Oleh: Dr. Muhsin LAbib, MA
Haul berasal dari bahasa Arab “hawl” yang artinya adalah “tahun”. Sedangkan yang dimaksud dengan perayaan haul sebagaimana yang sering dilaksanakan oleh umat muslim Indonesia ialah acara peringatan hari ulang tahun kematian.
Di Indoensia peringatan haul selalu menjadi tradisi dan simbol relijiusitas di kalangan masyarakat santri sejak dakwah Wali Songo hingga kini. Banyak tokoh ulama dan sufi yang dianggap wali bahkan orang biasa diperingati hari wafatnya oleh cucunya dalam upacara haul.
Tapi mengapa wafat Nabi teragung justru tidak diperingati? Mengapa tidak diadakan haul beliau?
Baca: Dialog Rasulullah Saw dengan Malaikat Jibril pada Perang Uhud
Lebih penting manakah antara memperingati kelahiran atau wafat Nabi? Apakah kita hanya perlu mensyukuri kelahirannya, dan tidak mengenang detik-detik terakhir dalam hidupnya? Tidakkah wafat manusia paling sempurna ini perlu dikenang sambil merenungi pesan-pesannya yang pasti sangat monumental? Adakah peristiwa-peristiwa penting menjelang dan sesudah wafatnya? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini pasti muncul di benak setiap Muslim yang kritis dan ‘melek sejarah’.
Sejarah mencatat, dalam perjalanan pulang dari haji terakhir, dikenal dengan Haji Wada’ (Haji perpisahan), Nabi memberikan sinyal-sinyal perpisahan melalui khotbah dan serangkai pernyataan yang amat memilukan. Para sejarawan tidak hanya menyebut nama tempat upacara perpisahan yang terletak antara Mekah dan Madinah itu, namun merincikan jumlah peserta yang hadir saat itu.
Sesampai di Madinah pun, Nabi yang mulai terlihat kurang sehat, masih harus memikirkan umat dan negara yang dibangunnya. Sepak terjang dan provokasi negeri jiran di sebelah selatan yang dipimpin oleh Heraclitus membuatnya harus mengabaikan rasa sakit dan penat. Lelaki yang bernama Ahmad di langit ini memberikan sebuah instruksi kepada setiap semua lelaki yang sehat jasmani agar bersiaga perang di bawah komando Usamah bin Zaid. Keseriusan ini menunjukkan betapa Nabi, yang lemah karena sakit, masih menomorduakan dirinya demi kepentingan umat dan demi tanggung jawabnya. Ia harus keluar dari rumah sembari mengenakan selimut dan berseru agar setiap orang keluar dari Madinah karena kerajaan Romawi telah mengerahkan brigade pasukan kavaleri untuk melakukan pembersihan terhadap warga yang memeluk Islam dalam wilayah kekuasaannya, termasuk gubernur Syam, Farwah bin Amr al-Jazami.
Baca: Teks Khotbah Rasulullah Saw di Ghadir Khum
Sejarah menyaksikan, teriakan parau Nabi teragung itu bak gayung tak bersambut. Pasukan yang sudah bergerak meninggalkan Madinah itu, tiba-tiba bubar. Isu tentang ‘kematian Nabi’ telah menjadi alasan aksi ‘mogok’ itu. Sampai-sampai, sang Komandan, Usamah bin Zaid, yang masih muda, juga ikut pulang ke Madinah.
Sejarah juga mencatat bahwa saat terbujur di atas ranjang, beliau meminta secarik kertas dan setangkai pena sebagai konfirmasi akhir atas pesan-pesan yang berulang telah disampaikannya terutama di Hajatul-wada’. Namun, apa hendak dikata, bising dan desak-desakan pengunjung yang membesuk di rumah kecil itu membuat suaranya seakan tertelan dan lenyap.
Pesannya, “Umatku, umatku umatku…! Janganlah berbalik arah! Jangan letakkan pedang di atas leher sesamamu!” Semestinya didengungkan terus menerus agar umat Islam tidak menari dengan genderang musuh dan tidak merusak citra Islam dengan ekstrimitas, intoleransi dan fanatisme. Karena itulah, memperingati wafat Nabi, meski belum mentradisi, bukanlah sesuatu yang tidak perlu diselenggarakan.
Baca: Keberkahan Wujud Rasulullah
Mungkin sudah saatnya umat Islam memasukkan agenda kesedihan dan duka dalam kalender hari besar, selain agenda riang dan kegembiraan seperti Maulid dan lainnya. Bukankah kita dianjurkan oleh Allah untuk lebih banyak menangis dan sedikit tertawa? Yang jelas Muhammad Saw sedang menangis sedih melihat sesama umat Islam saling mengkafirkan dan menyesatkan.