Al-Quran al-Karim telah memberikan perumpamaan untuk menjelaskan keharusan manusia mengagungkan Allah SWT seagung-agungnya sekaligus mengungkapkan betapa remeh dan semunya kekuatan selainNya sehingga kekuatan yang sejati hanyalah milikNya semata. Perumpamaan itu disebutkan dalam ayat 73-74 surat al-Hajj yang terkutip di artikel bagian pertama.
Memang, ayat ini turun lebih berkenaan dengan kaum musyrik Mekkah dan orang-orang lain yang melumuri berhala-berhala mereka dengan minyak kesturi atau zakfaran atau madu yang kemudian dihinggapi oleh lalat-lalat yang menghabisi semua zat itu sehingga mereka tidak dapat lagi memanfaatkan apa yang telah dihabiskan oleh serangga kecil bersayap itu.
Namun demikian, ayat ini berlaku umum dan mutlak sehingga meliputi segala bentuk sesembahan, baik berhala maupun manusia dan lain-lain yang dipatuhi secara terpisah dari kepatuhan kepada Allah SWT. Dalil kemutlakan ayat ini ialah kalimat di bagian awalnya berupa seruan yang ditujukan bukan hanya kepada kaum musyrik, melainkan juga kepada seluruh umat manusia;
يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ لَن يَخْلُقُوا ذُبَاباً وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِن يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئاً لاَّ يَسْتَنقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ * مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ.
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”[1]
Bagian akhir ayat ini menegaskan kemaha kuatan dan kemaha perkasaan Allah yang tak terbandingkan dengan selainNya yang serba lemah sebagaimana telah disinggungkan di bagian depan ayat.
Demikian pula firma Allah;
مَا لَكُمْ لاَ تَرْجُونَ لِلَّهِ وَقَاراً. * وَقَدْ خَلَقَكُمْ أَطْوَاراً.
“Mengapa kamu tidak berharap akan kebesaran Allah? Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian. [2]
Firman ini menegaskan keharusan berharap dan meyakini kebesaran Allah SWT dengan mengingatkan kepada apa yang menunjukkan kemaha kuasaaNya, yaitu menciptakan manusia dalam beberapa tingkatan kejadian.
Firman ini kemungkinan besar dialamatkan kepada musyrikin kaum Nabi Nuh as, tapi kandungannya ditujukan kepada seluruh manusia. Kaum musyrik itu diperintahkan supaya meyakini kebesaran Allah meskipun dalam arti dan bentuk yang sebatas meninggalkan kesyrikan untuk kemudian beriman kepada Allah SWT dan ajaran tauhid, sedangkan kaum beriman juga diperintah demikian tapi dengan arti benar-benar mengagungkanNya, atau mengagungkan syiar-syiarNya dan segala sesuatu yang agung di sisiNya, dalam dua jenjang sebagaimana telah disinggung pada bagian kedua artikel ini.
Mengenai jenjang kedua, yaitu mengagungkan dan mencari keridhaan Allah SWT tanpa mengacu pada pada faktor surga dan neraka juga terbagi lagi dalam beberapa jenjang berkenaan dengan ZatNya di mana yang tertinggi di antaranya ialah jenjang kefaanaan total dalam ZatNya. Gambaran jenjang tertinggi berupa kefanaan ini ialah seperti yang terlihat dalam riwayat bahwa Imam Ali as sedemikian khusyuk dalam shalatnya sehingga beliau tidak merasakan sakit ketika panah yang menancap ditubuhnya dicabut.[3]
Ini bukanlah sesuatu yang berlebihan menurut kacamata al-Quran. Dalam kitab suci ini bahkan dikisahkan bagaimana kaum perempuan sedemikian terpesona dan “fana” memandang ketampanan Nabi Yusuf as sehingga mereka tak sadar telah mengiris jari-jarinya ketika mereka bermaksud mengupas buah yang disajikan kepada mereka.
Jelas bahwa ketampanan Nabi Yusuf as hanyalah setetes dibanding samudera keindahan Allah SWT. Karena itu tak perlu heran terhadap realitas bagaimana para wali Allah SWT sedemikian lebur dan fana pada Allah SWT sehingga insan sekaliber Imam Ali as tak merasa sakit ketika panah dicabut dari bagian tubuhnya ketika sedang shalat.
Mengenai ketampanan Nabi Yusuf as itu Allah SWT berfirman;
وَقَالَ نِسْوَةٌ فِي الْمَدِينَةِ امْرَأَةُ الْعَزِيزِ تُرَاوِدُ فَتَاهَا عَن نَّفْسِهِ قَدْ شَغَفَهَا حُبّاً إِنَّا لَنَرَاهَا فِي ضَلاَل مُّبِين * فَلَمَّا سَمِعَتْ بِمَكْرِهِنَّ أَرْسَلَتْ إِلَيْهِنَّ وَأَعْتَدَتْ لَهُنَّ مُتَّكَأً وَآتَتْ كُلَّ وَاحِدَة مِّنْهُنَّ سِكِّيناً وَقَالَتِ اخْرُجْ عَلَيْهِنَّ فَلَمَّا رَأَيْنَهُ أَكْبَرْنَهُ وَقَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ وَقُلْنَ حَاشَ لِلّهِ مَا هَـذَا بَشَراً إِنْ هَـذَا إلاَّ مَلَكٌ كَرِيمٌ * قَالَتْ فَذلِكُنَّ الَّذِي لُمْتُنَّنِي فِيهِ وَلَقَدْ رَاوَدتُّهُ عَن نَّفْسِهِ فَاسَتَعْصَمَ وَلَئِن لَّمْ يَفْعَلْ مَا آمُرُهُ لَيُسْجَنَنَّ وَلَيَكُوناً مِّنَ الصَّاغِرِينَ
“Dan wanita-wanita di kota berkata: ‘Isteri al-Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam. Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata.’ Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf): ‘Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka.’
“Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya, dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: ‘Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia.’ Wanita itu berkata: ‘Itulah dia orang yang kamu cela aku karena (tertarik) kepadanya, dan sesungguhnya aku telah menggoda dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku) akan tetapi dia menolak. Dan sesungguhnya jika dia tidak mentaati apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya dia akan dipenjarakan dan dia akan termasuk golongan orang-orang yang hina.’”[4]
(Selesai)
[1] QS. Al-Hajj [22]: 73 – 74.
[2] QS. Nuh [71]: 13-14.
[3] Lihat Tafsir Namuneh, jilid 4, hal. 428, Anwar al-Mawahid, Syeikh al-Nahawandi, hal. 160, dan al-Mahajjah al-Baidha’, Faidh al-Kasyani, jilid 1, hal. 397 – 398.
[4] QS. Yusuf [12]: 30- 32.