Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Rasionalisme Mazhab Syiah

Pembahasan problem dan analisis teologi oleh para Imam Ahlulbait a.s, di antaranya dalam kitab Nahjul Balaghah merupakan bukti paling awal dan sebab utama munculnya pendekatan rasional dan filosofis dalam dunia intelektual Syiah. Pendekatan ini tidak bisa dicap sebagai suatu bid’ah, karena pijakannya dilandasi oleh Alquran. Ia senafas dengan pendekatan Alquran dan tujuan penafsiran para Imam Ahlulbait a.s. dalam menguraikan isu-isu tadi. Kalaupun ada seseorang yang mengkritik pendekatan ini, maka mereka itulah yang tidak menerima metode ini serta membuang sarana-sarananya.

Sejarah menunjukkan bahwa pada periode awal Islam, Syiah tertarik pada masalah-masalah ini dibandingkan mazhab lainnya. Sementara di kalangan Mu’tazilah mempunyai kecenderungan yang sama dengan mazhab Syiah, namun pandangan umum yang mendominasi di kalangan Sunni tidak menerimanya, dan akibatnya aliran Mutazilah mengalami kepunahan di sekitar akhir abad ke-3 H/ 9 M.

Ahmad Amin, penulis Mesir, membenarkan pandangan ini dalam jilid pertamanya buku Zhuhr al-Islam.  Setelah membincangkan gerakan filsafat di Eropa selama kekuasaan Dinasti Fathimiyyah yang beraliran aliran Syiah, ia menulis: “Filsafat lebih mirip dengan ajaran Syiah ketimbang Sunni, dan kita menyaksikan kebenaran hal ini di era kekuasaan Fathimiyyah [di Mesir] dan Buwaihi [di Iran]. Bahkan pada abad-abad terakhir Iran [sebuah negeri Syiah] telah mencurahkan perhatian pada filsafat ketimbang negeri-negeri Islam lainnya. Di masa kita sekarang ini, Sayyid Jamaluddin –lebih dikenal al-Afghani– yang punya kecenderungan Syiah dan telah mempelajari filsafat di Iran, membuat gerakan filsafat di Mesir ketika ia sampai di sana.”

Anehnya, Ahmad Amin ketika menjelaskan tentang mengapa Syiah mempunyai kecenderungan yang lebih pada filsafat, melakukan suatu kesalahan, entah sengaja ataupun tidak. Menurutnya, “alasan kecenderungan Syiah terhadap bahasan rasional dan filosofis terletak pada pandangan esoterik dan gaya mereka terhadap takwil. “Mereka terpaksa mencari bantuan filsafat untuk mempertahanan pandangan esoterisnya. Itulah mengapa Dinasti Fathimiyyah Mesir dan Buwayhi Persia selama periode Shafawiyyah dan Qajar, lebih cenderung terhadap filsafat ketimbang separuh dunia Islam lainnya.”

Baca: Fakta tentang Eksistensi Mazhab Syiah

Sungguh ini merupakan omong kosong dari Ahmad Amin. Ini terbukti, para Imam Syiah-lah yang pertama kali memperkenalkan pendekatan filsafat. Dan mereka juga yang pertama kali memperkenalkan konsep-konsep yang lebih mendalam dan pelik menyangkut problem-problem teologi dalam argumen-argumen, polemik-polernik, khutbah-khutbah, hadis-hadis, serta doa-doa mereka. Nahjul Balaghah adalah salah satu contoh di antaranya. Begitu pula yang menyangkut tradisi kenabian, sumber-sumber Syiah jauh lebih unggul dan mendalam ketimbang hadis-hadis yang termuat dalam sumber-sumber non-Syiah. Karakteristik ini tidak hanya terbatas pada ranah filsafat saja, namun juga pada ranah kalam, fikih, dan ushul fikih, yang di dalamnya kaum Syiah menikmati suatu kedudukan khusus. Semua ini disebabkan oleh sumber yang satu dan sama: penekanan pada rasionalitas.

Sebagian pihak telah mencoba melacak asal-usul perbedaan ini [antara intelek Syiah dan Sunni] dalam konsep “Bangsa Syiah”. Menurut mereka, karena Bangsa Persia adalah Syiah dan Syiah adalah Bangsa Persia dan karena Bangsa Persia adalah orang-orang dengan temperamen filosofis, menggemari kepelikan spekulasi dan pikiran murni, dengan bantuan kekayaan dan tradisi filsafat mereka yang kuat, mereka berhasil dalam menumbuhkan asas pemikiran Syiah dan memberinya warna Islam.

Bertrand Russell, dalam A History of Western Philosophy, mengungkapkan pendapat serupa berdasarkan argumen yang disebutkan di atas. Dengan kecerobohannya yang sudah mewatak dan melekat, ia menyatakan pendapat. Akan tetapi, sesungguhnya Russell tidak mempunyai kapasitas untuk membenarkan pendapatnya itu, karena ia sepenuhnya tidak akrab dengan filsafat Islam dan pada dasarnya tidak mengetahui apapun tentang masalah ini. Begitu pula ia tidak memenuhi syarat untuk mengungkapkan pendapatnya tentang asal-usul pemikiran Syiah dan sumber-sumbernya.

Tanggapan kita terhadap para pendukung pendapat ini adalah: Pertama, tidak semua Syiah adalah orang Iran, atau tidak semua orang Iran adalah Syiah. Apakah Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini, Muhammad bin Ali bin Husain bin Babawayh al-Qummi dan Muhammad bin Abi Thalib al-Mazandarani adalah orang Persia, sementara Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Abu Dawud al-Sijistani dan Muslim bin Hajjaj al-Naisyaburi bukan?

