Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Sejarah sebagai Sebuah Identitas Mazhab

Pada dasarnya sejarah tak bersih dari peristiwa kelam. Sejarah setiap bangsa, dan sejarah umat manusia, merupakan himpunan kejadian menyenangkan dan tidak menyenangkan. Pasti begitu. Allah menciptakan manusia sedemikian sehingga manusia tidak bebas dari dosa. Perbedaan yang terjadi pada sejarah berbagai bangsa, komunitas, dan agama terletak pada proporsi peristiwa menyenangkan dan tidak menyenangkan, bukan pada fakta bahwa mereka hanya memiliki peristiwa yang menyenangkan saja atau tidak menyenangkan saja.

Secara elok Alquran mengungkapkan fakta bahwa manusia memiliki poin baik dan poin buruk. Singkatnya, Allah memberitahu para malaikat mengenai tujuan-Nya untuk menciptakan seorang khalifah (Adam a.s.). Para malaikat yang hanya tahu poin-poin lemah makhluk baru yang Allah Swt ciptakan tersebut terkejut dan ingin tahu kenapa Dia berbuat seperti itu. Allah mengatakan kepada mereka bahwa Dia mengetahui poin baik dan poin buruk makhluk-Nya yang bernama Adam itu dan bahwa mereka tidak mengetahui semua kekhasan makhluk tersebut.

Jika kita melihat sejarah Islam dari sudut pandang peristiwa yang memanifestasikan iman dan nilai-nilai manusiawi, kita akan tahu betapa itu tak ada bandingannya. Sejarah Islam penuh dengan perbuatan heroik. Sarat dengan kecemerlangan dan keunggulan manusiawi. Eksistensi beberapa titik kelam tidak merusak keindahan dan kemuliaannya. Tak ada bangsa yang bisa mengklaim bahwa sejarahnya berisi peristiwa-peristiwa yang lebih cemerlang dibanding sejarah Islam, atau bahwa peristiwa kelam yang terjadi dalam sejarah Islam lebih banyak dibanding peristiwa kelam yang terjadi dalam sejarahnya sendiri.

Seorang Yahudi sengaja ingin membuat Imam Ali murka dan sakit hati dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam periode awal Islam berkenaan dengan masalah kekhalifahan berkata: “Engkau memakamkan Nabimu persis pada saat mulai terjadinya perselisihan tentangnya.”

Namun, betapa bagusnya jawaban Imam: “Engkau keliru. Kami tidak memperselisihkan Nabi itu sendiri. Kami hanya berselisih soal petunjuk yang kami terima darinya. Namun kakimu belum kering dari air laut ketika engkau mengatakan kepada Nabimu [Musa], ‘Tunjukkan kepada kami tuhan yang seperti Tuhan-tuhan mereka.’ Musa berkata: ‘Kamu orang yang bodoh.’”

Imam Ali a.s. bermaksud mengatakan: “Perselisihan kami (umat Islam) tidak terkait dengan prinsip-prinsip tauhid dan kenabian. Apa yang kami perselisihkan adalah apakah Alquran dan Islam telah menentukan orang tertentu sebagai penerus Nabi Saw, ataukah umat sendiri yang memilih penerus beliau. Sebaliknya, engkau, Yahudi, melontarkan pertanyaan selagi nabimu masih hidup yang bertentangan sekali dengan agamamu dan ajaran nabimu.”

Meskipun, misalkan saja, dalam kasus-kasus biasa dibolehkan mengabaikan peristiwa kelam sejarah, namun mana benar kalau mengabaikan masalah paling asasi yang memengaruhi nasib masyarakat Islam, yaitu masalah kepemimpinan Islam. Mengabaikan masalah seperti itu berarti mengabaikan kesejahteraan kaum muslim. Lagi pula, merupakan fakta bahwa sebagian hak sejarah telah dilanggar dan orang-orang yang berhak atas hak-hak ini adalah tokoh-tokoh paling saleh kaum muslim. Jadi, mengabaikan fakta-fakta sejarah ini berarti kerja sama antara lidah dan pena di satu pihak, dan pedang kezaliman di pihak lain.

Tapi apakah pembahasan seperti itu sesuai dengan kewajiban dalam menciptakan persatuan Islam? Semua bencana yang menimpa kaum muslim terjadi karena perselisihan sesama muslim. Perselisihan seperti inilah yang melemahkan kekuatan muslim, merusak martabat kaum muslim, dan menyebabkan kaum muslim tunduk kepada bangsa asing. Senjata paling ampuh yang ada di tangan kolonialisme, entah lama atau baru, adalah mengobarkan konflik lama ini.

