Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Peran Wilayah dalam Islam

Wilayah dalam Islam memiliki peran penting dan fundamental. Dalam berbagai riwayat, wilayah disebut sebagai salah satu fondasi penting Islam. Imam Muhammad Baqir a.s. berkata: “Islam dibangun di atas lima fondasi: salat, zakat, puasa, haji dan wilayah. Islam tidak pernah menyeru manusia kepada sesuatu seperti ketika ia menyeru mereka untuk berwilayah.”

Zurarah berkata: “Aku bertanya kepada Imam Baqir a.s manakah yang paling utama di antara lima hal ini, Beliau menjawab, ‘Wilayah lebih utama dibanding lainnya, karena ia adalah kunci empat fondasi lain. Wali adalah pembimbing manusia kepada empat perkara tersebut.’” (Al-Kafi,1/18)

Makna wilayah adalah mengurus dan memegang perkara orang lain. Kata wali disematkan kepada orang yang memegang perkara seseorang atau lebih, seperti wali anak kecil atau wali orang gila. Kata wali juga diambil dari akar kata ini. Pemimpin, walikota atau gubernur juga disebut dengan wali karena mereka memegang urusan warga dan warga harus menaati perintah pemimpin mereka. Dengan makna ini, Nabi juga disebut memiliki wilayah atas umatnya, karena beliau memegang urusan dan kuasa atas mereka.

Baca: Islam dan Tanda-tanda Pokoknya

Allah berfirman dalam Alquran: “Nabi lebih utama dibandingkan orang-orang beriman dalam mengurus segala hal yang berkaitan dengan mereka.” (QS. al-Ahzab: 6)

Kata maula juga berasal dari akar kata yang sama. Sebab itu, dalam permulaan khutbah Ghadir, Rasulullah Saw bersabda: “Bukankah aku lebih utama dibanding kalian dalam urusan-urusan kalian?” Orang-orang menjawab, “Ya, benar.” Lalu beliau bersabda: “Barang siapa yang menjadikanku sebagai pemimpinnya (mawlahu), maka Ali adalah pemimpinnya (maulahu).” (Al-Bidayah wa an-Nihayah 5/229)

Para sahabat besar seperti Umar bin Khaththab yang hadir dalam peristiwa Ghadir dan menyaksikan penobatan Imam Ali a.s. sebagai pemimpin, juga memahami makna di atas. Maka itu, ia berkata kepada Imam Ali, “Selamat kepadamu wahai Ali, engkau telah menjadi pemimpin bagi setiap pria dan wanita beriman.” (Al-Bidayah wa an-Nihayah 3/229)

Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa wilayah adalah sebuah eksekutif, bukan sekedar kedudukan suci belaka. Secara keseluruhan, hukum-hukum Islam yang termaktub dalam Alquran dan Sunnah dibagi menjadi dua bagian:

  1. Hukum dan undang-undang individual seperti salat, puasa, haji, menjaga akhlak mulia, menjauhi akhlak tercela, bersuci dan hukum-hukum individual lainnya. Hukum-hukum semacam ini adalah tugas-tugas individual dan ditujukan kepada mukallaf secara perorangan. Untuk melaksanakan tugas-tugas di atas, keberadaan sebuah pemerintahan dan manajemen sosial tidak dibutuhkan.
  2. Hukum dan undang-undang sosial-politik seperti jihad dalam menyebarkan agama Islam, membela Islam dan Muslimin, persiapan militer, mewujudkan keamanan sosial, pengadilan, pelaksanaan had (hukuman yang kualitas dan kuantitasnya ditentukan syariat, sedangkan ta’zir adalah hukuman ditentukan oleh hakim syar’i), diyat atau qishash, ta’zir, hubungan negara-negara Islam satu sama lain, hubungan dengan negara asing, menarik zakat dan menggunakannya dalam hal-hal tertentu, mengambil khumus dan puluhan perkara sosial lainnya. Dengan mudah kita bisa memahami bahwa pelaksanaan hukum-hukum ini memerlukan keberadaan sebuah struktur tertentu yang dipimpin oleh seorang pemimpin agamis dan bijak. Maka itu, bisa dikatakan bahwa pemerintahan dan wilayah (kepemimpinan) ada dalam konteks agama. Harus ada seorang pemimpin yang menjamin pelaksanaan hukum hukum sosial-politik ini. Bila tidak, maka sebagian besar hukum-hukum Islam tidak bisa diberlakukan, Rasulullah Saw adalah pemimpin (Wali al-Amr) pertama kaum Muslimin.

Meski tidak ada ayat Alquran yang secara gamblang memerintahkan Rasulullah mendirikan pemerintahan, namun Alquran memerintahkan beberapa hal kepada beliau yang semuanya berhubungan dengan pemerintahan. Sebagai contoh, ayat-ayat berikut bisa dijadikan bukti klaim tersebut.