Apakah Sayyid al-Radhi penyusun Nahjul-Balaghah, orang Persia asli? Apakah dinasti Fathimiyyah Mesir keturunan Persia? Mengapa pemikiran filsafat di Mesir munculnya bersamaan dengan kekuasaan Fathimiyyah dan cenderung menurun bersama keruntuhan mereka? Dan mengapa baru belakangan dihidupkan lagi, setelah jeda yang panjang, hanya melalui pengaruh seorang Syiah Iran?

Sesungguhnya pandangan yang benar adalah para Imam Ahlulbait a.s. merupakan satu-satunya kekuatan dinamis yang nyata di balik modus pemikiran dan jenis pendekatan ini. Semua ulama Ahlussunah mengakui bahwa di antara para sahabat Nabi Saw hanya Imam Ali a.s. yang merupakan sosok pemilik kearifan filosofis dan mempunyai pendekatan rasional yang khas. Abu Ali Sina telah mengatakan: “Kedudukan Ali di antara para sahabat Muhammad Saw laksana yang rasional ditengah-tengah yang bendawi.”

Jelasnya, dipastikan bahwa pendekatan intelektual para pengikut Imam Ali a.s. mempunyai perbedaan dari mereka yang mengikuti pihak lainnya. Dalam hal ini, Ahmad Amin dan yang lainnya telah cenderung kepada kesalahpahaman seperti lainnya. Mereka meragukan keautentikan pernyataan­pernyataan filosofis [yang ada di Nahjul Balaghah] sebagai perkataan Imam Ali a.s. Mereka mengatakan bahwa Bangsa Arab tidak akrab dengan isu-isu dan argumen-argumen semacam itu dan menjelaskan analisis-analisis yang dijumpai dalam Nahjul Balaghah itu berkaitan dengan filsafat Yunani.

Menurut mereka, baru belakangan wacana-wacana ini disusun oleh para sarjana yang familiar dengan filsafat Yunani dan kemudian disandarkan kepada Imam Ali a.s. Kita mengakui, memang bangsa Arab tidak akrab dengan ide-ide dan konsep-konsep tadi. Bukan saja bangsa Arab, bangsa non-Arab pun tidak familiar dengan ide-ide dan konsep-konsep tersebut. Atau, konsep-konsep itu tidak akrab dengan Bangsa Yunani dan filsafat Yunani. Ahmad Amin yang pertama kali menjatuhkan Imam Ali a.s. ke tingkat Bangsa Arab semacam Abu Jahal dan Abu Sufyan. Ia menyusun premis minor dan mayor, kemudian menarik kesimpulan berdasarkan kedua premis itu:  Bangsa Arab tidak akrab dengan konsep­konsep filosofis; Ali orang Arab; Maka Ali pun tidak akrab dengan konsep-konsep filosofis.

Siapapun akan bertanya kepadanya apakah bangsa Arab masa jahiliah akrab dengan ide-ide dan konsep-konsep yang ditawarkan dalam Alquran. Bukankah Imam Ali a.s. dibesarkan dan dididik oleh Rasulullah Saw sendiri? Tidakkah Nabi Saw mengenalkan Ali kepada para sahabatnya sebagai orang yang paling terpelajar dan berilmu di antara mereka? Mengapa kita harus menolak kedudukan spiritual tinggi seseorang yang memperkaya jiwanya dengan menggunakan kekayaan Islam yang melimpah ruah hanya untuk melindungi prestise sebagian sahabat Nabi saw yang takkan pernah bisa mengalahkan tingkatan awam?

Baca: Tradisi Penulisan Hadis dalam Mazhab Syiah

Ahmad Amin mengatakan bahwa sebelum akrab dengan filsafat Yunani, bangsa Arab tidak akrab dengan ide­ide dan konsep-konsep yang dijumpai dalam Nahjul Balaghah. Jawabannya, Bangsa Arab tidak akrab dengan ide-ide dan konsep-konsep yang ditawarkan dalam Nahjul Balaghah bahkan setelah berabad-abad akrab dengan filsafat Yunani. Bukan saja Arab, bahkan Muslim non-Arab tidak akrab dengan gagasan-gagasan seperti itu. Alasan sederhananya saja yaitu tidak ada jejak mereka dalam filsafat Yunani itu sendiri. Ide-ide [Nahjul Balaghah] ini khusus untuk filsafat Islam. Para filosof Islam secara perlahan menjumput ide-ide ini dari sumber-sumber Islam dan memadupadankannya dengan pemikiran mereka di bawah petunjuk wahyu.

Istilah takwil telah didefinisikan secara berbeda-beda. Namun, sebaliknya, digunakan ketika dilawankan dengan tafsir (yang dipakai untuk penjelasan akan makna­makna literal dan eksplisit dari teks-teks Alquran). Takwil digunakan untuk interpretasi ayat-ayat Alquran yang melampaui makna harfiah yang tampak. Menurut Syiah Imamiyyah, tak seorang pun selain Nabi Saw dan dua belas Imam a.s. yang berhak menjelaskan takwil ayat-ayat Alquran.

*Disadur dari buku Tema-tema Pokok Nahjul Balaghah karya Murtadha Muthahhari

No comments

LEAVE A COMMENT