Sebagaimana halnya teologi dan filsafat, Syiah memiliki metodologinya sendiri, demikian juga fikih dan ijtihad di kalangan Syiah juga mengambil tren yang terpisah. Fikih Syiah menegaskan prinsip pengindukan hukum syariat kepada kemaslahatan dan kemafsadatan esensial (dzatiyyah). Ia juga mengakui prinsip kesesuaian hukum akal dan syariat, dengan memelihara hak akal untuk berijtihad.
lhwal qiyas dan ra’yu yang diserang oleh ahli hadis dan dipandang sebagai salah satu kesalahan ahli qiyas dan ra’yu, mazhab Syiah juga menganggapnya sebagai kesalahan. Namun, kritik yang dilontarkan oleh Syiah terhadap qiyas tidak sama dengan kritik ahli hadis yang mengatakan bahwa akal bukanlah hujah dan bukan pula dalil syar’i dalam mengambil hukum.
Ada dua alasan kritis yang diajukan oleh Syiah terhadap ra’yu dan qiyas. Pertama, ra’yu dan qiyas adalah penggunaan asumsi, bukan penggunaan pengetahuan; ikut pada ajakan imajinasi, bukan taat pada tuntunan akal. Kedua, merujuk pada ra’yu dan qiyas akan berimplikasi pada anggapan bahwa prinsip-prinsip universal Islam sebagai tidak memadai dan tidak sempurna. Padahal, anggapan itu merupakan kezaliman atas Islam atau manifestasi kebodohan mengenainya.
Baca: Pentingnya Memahami Logika Fikih
Benar bahwa hukum-hukum berkenaan dengan kasus-kasus partikular dan individual tidak dijelaskan. Dan kalau ingin dijelaskan, tentu mustahil melakukannya lantaran kasus-kasus partikular (juz’iyyat) itu tidak pernah ada habisnya. Tapi, prinsip-prinsip universal (kulliyyat) Islam telah tersusun sedemikian rupa sehingga kita dapat mengaplikasikannya pada segenap kasus yang berbeda-beda dalam kondisi, ruang, maupun waktunya.
Seorang fakih tidak harus terpaku pada teks dan mencari hukum bagi setiap kasus partikular dari Alquran atau hadis. Manakala tidak mendapatkan hukum menyangkut kasus tertentu, dia juga tidak bisa lantas menjadikannya sebagai dalih untuk menempuh jalan imajinasi dan qiyas, melainkan yang harus dilakukannya ialah melakukan tafri’ (ramifikasi, pencabangan) dan mengembalikan kasus furu kepada ushulnya.
Semua ushul Islam terdapat dalam Alquran dan Sunnah, hanya saja kerja ini memerlukan “kiat” atau “seni” tertentu. Kiat itu disebut dengan “ijtihad”, yaitu pengaplikasian prinsip-prinsip universal Islam secara sadar pada contoh kasusnya yang berubah-ubah.
Dalam Al-Kafi, terdapat sebuah bab berjudul “Tidak Ada Satu Persoalan pun Kecuali Ia Memiliki Ushul-nya di dalam Alquran dan Sunnah”. Karenanya, fikih Islam Syiah meyakini prinsip keadilan, prinsip subordinasi hukum pada kemaslahatan dan kemafsadatan esensial, prinsip kebaikan dan keburukan rasional, dan prinsip keotoritatifan akal (hujjiyyat al-‘aql). Akhirnya, prinsip keadilan menempati kedudukannya yang layak dalam fikih tersebut.
Baca: Fikih Quest 126: Hukum Hadiah Bacaan Alquran untuk Mendiang Orang Tua Non-Muslim
Fikih Syiah membedakan akal dari imajinasi, pembuktian demonstratif (burhan) dari qiyas yang asumtif, yang dalam logika disebut dengan analogi. Fikih Syiah memandang ada empat sumber fikih; Alquran, Sunnah, ijma’, dan akal. Mazhab fikih ini tidak mengakui ra’yu dan qiyas sebagai sumber hukum fikih, yang diakuinya adalah akal dan pembuktian demonstratif yang dikenal dengan burhan.
*Dikutip dari buku Keadilan Ilahi – Syahid Murtadha Muthahhari