenaran. Celaka kalian, mengapa kalian tidak berdiam diri dan mengapa kalian tidak mendengarkan diriku”.[3]
Selain itu, kecenderungan berlebih terhadap dunia serta gila jabatan terkadang menghalangi manusia untuk membela kebenaran dan menentang kebatilan. Di dalam Ziarah Arbain tragedi Karbala diilustrasikan demikian:” mereka-mereka telah bahu-membahu untuk membunuh Imam Husein as di mana mereka telah tertipu oleh dunia dan harga diri mereka telah dijual dengan sesuatu yang tak berharga, akhirat mereka telah ditukar dengan transaksi yang murah”.[4]
- Lari dari tugas / tanggung jawab
Segala taklif dan tugas yang sudah diberikan oleh Allah untuk kaum muslimin akan selalu memberikan kemaslahatan dan menjauhkan dari kemudharatan. Jika masing-masing individu mengamalkan taklif dan tugas yang ditanggungnya dalam berbagai bidang niscaya masyarakat akan semakin suci dan menyempurna. Khususnya jika pengemban taklif dan tanggung jawab itu adalah golongan elitnya.
Imam Husein as ketika menjelaskan kelemahan dan tak bertanggung jawabnya para ulama di lingkungan penguasa, bersabda:” kalian tidak berontak saat janji ilahi telah dilanggar, justru kalian berdamai dengan para penindas dan membiarkan sia-sia posisi kalian begitu saja”.[5]
Imam Ali Khamenei ra dalam hal ini mengatakan:” kondisi di masa Imam Husein as begitu runyam di mana para elit sudah tidak mau lagi bergerak dan bertindak. Sehingga saat imam bangkit dengan segala keagungan yang beliau miliki banyak dari mereka yang tidak sudi mendukung Imam. Mereka tidak mau melakukan taklif dan tugas yang mereka pikul karena dunia, kenyamanan dan posisi mereka. Orang-orang awampun akhirnya mengikuti langkah mereka. Begitulah, pengambilan keputusan dan kepastian langkah para elit pada waktu yang tepat untuk keridoan Allah swt adalah hal yang mampu menyelamatkan sejarah”.
Pada kondisi semacam ini, pada hakikatnya lari dari taklif dan ketidakperpihakan kepada kebenaran menjadi penyebab kelestarian dan keberlangsungan kekuasaan para zalim. Imam Huusein as bersabda:” Ini merupakan sebuah pelajaran besar bahwa pecinta kebenaran jika mereka mengendorkan semangat untuk menolong kebenaran dan para pemimpin yang baik, hasilnya justru penguatan terhadap para zalim, kesuksesan para thagut, tersingkirnya kebenaran dan para pengikutnya”.[6]
- Lalai
Manusia senantiasa memerlukan pengingat dan nasehat. Lalai akan tujuan dan nilai-nilainya menjadi sebab jatuhnya mereka dalam kesengsaraan. Masyarakat di masa imam Husein as hidup sedemikian rupa di mana tujuan luhur agama dan nilai-nilai agung ajaran Islam telah mereka lupakan. Para musuh Imam memanfaatkan kelalaian dan kealpaan ini dengan baik. Imampun juga berusaha untuk merobek kelalian ini dan menggantinya dengan pemahaman dan penyadaran.[7]
[1] Jawad Sulaimani, Imam Husein as wa Jahiliyate Nu, halaman 225.
[2] Ibnu Syu’bah Harani, Tuhaful ‘Uqul, Halaman 245.
[3] Majlisi, Biharul Anwar, juz 45, halman 81.
[4] Mafatihul jinan, 468.
[5] Ibnu Syu’bah Harani, Tuhaful ‘Uqul, Halaman 239.
[6] Ibnu Syu’bah Harani, Tuhaful ‘Uqul, Halaman 239.
[7] Mausu’ah Kalimat Imam Husein as, halaman 424.