Qana’ah berarti merasa cukup dengan apa yang dimiliki di dunia. Qana’ah artinya tidak ‘ngoyo’ (berkeras secara luar biasa) terhadap harta dan kekayaan duniawiah. Seorang yang bersikap qana’ah akan mencukupkan diri kepada apa yang sudah ia usahakan sebagai kewajiban hidup. Adapun hasilnya, berapapun juga, akan ia terima dan ia syukuri.
Qana’ah ternyata menjadi karakter yang sangat mahal sekligus amat berharga. Sifat qana’ah akan membuat seseorang menjadi berbahagia dalam hidupnya. Sebaliknya, hilangnya sifat ini, yaitu ketika sesorang memelihara sifat serakah dan tak pernah puas, akan menyebabkan seseorang terus didera ketersiksaan yang menyakitkan, dunia dan akhirat.
Hal yang demikian ini bisa terjadi karena pertama, kekayaan dunia itu tak ada batasnya. Perhatikanlah, bagaimana urusan dunia ini tak pernah berujung pada sesuatu yang akan memuaskan siapapun. (Baca: Bersyukur Kepada Allah)
Bagi orang yang belum punya rumah sendiri, tentu dia akan berusaha agar memiliki rumah sendiri. Tapi, kepemilikan atas rumah sendiri jelas bukanlah puncak dari pencapaian duniawi. Di atasnya ada lagi capaian duniawiah, misalnya rumahnya harus yang bagus, di tempat yang strategis, memiliki fasilitas yang bagus, dan lain-lain. Seandainyapun ini sudah terpenuhi, ada pula ‘tantangan’ pencapaian berupa kuantitas. Yang punya rumah satu, ingin punya rumah dua, tiiga, dan seterusnya. Alasannya bisa saja merujuk kepada fungsi lain dari rumah, yaitu sebagai alat usaha dan investasi jangka panjang.
Jika seseorang terjebak pada sifat serakah; jika seseorang sudah kehilangan sifat qana’ah, bisa dibayangkan betapa sangat tersiksanya ia. Apapun yang ia miliki tak akan membuatnya puas. Selalu saja ada hal lain yang lebih baik, lebih bagus, lebih berharga, lebih berkelas, atau lebih banyak dibandingkan dengan apa yang ia miliki saat ini.
Selain itu, sifat qana’ah juga menjadi syarat kebahagiaan hidup seseorang karena dunia ini diciptakan hanya sebagai tempat persinggahan sementara bagi manusia. Apapun yang dimiliki dan dikumpulkan oleh manusia pada akhirnya akan ia tinggalkan. Rasa cukup ini akan mendorong manusia untuk lebih berkonsentrasi kepada upaya mengumpulkan ‘bekal’ bagi kehidupan akhiratnya. (Baca: Ridha Kepada Allah)
Dari dua sudut pandang ini, sikap qana’ah sebenarnya adalah karakter orang yang berpikiran logis. Bukankah aneh jika kita mengambil keputusan untuk terus menerus meminum cairan yang hanya akan membuat kita makin merasa haus? Juga, bukankah aneh secara logika kalau kita menumpuk peralatan rumah yang sebentar lagi harus kita tinggalkan semuanya?
Dalam beberapa hadits, Imam Ali as mengatakan bahwa salah satu faktor penting yang membuat manusia akan merasa cukup adalah akal. Beliau bersabda, “Siapa yang berakal akan merasa cukup.”
Akal berasal dari kata ‘aqqaal yang berarti tali pengikat kaki unta agar unta tidak bergerak ke sana ke mari. Jadi akal adalah sebuah kekuatan penghalang. Orang yang berakal berarti memiliki kekuatan akal begitu besar dalam dirinya hingga dia terhalang melakukan perbuatan buruk. Dengan akallah Allah disembah dan manusia dapat menuju surga. (Baca: Tawakal – 1)
Selain terkait dengan akal, sikap qana’ah juga ada hubungannya dengan masalah fitrah. Di dalam diri manusia, Allah telah menganugerahkan kecenderungan kepada hal-hal yang baik, termasuk di antaranya adalah kecenderungan untuk memiliki sifat qana’ah. Seandainya kecenderungan fitri ini meredup, hal itu terjadi karena keberadaan beberapa faktor penghalang. Salah satu hal yang membuat fitrah manusia melemah adalah karena ia melakukan dosa atau mengikuti hawa nafsu.
Para orang tua yang menghendaki anak-anaknya memiliki sifat qana’ah harus memperhatikan dua faktor penting ini: mendorong anak-anak bersifat logis serta menguatkan fitrah. Terkait dengan faktor fitrah ini, orang tua semestinya sejak awal mengawal sekuat anak-anaknya agar menghindari dan meminimalisir dosa dan kesalahan, agar fitrah mereka tidak meredup.
Orang tua harus menjelaskan pada anak-anaknya apa hakikat dosa dan pengaruhnya dalam kehidupan. Orang tua harus mawas diri agar anak-anaknya tidak melakukan perbuatan dosa, baik dosa-dosa besar atau dosa-dosa kecil. Tanamkan dalam diri anak-anak bahwa dosa besar atau dosa kecil sama saja karena keduanya merupakan bentuk penentangan pada Allah SWT. Dosa-dosa kecil juga akan menjadi besar jika dilakukan berulang-ulang. Orang tua juga harus mengajarkan pada anak-anaknya untuk menjalankan kewajiban yang sudah ditetapkan Allah. Tentu saja, orang tua juga harus menjadi teladan bagi anak-anaknya dalam menjalankan kewajiban dan menjauhi dosa-dosa. (Baca: Makna Alhamdulillah Lebih dari Sekedar Pujian bagi-Nya)
Ketika fitrah anak-anak kuat maka orang tua akan lebih mudah menanamkan rasa cukup dalam diri anak-anak. Dalam prakteknya, orang tua harus menunjukkan pentingnya merasa cukup dan pengaruhnya dalam kehidupan. Orang tua harus menjadi teladan bagi anak-anaknya untuk merasa cukup dari apa yang sudah menjadi bagian orang tua dalam kehidupan dunia. Anak-anak harus menyaksikan sendiri bahwa ternyata orang tuanya mampu memberi infak atau menolong korban bencana, karena orang tua mereka merasa cukup dalam kesehariannya. Imam ali as bersabda, “Betapa baiknya jika manusia merasa cukup dengan yang sedikit dan memberi yang banyak.”
Anak-anak juga harus merasakan sendiri betapa damai kehidupan orang tua mereka karena orangtua selalu merasa cukup dengan apa yang sudah menjadi bagiannya. Orang tua mereka tidak terjebak dalam kebingungan karena tidak menginginkan sesuatu yang lebih. Apalagi jika pendapatan orang tua tidak begitu memadai. Imam Ali pernah menyampaikan, “Siapa yang merasa cukup dengan rezeki yang ada akan menjadi tenang, hidupnya lapang. Keinginan berlebihan adalah kunci kesulitan.”
Anak-anak juga harus bisa melihat bahwa karena merasa cukup, orang tua mereka selamat agamanya dan tidak terjebak dalam dosa, seperti korupsi misalnya. Imam Ali as pernah berkata, “Untuk menjaga keselamatan agama, merasa cukuplah dengan yang sedikit dari rezeki duniamu.” [OS]
Baca: “Doa Imam Zainal Abidin as, Untuk Memohonkan Penutup Aib dan Perlindungan“