Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Perjalanan Salman Menemukan Nabi saw.

Suatu hari, lahirlah seorang bangsawan di Isfahan, Persia (saat ini Iran). Ia diberi nama Ruzbah (yang berarti bahagia). Ayahnya adalah seorang kepala desa kaya raya.

Saat itu, orang-orang Persia menyembah api karena dianggap sebagai simbol cahaya. Mereka mempunyai kuil-kuil di mana api dijaga agar selalu menyala siang dan malam.

Ketika Ruzbah tumbuh dewasa, ayahnya menginginkannya menjadi orang penting sehingga diberi tugas untuk mengurus kuil dan menjaga api.

Ruzbah mulai berfikir tentang api. Ia tak mau menganggapnya sebagai Tuhan, karena manusialah yang menjaga api itu supaya terus menyala. “Bagaimana mungkin api yang harus kita jaga kita jadikan Tuhan yang patut disembah?” ungkap Ruzbah dalam hati.

Suatu hari Ruzbah berjalan-jalan di ladang hijau. Di kejauhan ia melihat bangunan gereja yang indah dan menjadi tempat beribadah kepada Allah. Pada saat itu, agama Nasrani adalah agama Allah yang benar dan belum diselewengkan, bukan Nasrani seperti zaman sekarang ini. (Baca: Nusaibah, Pahlawan Perempuan di Perang Uhud)

Pemuda itu berbincang dengan para pendeta sehingga cinta kepada agama Allah meliputi hatinya. Lalu ia bertanya, “Dari mana asal agama ini?”

Para pendeta menjawab, “Agama ini berasal dari Syam.”

Ruzbah memutuskan untuk pergi ke Syam. Di Syam, ia tinggal di rumah seorang pendeta. Ia mempelajari dasar-dasar agama, kitab Injil, dan perilaku yang baik.

Selang beberapa waktu, pendeta itu meninggal dunia. Ruzbah pindah ke Mosul (sebuah kota di Irak Utara) dan selanjutnya tinggal di Ammuriyah. Pendeta di Ammuriyah adalah orang yang baik. Sebelum meninggal, ia berwasiat pada Ruzbah, “Dalam waktu dekat, Allah akan mengutus seorang nabi pembawa agama Ibrahim. Nabi itu akan hijrah ke tanah yang dipenuhi pohon kurma.”

Ruzbah bertanya, “Apa tanda-tandanya?”

Pendeta itu menjawab, “Beliau mau menerima hadiah, tetapi tidak menerima sedekah dan tanda kenabiannya berada di antara bahunya.”

Pendeta itu meninggal, Ruzbah pun sendirian. Ia berniat mengembara ke Jazirah Arab. Ia tinggalkan kehidupan mapan di tempat kelahirannya untuk mencari Nabi saw. Ia berjuang dengan keras, mengorbankan jiwa, raga, dan hartanya untuk menemukan kebenaran.

Suatu hari, ada kafilah dagang melewatinya. Ruzbah memberikan seluruh uangnya untuk menumpang ke Makkah. Para kafilah menerima uangnya, namun mereka malah menjadikan Ruzbah sebagai barang dagangan. Mereka menjual Ruzbah ke orang Yahudi sebagai budak. (Baca: Kata “Maaf”, Kunci Kemuliaan)

Ruzbah sedih karena pengkhianatan itu, tetapi ia bersabar. Ia mulai bekerja kepada orang Yahudi itu di sebuah ladang. Hari-hari berlalu. Suatu pagi, seorang dari bani Quraidha mengunjungi sepupunya (tuannya Ruzbah). Ia melihat Ruzbah sedang bekerja keras. Laki-laki itu berkata kepada sepupunya, “Juallah budak itu padaku.” Sepupunya pun menyetujui.

Ruzbah gembira karena orang bani Quraidha itu tinggal di Yatsrib (Madinah) yang dipenuhi dengan pohon kurma. Ia teringat wasiat pendeta Amuriyah bahwa nabi yang dijanjikan akan muncul di sana. Ruzbah menghitung hari. Ia menanti kemunculan sang Nabi.

Saat sedang bekerja di ladang, ia mendengar tuannya berkata kepada temannya, “Muhammad telah tiba di Quba dan beberapa orang dari Yatsrib menerimanya.”

Ruzbah sangat gembira mendengar berita itu. Saat malam tiba, ia membawa beberapa butir kurma secara diam-diam. Jarak antara Yatsrib dengan Quba sekitar 3 km. Ia bergegas ke Quba untuk menemui Nabi.

Ketika bertemu Nabi Muhammad saw., Ruzbah berkata, “Aku telah mendengar bahwa Anda adalah orang baik dan aku melihat ada beberapa orang lain bersama Anda. Oleh karena itu, aku bawakan kurma-kurma ini sebagai sedekah.”

Nabi saw. menerima kurma itu dan membagi ke sahabat-sahabatnya. Beliau tidak memakan sedikit pun. “Ini adalah tanda pertama,” kata Ruzbah dalam hati.

Malam berikutnya, Ruzbah kembali datang dan membawa beberapa butir kurma. Ia berkata pada Nabi saw., “Ini adalah hadiah.”

Nabi menerima kurma-kurma, lalu dibagikan kepada sahabat-sahabatnya. Kali ini Nabi ikut memakannya. Ruzbah kembali berkata pada dirinya, “Ini adalah tanda yang kedua.”

Sejak itu Ruzbah yakin bahwa Muhammad saw. adalah Nabi yang dijanjikan. Ia lalu memeluk Nabi dan menyatakan keislamannya. Nabi saw. merubah namanya dengan Salman yang lebih akrab disebut Salman Al-Farisi karena berasal dari tanah Persia. (Baca: Mengapa Al-Hasan Berdamai dan Al-Husain Bangkit?)

Saat mengetahui Salman masih menjadi budak, Nabi saw. berkata kepada para sahabat, “Bantulah Salman supaya merdeka!”

Yahudi yang menjadi majikan Salman menyetujui kebebasannya, namun ia minta ditanamkan 3.000 pohon kurma sebagai gantinya.Nabi saw. pun mulai menanam pohon-pohon kurma itu. Semua pohon itu hidup. Kemudian Salman dimerdekakan dan hidup dengan bahagia bersama Nabi Muhammad saw.

Sejak saat itu, Salman menjadi pribadi Muslim yang berjasa besar dalam membela Islam dan Nabi. Melalui kerja keras dan kecerdikannya mengatur siasat perang, Salman ikut andil menyelamatkan umat Islam di Madinah dari kepungan dan serangan 24.000 pasukan kafir pimpinan Abu Sufyan. Salman mengusulkan supaya kaum muslimin menggali parit untuk melindungi kota dari serangan musuh secara langsung. Peristiwa ini disebut perang Khandaq.

Nabi pernah berujar mengenai bangsa Persia secara khusus, “Seandainya iman/ilmu pengetahuan berada di bintang Tsurayya, niscaya akan dapat digapai oleh para lelaki Persia.”

Karena keistimewaan ini, kaum Ansar di Madinah dan Muhajirin mengakui Salman sebagai bagian dari mereka. Namun Nabi saw. bersabda, “Salman adalah bagian dari kami, Ahlul Bait!”

[*]

Baca: Arti Hadis Nabi “Salman dari Ahlul Baitku”

 

No comments

LEAVE A COMMENT