Imam Ali a.s. berwasiat kepada putranya al-Hasan a.s. :
“Ambillah pelajaran atas apa yang belum terjadi dengan apa yang telah terjadi, karena perkara-perkara itu memiliki keserupaan. Janganlah engkau tidak pandai berterima kasih kepada yang memberi kenikmatan, karena tidak bersyukur atas nikmat adalah seburuk-buruk kekufuran. Jadilah pula orang yang dapat menerima uzur orang lain.”
Apa yang diucapkan oleh Imam Ali a.s. di sini merupakan sebuah nasihat, bukan sesuatu yang bersifat ilmiah dan filosofis. Apa yang beliau nasihatkan adalah sebuah realitas tak terbantah dalam rangka mengingatkan orang-orang yang terlena dan lalai. Ketika manusia menelaah serta meneliti peristiwa-peristiwa dalam sejarah, dia akan memahami bahwa umat manusia sepanjang sejarah telah melewati beragam peristiwa manis dan getir, menyenangkan dan menyedihkan, juga hal-hal yang menakjubkan hingga akhirnya sampai pada masa yang sekarang.
Baca: Sosok Imam Ali bin Abi Thalib a.s. dalam Pandangan Sejarah
Tentu semua itu belum berakhir, karena di masa mendatang manusia masih akan menghadapi hal-hal yang serupa dan tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah dihadapi sebelumnya. Salah satu fenomena umum yang sejak dahulu terjadi dan akan selalu terjadi adalah bahwa generasi terdahulu selalu mewariskan harta, rumah dan apa saja yang pernah menjadi milik mereka kepada generasi yang sekarang. Nah, di sini kita pun harus mengambil pelajaran dari kaidah umum ini, bahwa suatu hari nanti kita juga mau tidak mau harus meninggalkan apa saja yang pernah menjadi milik kita untuk diserahkan dan dimanfaatkan oleh orang lain. Oleh karena itu, jangan sampai hati kita terpaut pada harta dunia yang segera sirna dan berlalu.
Keterikatan kepada dunia akan menjadikan diri kita tidak lagi pandai untuk membedakan mana yang halal dan mana yang haram. Apabila diri kita terpaut pada dunia, kita akan berani melakukan perbuatan yang haram dan dilarang semata-mata untuk memuaskan apa yang menjadi hasrat serta keinginan kita.
Banyak manusia yang sedemikian rupa terikat pada harta dunia dan anak-anak sehingga mereka terjauhkan dari tugas-tugas syar’i dan taklif-taklif Ilahi. Padahal seorang manusia yang sungguh-sungguh mencari kesempurnaan diri, maka dia tidak boleh mengorbankan hal-hal yang mustahab atau nilai-nilai akhlak demi materi dan harta dunia. Hal itu disebabkan kerugian terkecil yang akan diterima oleh manusia akibat keterpautan diri kepada dunia adalah perhatian manusia akan berkurang terhadap perkara-perkara maknawi dan nilai-nilai luhur insan. Padahal, pikiran, hati dan jiwa manusia seharusnya hanya berkonsentrasi pada hal-hal maknawi yang bernilai tinggi.
Tentu saja, salat yang tidak dibarengi oleh kekhusukan hati dan ibadah yang tidak dilakukan sepenuh hati akan semakin menambah kekerasan hati manusia. Sebagaimana belajar tanpa konsentrasi tidak akan memberikan hasil apa-apa, demikian pula halnya keterpautan hati kepada dunia, harta benda, istri dan anak-anak akan menjadikan manusia semakin jauh dari nilai-nilai kesempurnaan yang hakiki. Bahkan, kendatipun semua kemewahan duniawi itu diperoleh dari jalan yang halal, tetap saja hal itu akan berbahaya dan menghambat perkembangan maknawi seorang insan.
Lebih daripada itu, perhitungan harta dunia yang halal di hari kiamat akan membuat manusia tertahan di alam Mahsyar. Ini adalah kerugian paling ringan yang akan dihadapi oleh manusia sebagai akibat keterpautan pada harta dunia. Dalam rangka menjelaskan kenyataan ini, Imam Ali a.s. berpesan: “Ambillah pelajaran dari masa silam dan perhatikanlah bahwa dunia tidak akan pernah setia kepada penghuninya.” Nasib orang-orang yang memautkan hatinya pada harta dunia sungguh sangat buruk, menyakitkan dan menyedihkan. Sebaliknya, kebahagiaan dan keberuntungan hanya akan diraih oleh orang-orang yang bertawakal kepada Allah Swt dan sibuk mencari keridaan-Nya. Oleh sebab itu, banyaklah belajar dari generasi terdahulu dalam segala perbuatan dan sepak terjangmu, karena segala yang menimpa mereka, cepat atau lambat juga akan menimpamu.
Logika Ibrah (Mengambil Pelajaran dari Orang Lain di Masa Lampau)
Perlu diketahui bahwa kadar pengambilan pelajaran manusia dari sejarah dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu adalah berbeda-beda. Sebagian manusia melibat sejarah hanya selayang pandang dan merasa cukup dengan itu. Mereka tidak menganggap peristiwa-peristiwa itu sebagai sesuatu yang penting untuk diambil hikmah dan pelajarannya. Mereka adalah jenis orang-orang yang mengikuti kesenangan hawa nafsu sesaat dan mengikuti hasrat diri secara buta tanpa berpikir. Begitu timbul keinginan dalam diri, mereka akan langsung merespon dan menindaklanjutinya.
Bagi mereka tidak terlalu penting dari mana muara hasrat dan keinginan tersebut. Begitu merasa lapar, haus, atau terangsang hasrat seksualnya, baik itu terjadi secara alami atau akibat pengaruh lingkungan dan masyarakat, mereka akan langsung menuruti apa yang menjadi hasrat dan keinginannya. Mereka sama sekali tidak pernah berpikir bahwa perbuatan ini akan berakhir seperti apa dan apa yang menjadi akibatnya. Tentu, manusia-manusia seperti di atas pada hakikatnya telah menggunakan gaya hidup hewan dan binatang dan akan digolongkan dengan mereka. Alquran telah menegaskan, Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka). [QS. al-Hijr : 8]
Baca: Kemaslahatan di atas Kebenaran Fakta Sejarah
Akan tetapi, ada sekelompok lain yang selalu mengambil ibrah (pelajaran) dari peristiwa dan kejadian masa lampau, lalu menjadikan sejarah itu sebagai pelita jalan bagi masa depan mereka.
*Dikutip dari buku 21 Nasihat Abadi Penghalus Budi – Ayatullah Taqi Misbah Yazdi