Di semua negara muslim, tanpa kecuali, kacung kolonialisme sibuk menciptakan perselisihan di kalangan kaum muslim atas nama agama dan simpati kepada Islam. Bukankah kita sudah cukup menderita akibat perselisihan lama ini, sehingga janganlah membangkitkan perselisihan lama ini? Bukankah pembahasan seperti itu berarti membantu kolonialisme?

Untuk menjawab kritik ini, perlu dikemukakan bahwa memang tak dapat dipungkiri, persatuan memang sangat muhim bagi kaum muslim dan bahwa konflik lama ini merupakan penyebab utama segala problem yang terjadi di dunia muslim. Sesungguhnya musuh selalu siap mengeksploitasi perselisihan ini. Namun kelihatannya pihak pengecam salah memahami konsep persatuan muslim.

Persatuan muslim, yang menjadi pokok pembicaraan di kalangan ulama dan orang-orang muslim yang pandangannya tercerahkan, tidak berarti bahwa mazhab-mazhab muslim harus mengabaikan rukun iman dan rukun Islam mereka demi persatuan, mengambil ciri yang menjadi ciri semua mazhab, dan mengesampingkan kekhasan mazhab. Mana mungkin begini padahal ini tidak logis dan tidak praktis. Mana mungkin pengikut sebuah mazhab diminta mengabaikan, demi menjaga persatuan Islam dan muslim, keyakinan atau prinsip praktis yang dianggapnya sebagai bagian dari struktur asasi Islam? Permintaan seperti itu berarti mengabaikan satu bagian dari Islam dengan mengatasnamakan Islam.

Ada cara lain untuk meyakinkan orang agar mengikuti prinsip atau tidak. Cara yang paling alamiah adalah meyakinkan orang dengan menggunakan argumentasi logika. Iman bukanlah masalah sesuatu yang direkomendasikan atas dasar alasan praktis, juga tak dapat dipaksakan atau tak dapat dicabut dari hati orang seenaknya. Kami adalah kaum Syiah dan bangga mengikuti orang-orang terpilih dari keturunan Nabi Saw. Kami menganggap setiap sesuatu yang dianjurkan atau dilarang oleh para Imam a.s. sebagai sesuatu yang tidak dapat dikompromikan.

Dalam hal ini kami tidak mau memenuhi harapan siapa pun, kami juga tak mengharapkan orang lain meninggalkan prinsipnya atas nama kebijaksanaan atau demi persatuan muslim. Yang kami harapkan dan inginkan adalah terciptanya atmosfer kemauan baik, sehingga kami, yang memiliki fikih, hadis, tradisi, teologi, filsafat, tafsir dan literatur sendiri, dapat menawarkan barang-barang kami sebagai barang-barang terbaik, sehingga kaum Syiah tak lagi diisolasikan, sehingga pasar-pasar penting dunia muslim tidak tertutup bagi informasi penting pengetahuan Islam Syiah.

Mengambil segi-segi Islam yang ada pada semua mazhab dan menolak kekhasan mazhab, bertentangan dengan konsensus di kalangan kaum muslim. Produk dari sikap ini adalah sesuatu yang benar-benar tidak Islami, karena kekhasan mazhab merupakan bagian pokok dari struktur Islam. Islam kehilangan kekhasannya, sehingga ciri-ciri khasnya tak ada. Di antara orang-orang yang mengemukakan gagasan mulia persatuan Islam di zaman kita, yang paling menonjol adalah almarhum Ayatullah Imam Borujerdi dari kalangan Syiah, dan Allamah Syekh Abdulmajid Salim serta Allamah Syekh Mahmud Syaltut dari kalangan Sunni.

Pandangan seperti itu (menolak kekhasan mazhab) tak pernah ada dalam pikiran mereka. Semua yang diperjuangkan orang-orang alim ini adalah agar berbagai mazhab, meskipun teologinya berbeda di sana-sini, atas dasar banyaknya kesamaan di antara mazhab-mazhab, membentuk barisan (front) bersama untuk menghadapi musuh-musuh berbahaya Islam. Orang-orang alim ini tak pernah, dengan mengatasnamakan persatuan Islam, mengusulkan ketunggalan religius yang tidak praktis.

*Disarikan dari buku Tafsir Holistik – Syahid Murtadha Muthahhari

No comments

LEAVE A COMMENT