Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Muhammadiyah Tak Berpaham Wahabi

Oleh: Dr. Muhsin Labib, MA

Banyak orang mengira Muhammadiyah berpaham wahabi karena beberapa pandangannya yang terkesan sama. Padahal sependek yang saya tahu, keduanya secara epistemologis berjarak ribuan mil.

Kaum wahabi menolak apapun yang tidak ada dalil tekstualnya dengan klaim mengikuti Alquran dan Sunnah serta menyerukan pemurnian agama dari modernisasi. Sedangkan Muhammadiyah mendukung pembaruan yang dirintis oleh Afghani yang berpaham Syiah dan membuka diri terhadap modernisasi pemikiran Islam yang dicetuskan oleh Muhammad Abduh yang bermazhab Sunni.

Mungkin karena inilah, saya diterima sebagai sahabat oleh kader utama Muhammadiyah, Abdul Mu’thi, sejak kuliah bersama di program doktoral awal 2000an yang saat ini menjadi Sekjen PP Muhammadiyah.

Baca: SELAMAT JALAN, BUYA…..

Bila mengkritisi sejumlah tradisi seperti tahlil dan maulid, maka mungkin itu bukan karena menganggapnya haram dan bukan karena menolak peringatan hari kelahiran Nabi tapi sangat mungkin karena sebagian praktiknya dianggap berlebihan, kehilangan esensi yang bergeser dari tujuan penyelenggaraannya, cenderung mubazir, dan mengabaikan asas prioritas.

Fakta ini diperkuat oleh Prof. Abdul Mu’thi yang mengungkapkan bahwa dirinya tidak menolak untuk menghadiri undangan tahlil dan maulid Nabi di kampung. Dapat disimpulkan, Muhammadiyah tidak menentang pengucapan la ilaha illallah yang dalam terminologi Islam disebut tahlil tapi tidak setuju bila pengucapannya dibakukan dalam tata cara tertentu. Muhammadiyah juga tidak menentang peringatan Milad Nabi dan siapapun, termasuk memperingati Milad Muhammadiyah sendiri, tapi tidak setuju bila seolah diwajibkan dan dibakukan dalam prosesi tertentu.

Banyaknya orang yang salah paham terhadap Muhammadiyah dan menuduhnya berpaham wahabi karena mungkin kurang jeli membedakan Muhammadiyah dengan beberapa organisasi Islam yang getol menentang tradisi umat Islam di Indonesia dan sangat aktif berpolemik dengan sejumlah ulama NU tentang isu dari Maulid dan Tahlil hingga beduk dalam majalah Almuslimun dan beberapa buletin yang diedarkan di sejumlah kota pada awal masa orde baru hingga jelang akhir 90an.

Redupnya beberapa organisasi berpaham salafi dan wahabi yang ditandai dengan sepinya pesantrennya di Bangil dan Bandung sebagai akibat sikap frontalnya terhadap Islam mainstream terutama di Jawa dan kian menguatnya Muhammadiyah dalam kiprah sosialnya ditambah masuknya gerakan wahabi politik yang lebih militan dan radikal, boleh jadi menjadi alasan beberapa anasir wahabi ortodok itu bermigrasi dan mencari suaka di dalamnya seraya tetap mempertahankan pola pemahamannya yang skriptualistik bahkan mencari kesempatan menguasai bagian yang strategis untuk memasarkan sikap intoleran dan visi radikalnya.

Baca: Imam Khomeini dan Persatuan dalam Perbedaan

Tapi untungnya para agen wahabi ini tidak punya bekal kompetensi yang cukup terutama dalam keorganisasian dan cukup puas menempati pos bidang tablig yang tidak kokoh, karena sewaktu-waktu bisa mengalami rotasi dan restorasi. Pak Haedar Nasir dan Pak Abdul Mu’thi adalah pilot dan copilot dengan jam terbang tinggi yang punya stamina ketelatenam ekstra untuk menerbangkan Muhammadiyah menuju Islam Berkemajuan.

Sambutan hangat Pengurus Muhammadiyah atas kedatangan rombongan Pengurus Ahlulbait Indonesia beberapa waktu lalu adalah peristiwa monumental yang melukiskan kerendahan hati, pengorbanan penuh risiko, dan komitmen nyata para pewaris KH Ahmad Dahlan dalam meneguhkan sikap tolerannya sebagai salah satu dari dua elemen besar umat Islam di Indonesia tercinta.

No comments

LEAVE A COMMENT