Baca: Hak-hak Perempuan dalam Islam

Kami turunkan Alquran kepadamu dengan (membawa) kebenaran supaya engkau menjadi hakim di antara manusia dengan apa yang telah ditunjukkan Allah kepadamu. Dan janganlah engkau mendukung pengkhianat. (QS an-Nisa: 105)

Kami turunkan kitab ini dengan (membawa) kebenaran kepadamu. Kitab ini mendukung kitab-kitab sebelumnya dan menjadi tolok ukur kebenaran kitab-kitab tersebut. Maka, hakimilah antara mereka dengan apa yang diwahyukan kepadamu dan jangan ikuti hawa nafsu mereka untuk berpaling dari perintah yang diberikan kepadamu (QS. al-Maidah: 48)

Wahai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan munafik dan bersikaplah keras terhadap mereka. (QS. at-Taubah: 73)

Wahai Nabi, doronglah orang-orang beriman untuk berperang. (QS. al-Anfal: 65)

Ambillah zakat dari harta mereka yang dengannya engkau bisa menyucikan dan membersihkan mereka. (QS. at-Taubah: 103)

Jelas, memecahkan persoalan masyarakat, mendorong mereka berjihad, menarik zakat dan memberikannya kepada yang berhak adalah bagian dari tugas seorang penguasa dan pemimpin. Karena Nabi diminta melaksanakan hal-hal di atas, berarti beliau diangkat sebagai pemimpin oleh Allah. Sebab itu, kita harus mengatakan bahwa Nabi Saw selain menerima wahyu dan menyampaikannya kepada manusia, beliau juga mengemban tugas lain, yaitu mendirikan pemerintahan, memberlakukan undang-undang politik-sosial dan mengatur kehidupan umat Islam dalam berbagai bidang. Dalam mengatur urusan pemerintahan Islam, Nabi Saw menggunakan hukum dan undang-undang yang diterimanya melalui wahyu. Di samping itu, beliau memiliki ikhtiar untuk membuat dan memberlakukan hukum-hukum tertentu sesuai dengan kondisi dan maslahat umat Islam. Hukum hukum semacam ini disebut dengan hukum pemerintahan dan Muslimin harus menaatinya.

Baca: Pentingnya Akhlak dalam Islam

Alquran mengatakan: Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah. Rasul dan para pemimpin kalian (ulil amr). Bila kalian berselisih dalam suatu perkara, merujuklah kepada Allah bila kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Ini adalah yang terbaik bagi kalian dan membawa manfaat. (QS. an-Nisa: 59)

Dari ayat di atas, kita menyimpulkan bahwa orang-orang beriman harus menaati Allah Swt, Rasulullah saw dan Ulil Amr. Mereka harus taat kepada Allah, dengan menaati Rasul ketika Rasul Saw menyampaikan sebuah hukum yang diterimanya melalui wahyu kepada manusia. Mereka harus mematuhi Rasullah Saw ketika beliau mengeluarkan sebuah hukum dalam kapasitasnya sebagai hakim syar’i dan pemimpin, bukan sebagai penerima wahyu. Hukum-hukum semacam ini disebut dengan hukum hukumat atau wila’i. Berikutnya adalah ketaatan kepada Ulil amr. Mereka adalah orang-orang yang diangkat Rasul Saw sebagai pemimpin dan pemegang kendali urusan umat. Dalam banyak hadis, para Imam Ahlulbait a.s. dinyatakan sebagai representasi Ulil amr tersebut. Mereka juga memegang kendali urusan umat dan wajib ditaati. Dengan merujuk kitab-kitab sirah, kita bisa mengetahui bahwa semenjak berhijrah ke Madinah, Rasulullah Saw telah menyadari pentingnya membentuk sebuah     pemerintahan yang bisa melindungi kepentingan Islam dan Muslimin.

Atas dasar ini, tanggung jawab pelaksanaan hukum sosial-politik Islam dalam Alquran dibebankan langsung di atas pundak kaum Muslim. Misalnya, Allah berfirman:

Siapkanlah kekuatan dan kuda tunggangan semampu kalian sehingga membuat takut musuh Allah dan musuh kalian yang tidak kalian kenal, tapi Allah mengenal mereka. Semua yang kalian kerahkan di jalan Allah akan dikembalikan kepada kalian. Kalian tidak akan pernah dizalimi. (QS. al-Anfal: 60)

Cambuklah pria dan wanita pezina masing-masing sebanyak delapan puluh kali. (QS. an-Nur: 2)

Di antara kalian harus ada sekelompok orang yang menyerukan dan memerintahkan kebaikan serta mencegah kemungkaran. (QS. Ali Imran: 105)

Kalian adalah umat terbaik yang pernah muncul dari kalangan manusia, kalian memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran serta beriman kepada Allah. (QS. Ali Imran: 110)

Baca: Kontribusi Mazhab Syiah untuk Peradaban Islam

Dari ayat-ayat di atas ada hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban jihad dan membela diri, persiapan militer, pelaksanaan had dan ta’zir, amar makruf dan nahi mungkar, keharusan menegakkan keadilan sosial dan hubungan antar Muslim dengan selain mereka serta puluhan hadis tentang masalah pengadilan, politik, militer, ekonomi, pengembangan ilmu, penyebaran nilai-nilai Islam dan pemberantasan dekadensi moral, kita bisa menyimpulkan bahwa Allah memandang kaum Muslim sebagai sebuah kesatuan yangmharus membentuk lembaga-lembaga tertentu demi mengatur kehidupan sosial-politik mereka. Karena secara praktis kaum Muslim menerima Rasulullah Saw sebagai pemimpin mereka, beliau mendapat kesempatan untuk membentuk pemerintahan.

*Dikutip dari buku Alfabet Islam – Ayatullah Ibrahim Amini


No comments

LEAVE A COMMENT